Ibu.Â
Anak-anak mu sekarang sudah dewasa.Â
Ribuan langkah di selang waktu singkat kami coba tinggalkan istana kita.Â
Anak macam apa kami ini yang sibuk kejar keinginan.Â
Sedangkan kau selalu terdesak rindu menanti anakmu pulangÂ
Ibu.Â
Bagiku kau seakan melepas nahkoda yang akan berlayar menerjang badai raksasa.Â
Tapi bagimu kau seolah melepas anak kecil cengeng yang akan bermain hujan di depan rumah.
Bermain tanah di pinggir Kali.Â
Menarik mobil-mobilan kesana kekemari
Bahkan ingus kami masih kau elap.Â
Ibu.Â
Kau manusia paling ikhlas.Â
Ibu.
Surga Firdaus telah dijanjikan untuk mu.Â
Ibu.Â
Ibu, aku percaya
Setiap hela nafasmu selalu terselip doa untukku yang se batu ini.Â
Tak hanya waktu.Â
Nafas pun akan kau beri di sa'at aku sedang terengah-engah.Â
Ibu.Â
Aku ter khayal wajahmu yang anggun.Â
Senyuman mu yang begitu ayu.Â
Tanpa sececah pun kau perlihatkan wajah sendu.
Tak segaris pun kau tanpa wajah cemas.Â
Aku teringat saat kau ayun aku dalam buai sarung biru itu.
Ibu..Â
Aku rindu.Â
Aku rindu.Â
Aku rindu.Â
Aku rindu sentuhan lembut mu.Â
Aku ingin berbaring di atas tikar lusuhmu.
Aku mau berbantal sejenak di simpuh kakimu yang selembut Sutra.Â
Aku mau di selimuti kasihmu yang tulus.
Ibu.Â
Peran mu takkan Tergantikan siapapun.Â
Tumpukan mutiara tak cukup balas jasamu.Â
Bahkan isi dunia sekalipun.Â
Andai aku bisa pegang kendali dunia.Â
Akan kuhapus istilah mati.Â
Agar kita bisa hidup abadi.
Pekanbaru, 19 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H