Hari valentine, muncul tiap tahun di bulan Februari. Berbagai perayaanpun dilakukan dan terus berulang, dan di saat yang bersamaan, berbagai laranganpun terus dilancarkan. Dari yang swasta sampai pemerintah dan dinas pendidikan di beberapa daerah melarang.
Sekolah Islam pun tidak ketinggalan selalu mengingatkan siswanya agar tidak ikut perayaannya. Acara TV pun tidak ketinggalan membahasnya. Namun apa yang dilakukan oleh mereka sepertinya tidak mengubah aktivitas sebagian pihak.
Banyak radio ibukota yang saya dengar tiap hari, gencar menyiarkan valentine, dengan menanyakan pada pendengar tentang apa rencana di hari valentine dan seperti apa perayaanya, walaupun dalam siarannya, penyiar mengucapkan salam dan menyuruh pendengar untuk tidak lupa sholat. Seakan tidak ada masalah di dalamnya.
Salah satu minimarket yang ada di pulau jawa sampai menjual coklat besar untuk mendukung valentine ini dan menawarkan pada konsumen, walau banyak konsumennya yang merupakan orang Islam. Tempat hangout umum pun juga tidak ketinggalan dengan ornamen valentinenya ikut merayakan. Oleh karena kondisi itu, valentine menjadi sesuatu yang kontroversi tetapi tetap dirayakan.
Mengapa bisa begitu? Mengapa ajaran untuk tidak mengikuti valentine, yang sejarahnya berasal dari pengalaman hidup seorang pemuka agama non Islam ini, seakan tidak banyak berpengaruh terhadap minat sebagian masyarakat Islam yang mayoritas di Indonesia ini untuk merayakannya?
Dalam kesempatan ini, saya mencoba sedikit menelaaah berdasarkan pemikiran dan tukar pendapat dengan rekan sejawat. Berikut jabarannya.
Saya berpendapat, bagi orang Islam yang ikut merayakan valentine, mereka mempunyai pikiran sebagai berikut:
Pertama, larangan untuk tidak ikut valentine, bagi sebagian orang Islam dianggap tidak sekeras larangan lain, atau dikatakan tidak ada dalam Qur’an, seperti tidak makan daging babi dan tidak berzina. Dalam qur’an jelas “Laa takrobuzzina” Janganlah kamu mendekati zina. Tidak ada “janganlah kamu ikut kegiatan valentine”. Padahal sebenarnya ada larangan yang jelas yaitu dalam hadits dikatakan, jika kamu mengikuti sebuah golongan, maka kamu termasuk di dalamnya. Kemudian dalam Qur’an, “Lakum diinukum waliadin” bagimu agamamu bagiku agamaku. Menurut saya kedua dalil ini cukup jelas maksudnya. Jika kita ikut merayakan berarti kita masuk ke dalam golongannya, dan jangan mencampur adukan ajaran Islam dengan ajaran lainnya.
Kedua, kasih sayang dianggap sesuatu yang patut dilakukan. Hari valentine, yang merupakan hari kasih sayang, dianggap sebagai sesuatu yang tidak membahayakan malah yang namanya kasih sayang patut dilakukan. Saya setuju bahwa kasih sayang patut dilakukan namun jika diakukan oleh seorang Islam namun bukan berdasar pada konteks sayang versi Allah SWT, apalagi berdasarkan pada agama lain, saya pikir itu tidak diperbolehkan. Kasih sayang yang merupakan sifat Allah, seperti yang biasa kita sebutkan dalam basmallah, “bismillahirrahmanirrahim”, ada “rahman” (pengasih) dan “rahim” (penyayang), wajib kita curahkan kapan saja, jika berdasar pada Allah SWT, bukan lainnya.
Ketiga, valentine dianggap hari kasih dunia, sehingga sifatnya universal. Tidak bisa dipungkiri valentine menjadi hari kasih internasional, sehingga dianggap bukan merupakan ajaran agama tertentu. Akan tetapi menurut saya, apapun yang sifatnya internasional jika asalnya bukan dari ajaran Islam, tetapi dari syiar agama lainnya, maka orang Islam tidak boleh ikut merayakannya.
Bagi orang-orang yang melarang valentine, seperti para pemuka agama Islam, valentine dianggap berbahaya karena beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, merusak akidah. Mencampurkan akidah Islam dengan aktivitas yang berasal dari ajaran agama lain tidak diperbolehkan. Hal itu untuk menjaga kemurnian ajaran dan juga akidah kita dalam menjalankan agama dan menyembahNya. Mencampuradukan juga akan membawa kebingungan dan kesesatan pada akhirnya.
Kedua, tidak bisa dipungkiri, dalam perayaan-perayaan sebelumnya, valentine membawa manusia pada pergaulan bebas, seperti hubungan seksual di luar nikah, dengan ditemukannya kondom yang dibagikan saat valentine. Efeknya tentu berbahaya bagi perkembangan generasi muda. Padahal yang namanya kasih sayang murni harusnya jauh dari hubungan seksual.
Kedua hal tersebut, walau cuma dua, tetapi sangat vital dan membawa efek yang besar bagi umat dan perkembangannya. Namun pada kenyataannya, seperti yang saya katakan di atas, perayaan valentine tetap ada dan setiap tahunnya larangan terus berulang-ulang. Kata teman saya, ya kalau memang harus begitu, ya tiap tahun harus begitu, maksudnya tiap tahun ada pelarang terus. Akan tetapi bagi saya, sesuatu yang klasik yang berulang-ulang seperti larangan valentine yang selalu ada tiap tahun, menunjukan kegagalan kita dalam memberi pemahaman kepada masyarakat. Harusnya sekali atau dua kali saja diberi pemahaman, lantas ga usah diulang-ulang. Namun pendapat teman saya mungkin ada benarnya bahwa yang namanya dakwah dan siar itu ga bisa sekali dua kali tetapi kudu berkali-kali. Ingat, namanya iman bisa turun naik! Namanya juga manusia, kadang kuat kadang lemah, begitu katanya.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
Pertama, seluruh umat Islam harus sepaham dan sependapat, sehingga tidak ada perayaan valentine walaupun cuma bagi-bagi bunga, baik di tingkat individu, maupun lembaga. Contoh ada lembaga umum yang akan merias fasilitasnya dan bagi-bagi bunga di hari valentine, menurut saya, yang seperti itu, bisa dikatakan merayakannya, dan orang-orang Islam yang melihat bisa saja menganggap itu boleh dilakukan, walau oleh orang Islam. Oleh karena itu, di hari valentine, kita lebih baik tidak melakukan gerakan apapun, anggaplah hari-hari biasa. Akan tetapi bagi umat atau lembaga agama lain yang merayakannya dipersilahkan.
Kedua, kejelasan atas tidak sesuainya valentine dengan ajaran Islam harus disiarkan tanpa menyinggung isi benar atau salahnya ajaran agama lain, karena mengagungkan ajaran kita dengan menjatuhkan ajaran lain tidak akan membawa simpati masyarakat, malah mungkin akan membuat masyarakat mencibir dan mencemooh, “lakum diinukum waliadin”, itu dasar saling menghormati kita.
Ketiga, memberi pemahaman kepada masyarakat agar tidak mencampuradukan ajaran agama. Karena dengan mencampuradukan, bukannya makin jelas, malah makin membuat bingung. Kementerian agama dan satuan kerja di bawahnya, serta tidak ketinggalan para pemuka agama dan lembaga pendidikan harus terus bergerak menegaskan hal itu.
Hari valentine, walaupun ada orang Islam yang merayakannya, tetapi banyak juga yang tegas mengatakan tidak merayakannya. Ini saya dengar di radio tatkala masyarakat yang menelpon dengan tegas mengatakan, saya tidak merayakannya! Saya pikir ini juga sinyal baik bagi umat, tinggal bagaimana kita menyebarluaskannya sehingga orang Islam yang ikut merayakannya bisa tahu, sadar, dan tidak merayakannya serta tidak memanfaatkannya sebagai kedok kasih sayang, terutama bagi remaja atau orang muda maupun tua yang berpacaran.
Akhirul kalam, semoga semuanya selalu dalam lindungan dan petunjuk Nya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H