Pertama, merusak akidah. Mencampurkan akidah Islam dengan aktivitas yang berasal dari ajaran agama lain tidak diperbolehkan. Hal itu untuk menjaga kemurnian ajaran dan juga akidah kita dalam menjalankan agama dan menyembahNya. Mencampuradukan juga akan membawa kebingungan dan kesesatan pada akhirnya.
Kedua, tidak bisa dipungkiri, dalam perayaan-perayaan sebelumnya, valentine membawa manusia pada pergaulan bebas, seperti hubungan seksual di luar nikah, dengan ditemukannya kondom yang dibagikan saat valentine. Efeknya tentu berbahaya bagi perkembangan generasi muda. Padahal yang namanya kasih sayang murni harusnya jauh dari hubungan seksual.
Kedua hal tersebut, walau cuma dua, tetapi sangat vital dan membawa efek yang besar bagi umat dan perkembangannya. Namun pada kenyataannya, seperti yang saya katakan di atas, perayaan valentine tetap ada dan setiap tahunnya larangan terus berulang-ulang. Kata teman saya, ya kalau memang harus begitu, ya tiap tahun harus begitu, maksudnya tiap tahun ada pelarang terus. Akan tetapi bagi saya, sesuatu yang klasik yang berulang-ulang seperti larangan valentine yang selalu ada tiap tahun, menunjukan kegagalan kita dalam memberi pemahaman kepada masyarakat. Harusnya sekali atau dua kali saja diberi pemahaman, lantas ga usah diulang-ulang. Namun pendapat teman saya mungkin ada benarnya bahwa yang namanya dakwah dan siar itu ga bisa sekali dua kali tetapi kudu berkali-kali. Ingat, namanya iman bisa turun naik! Namanya juga manusia, kadang kuat kadang lemah, begitu katanya.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
Pertama, seluruh umat Islam harus sepaham dan sependapat, sehingga tidak ada perayaan valentine walaupun cuma bagi-bagi bunga, baik di tingkat individu, maupun lembaga. Contoh ada lembaga umum yang akan merias fasilitasnya dan bagi-bagi bunga di hari valentine, menurut saya, yang seperti itu, bisa dikatakan merayakannya, dan orang-orang Islam yang melihat bisa saja menganggap itu boleh dilakukan, walau oleh orang Islam. Oleh karena itu, di hari valentine, kita lebih baik tidak melakukan gerakan apapun, anggaplah hari-hari biasa. Akan tetapi bagi umat atau lembaga agama lain yang merayakannya dipersilahkan.
Kedua, kejelasan atas tidak sesuainya valentine dengan ajaran Islam harus disiarkan tanpa menyinggung isi benar atau salahnya ajaran agama lain, karena mengagungkan ajaran kita dengan menjatuhkan ajaran lain tidak akan membawa simpati masyarakat, malah mungkin akan membuat masyarakat mencibir dan mencemooh, “lakum diinukum waliadin”, itu dasar saling menghormati kita.
Ketiga, memberi pemahaman kepada masyarakat agar tidak mencampuradukan ajaran agama. Karena dengan mencampuradukan, bukannya makin jelas, malah makin membuat bingung. Kementerian agama dan satuan kerja di bawahnya, serta tidak ketinggalan para pemuka agama dan lembaga pendidikan harus terus bergerak menegaskan hal itu.
Hari valentine, walaupun ada orang Islam yang merayakannya, tetapi banyak juga yang tegas mengatakan tidak merayakannya. Ini saya dengar di radio tatkala masyarakat yang menelpon dengan tegas mengatakan, saya tidak merayakannya! Saya pikir ini juga sinyal baik bagi umat, tinggal bagaimana kita menyebarluaskannya sehingga orang Islam yang ikut merayakannya bisa tahu, sadar, dan tidak merayakannya serta tidak memanfaatkannya sebagai kedok kasih sayang, terutama bagi remaja atau orang muda maupun tua yang berpacaran.
Akhirul kalam, semoga semuanya selalu dalam lindungan dan petunjuk Nya. Amin.