Ada hal menarik dari ajang balap MotoGP yang digelar untuk pertama kalinya di sirkuit Mandalika Lombok, NTB. Apalagi kalau bukan sosok kontroversial si pawang hujan. Sempat jadi trending topic di medsos, unggahan video aksinya di akun twitter resmi MotoGP sudah ditonton lebih dari tiga juta kali seminggu setelah race digelar.
Saya tidak ingin terlibat dalam pro kontra apakah pawang hujan benar-benar bisa memodifikasi cuaca atau tidak karena setiap orang bebas berpendapat. Begitu pula tentang halal haramnya aksi pawang hujan karena ada pihak yang lebih berkompeten dalam menilai hal tersebut.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah aksi mistik dan klenik itu memang sengaja dibiarkan untuk menjadi konsumsi publik ataukah tidak sengaja. Kalaulah disengaja, untuk apa aksi tersebut dipertontonkan ke khalayak ramai. Sebaliknya, kalaulah tidak disengaja, alangkah cerobohnya pihak penyelenggara acara sebesar itu bisa kecolongan oleh aksi si pawang. Namun hal ini jelas tidak mungkin.
Si pawang sendiri mengakui ia orang kepercayaan Menteri BUMN untuk melakukan tugasnya. Berbagai event kepresidenan dan kenegaraan pernah diikutinya. Dengan otoritas dan kapasitas yang dimilikinya, wajar-wajar saja ia tampil berani di Mandalika. Bisa saja baginya melakukan ritual itu sembunyi-sembunyi jika itu yang dikehendaki oleh panitia. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Jika aksi tersebut sengaja dipertontonkan secara terang-terangan di depan publik bahkan dalam sebuah event internasional, terus apa guna dan manfaatnya. Bukankah selama ini aktivitas pawang hujan biasanya hanya di balik layar alias tertutup. Lantas kenapa sosok pawang kali ini begitu istimewa sehingga diberikan red carpet berikut panggungnya dan bebas beratraksi.
Kalau alasannya kearifan lokal, apakah tidak ada budaya dan tradisi lain yang lebih pantas dan layak diangkat dari bangsa kita yang kaya dengan ragam seni dan budaya. Disadari atau tidak, aksi blak-blakan sang pawang sebenarnya jadi blunder bagi pemerintah sendiri. Aksi itu justru seakan menguak jati diri pemerintah yang sesungguhnya yang percaya dengan hal supranatural semacam itu.
Meski dipuji di akun twitter resmi MotoGP dengan menyebut si pawang hujan dengan jukukan "the master", sebaiknya jangan ge-er dulu. Hal itu sebetulnya lebih kepada etika dan tata krama dalam pergaulan atau relasi bisnis yang sudah seharusnya dilakukan.
Kebetulan di seri MotoGP kali ini ada momen spesial dan unik dimana sang pawang unjuk kebolehan di tengah lintasan sirkuit yang diguyur hujan deras. Sebagai suatu hiburan dan tontonan, ini tentulah menarik apalagi baru pertama kali terjadi dalam sepanjang sejarah balap MotoGP.
Tak heran jika kemudian MotoGP memberi apresiasi plus pujian kepada penyelenggara termasuk si pawang karena sudah bersusah payah berusaha demi terselenggaranya perhelatan bergengsi itu. Akan tetapi tanpa ritual magis pawang hujan sekalipun, MotoGP pasti akan tetap berterima kasih pada Indonesia sebagai tuan rumah yang telah menyukseskan event berdana 2,5 triliun rupiah dari APBN tersebut.
Tanpa aktivitas paranormal sekalipun, MotoGP sudah punya mekanisme sendiri jika race dihadapkan pada force major atau faktor alam. Hal itu bisa dilihat dari beberapa kejadian. MotoGP Inggris tahun 2018  dibatalkan karena hujan deras. Kualifikasi MotoGP Australia tahun 2019 juga batal karena cuaca buruk. MotoGP Austria tahun 1980 gagal karena salju tebal.
Bukan salah kita dan juga bukan hal memalukan jika race dibatalkan karena faktor cuaca ekstrem. F1 Belgia tahun 2021 sempat ditunda karena cuaca buruk. Namum, bisa tetap dilanjutkan kembali setelah ditunda selama tiga jam lebih. Ini menjadi bukti sekaligus contoh jika praktik paranormal tidak diperlukan dalam masalah ini.
Sebenarnya pemerintah sendiri punya Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang memang dilibatkan sejak awal perhelatan MotoGP Mandalika. Bersama BMKG dan TNI AU, BRIN melakukan teknologi modifikasi cuaca demi suksesnya gelaran tersebut. Teknologi ini sudah banyak diterapkan untuk berbagai tujuan di negeri kita. Sebagai contoh, mitigasi banjir, pengamanan pembangunan infrastruktur nasional, dan sejumlah acara kenegaraan.
Mereka yang justru berandil besar di balik ajang prestisius itu sayangnya tidak terlalu diekspose sepak terjangnya. Yang muncul ke permukaan malah pawang hujan. Ini seperti menunjukkan kalau pemerintah tidak pe-de dengan lembaganya sendiri sehingga masih harus pakai jasa cenayang.
Menyerahkan masalah itu kepada ahli di bidangnya seperti BRIN dan lembaga semisalnya, sudah lebih dari cukup bagi pemerintah. Untuk apa lagi repot-repot ngajak dukun kecuali memang punya keyakinan dan kepercayaan seperti itu. Di era disrupsi digitalisasi 5G metaverse kayak gini masih percaya gituan.  C'mon! Warga +62 yang sehat akal dan bersih hatinya tahu bagaimana semestinya bersikap. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H