Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Penghubung

23 Oktober 2021   10:10 Diperbarui: 23 Oktober 2021   10:23 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Roy Arifin seorang birokrat sejati. Ia meniti karirnya dari bawah. Berbagai daerah pernah ia singgahi. Berbagai pos pernah ia tempati sebelum akhirnya ia dipercaya mengisi posisi strategis di salah satu dirjen kementerian negara pada saat ini. Ia pernah masuk kepengurusan sebagai dewan pembina sebuah cabang olahraga pelatnas. Ia juga pernah ditunjuk sebagai tim ahli dalam penyusunan sebuah RUU oleh Istana. Semua itu melengkapi kiprahnya sebagai aparatur negara dengan segudang portofolio.

Berpostur tinggi rata-rata, sedikit gempal, dan berkulit sawo matang cerah dengan ciri khas berkumis tipis, berkaca mata, dan bertahi lalat di pipi kiri. Dengan logat Sunda yang cukup kental, gaya bicaranya simpel, tegas, berwibawa, instruktif, dan solutif. Khas seorang birokrat. Pembawaannya tenang, murah senyum, humoris tapi tetap serius. Orang-orang yang mengenal baik dirinya pasti mengakui Roy seorang pribadi yang ramah dan senang diajak ngobrol. 

Malam itu, Roy sedang menerima telepon di ruang kerjanya. Sambil memutar-mutar kursinya, ia tampak serius menyimak dan menanggapi pernyataan lawan bicaranya. Si pria di ujung telepon terdengar seperti sedang menerangkan sesuatu untuk meyakinkan Roy. Di akhir obrolan, pria itu mengatakan, "Sampai jumpa besok, Pak Roy! Selamat malam!"

Danu Erlino seorang sosok yang ideal. Muda, tampan, kaya, sukses, terkenal, dan terpandang adalah hal-hal yang biasa disematkan padanya. Singkatnya ia punya segalanya. Saat ini ia menjabat sebagai politisi senayan untuk masa bakti yang kedua kali. Ia memulai kiprahnya sebagai anggota dewan pada usia yang relatif muda, 24 tahun.

Berpolitik bukan hal asing baginya. Sang ayah, Erlino Suparman, juga seorang politisi yang pernah menjadi anggota legislatif daerah. Kemudian ia diusung partai pendukungnya dan memenangkan pilkada dua periode berturut-turut di kampung halamannya di Jawa. Faktor ayah ini berpengaruh besar dalam kehidupan Danu di kemudian hari meski sang ayah sudah pensiun sekalipun.

Melajunya Danu ke Senayan, ditengarai banyak pihak tidak lepas dari peran sang ayah di belakangnya secara langsung atau tak langsung. Saat pemilihan legislatif digelar, Danu yang notabene pendatang baru dan termuda di daerah pemilihannya, mampu mengungguli beberapa calon lain yang jelas-jelas lebih senior dan berada di atas angin.

Tak heran kemudian muncul tuduhan dan tudingan kecurangan atau money politics saat Danu dinyatakan menang. Menanggapi itu, Danu yang terpilih dengan santai berkomentar, "Dalam alam demokrasi apapun bisa terjadi. Mari kita jaga dan rawat demokrasi agar terus tumbuh dan berkembang di negeri kita tercinta ini." Benar-benar ungkapan yang khas dan berkelas bak politisi kawakan yang sudah malang melintang di dunia perpolitikan.

Sebelum berpolitik, Danu sudah bergelut di bidang pertambangan dan energi. Ia mendirikan perusahaan di bidang tersebut dan menjadi direktur utamanya. Meski begitu, ia menolak jika bisnis yang ia bangun dan rintis dari nol itu, memanfaatkan fasilitas dari ayahnya.

Menurutnya, bisnis yang ia jalani merupakan usaha dan kerja kerasnya sendiri bukan pemberian cuma-cuma sang ayah. Ia juga membantah jika akses yang didapatnya ke pemerintah, mendompleng nama besar sang ayah. Ia menegaskan tidak ada kaitannya semua itu dengan ayahnya walaupun sebenarnya publik tahu hal itu lebih sebagai basa-basi politik semata.

Sebagai pengusaha, ia banyak kenal dan menjalin hubungan dengan kalangan pejabat dan pemerintah. Dari pengalaman dan kedekatan itu, ia jadi paham bagaimana tabiat dan karakter para aparatur negara. Baginya, pengusa dan pengusaha seperti dua sisi mata uang koin yang sama. Keduanya tidak terpisahkan, saling memerlukan, dan melengkapi.

Roy bertemu dengan Danu pertama kali di suatu acara kantor sekitar setahun yang lalu. Setelah itu, beberapa kali keduanya bertemu kembali di kesempatan lain baik yang sifatnya formal atau nonformal. Dari sanalah, keduanya saling mengenal. Ditambah lagi, kedua anak mereka kebetulan bersekolah di satu sekolah yang sama. Semakin lengkaplah pertemanan antar keduanya.
 
Saat pertama kali melihat Danu, Roy langsung tahu karena wajahnya tidak asing muncul di tv. Juga namanya kerap menghiasi berita baik di media cetak maupun online. Bak selebritas, dimanapun dan kapanpun berada, ia selalu mendapat sorotan dan liputan dari para pemburu berita.

Danu sangat memahami pentingnya media sebagai sarana dalam membentuk opini dan membangun citra diri seseorang. Untuk itu, ia tidak menyia-nyiakan tiap kali kesempatan itu datang padanya. Ia akan berusaha tampil semaksimal mungkin bak seorang aktor dalam sebuah film. Tujuannya agar dirinya dikenal luas oleh khalayak sekaligus mendongkrak popularitas dirinya di panggung politik nasional.

Setelah perbincangan itu, Roy termangu memikirkan apa yang barusan dan dulu pernah Danu sampaikan. Sebenarnya apa yang Roy peroleh sebagai seorang birokrat yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun, sudah lebih dari cukup. Kehidupannya secara material dan finasial tak lagi jadi soal. Begitu pula status sosialnya, terpandang dan terhormat.

Sebagai aparatur negara, Roy sangat memahami dan menjunjung tinggi prinsip good goverment and clean governance. Secara konsep, setiap birokrasi pasti memimpikan pemerintahan yang bersih, transparan, berwibawa, dan melayani bukan yang korup, manipulatif, dan minta dilayani. Dalam praktiknya, para birokrat diwanti tidak memanfaatkan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Roy termasuk ke dalam kriteria abdi negara yang ideal sampai kemudian ia bertemu dengan Danu.

Seiring waktu, tampaknya faktor pertemanannya dengan Danu sangat memengaruhinya. Hal itu yang menyebabkan seolah akalnya mati dan hatinya membeku. Di titik itu, ia tidak menerima atau tidak juga menolak tawaran Danu. Ia begitu diliputi keraguan, tak mampu memutuskan dan menentukan langkah yang semestinya. Sementara besok, ia akan kembali bertemu Danu menindaklanjuti apa yang sudah dibicarakan sebelumnya. 


.......  

Sabtu pagi itu, Roy dan istrinya bersama Ericko pergi menghadiri acara perpisahan di sekolah Ericko. Acara itu diisi oleh para siswa dari kelas satu hingga lima dengan berbagai atraksi dan penampilan. Sementara siswa kelas enamnya sendiri, hanya menonton dan menikmati pertunjukkan yang disuguhkan adik-adik kelasnya. Ricko yang kelas empat, turut ambil bagian dalam acara itu. Ia ikut kabaret dan berperan sebagai seekor kelinci.

Ricko sudah berlatih intensif sebulan terakhir. Memangku kostum yang akan ia pakai segera setelah sampai di sekolah nanti, ia terlihat tegang. Dari kaca spion dalam mobil, Papa Roy memperhatikan gerak-gerik Ricko tersebut. "De, siap tampil?" tanya Papa sambil menyetir.

Pertanyaan itu hanya dibalas Ricko dengan anggukan pelan.
 
"Jangan gugup ya, De! Tenang aja. Anggap aja seperti latihan biasa. Mama yakin Dede bisa melakukannya," ujar Mama menyemangati.  

Meski bukan kali pertama Ricko tampil, Roy tidak ingin melewatkan kesempatan langka itu. Dari tempat duduknya, ia mengambil foto dan video saat Ricko sedang beraksi di atas pentas. Walau kemunculannya tidak terlalu lama, tapi bagi Roy dan Evi itu momen yang sangat berharga untuk disaksikan dan diabadikan.

Selesai pementasan Ricko, Roy berbisik ke sang istri. Ia lalu menuju ke bangku barisan belakang. Disana sudah menunggu Danu seperti yang sudah ia sampaikan di chat WA-nya.

Setelah menjabat tangannya, Roy duduk di samping Danu.

"Gimana putranya sudah tampil, Pak?" tanya Danu.

"Sudah di kabaret barusan yang jadi kelinci. Bagaimana Sahira?" tanya balik Roy.

"Ira tadi tampil di awal acara nyanyi bersama paduan suara kelas dua," jawabnya.

"Senang menyaksikan hari ke hari tumbuh kembang anak-anak kita. Penyejuk hati dan penenang jiwa di tengah centang-perenang dunia. Harapan dan tumpuan orangtua di masa depan. Bukan begitu, Mas Danu?" kata Roy yang teringat saat awal bertemu. Danu meminta Roy memanggilnya Mas saja karena merasa lebih muda.

"Betul sekali itu. Saya setuju banget. Saya mesti banyak belajar dari Bapak dalam masalah ini. Omong-omong, Ricko punya kakak ya?" ungkapnya.

"Iya betul. Beda sepuluh tahun. Kakaknya sekarang sudah kuliah. Oh ya, kapan Sahira punya adik?" tanyanya.

"Mudah-mudahan. Doain aja, Pak," katanya.

"Aamiin. Saya doakan," ujarnya.

Danu lalu memulai aksinya. "Pak Roy, lihat tas kantong di bawah kaki saya? Di dalamnya ada sebuah map berisi profil klien kita. Nanti Bapak bisa baca dan pelajari. Tolong diingat! Simpan berkas map di tempat yang tersembunyi tapi jangan di brankas. Misalnya di dalam lemari pakaian atau di loteng. Atau kalau dirasa tidak perlu lagi, dimusnahkan saja. Tujuannya buat jaga-jaga," jelasnya.

Kemudian ia melanjutkan, "Di dalamnya juga ada 20 kilo apel Washington sebagai persekot di muka. Sisanya akan diberikan setelah tender resmi diumumkan. Ada pertanyaan, Pak?"

"Terus terang saya sangat surprised dengan ini semua. Mas Danu tampak begitu tenang dan piawai saat melakukan ini seperti sudah biasa. Saya terheran-heran bagaimana anda bisa melakukan ini," tanyanya keheranan.

"Seperti Bapak lihat, ini sudah jadi pekerjaan saya. Dalam segala hal kita harus profesional. Saya hanya connector. Tugas saya menjadi penghubung orang dalam di pemerintahan dan orang luar yaitu pengusaha. Saya hanya memastikan hubungan itu berjalan dengan baik. Itu saja sebetulnya," terangnya.

Seperti memikirkan sesuatu, Roy lalu bertanya, "Bagaimana jika tender meleset dari perkiraan?"

Danu balik bertanya, "Mungkinkah itu terjadi jika orang dalam sudah kita kuasai? Dari pengalaman saya, kemungkinannya kecil terjadi. Saya yakin orang dalam akan mengurus segala sesuatunya dengan baik. Bukan begitu, Pak?"

Roy tampak masih ragu dengan apa yang akan ia lakukan. Ia ragu menerimanya dan ingin mundur. Namun bagaimana mungkin ia mundur setelah memutuskan menemui Danu hari itu. Mestinya ia tak perlu repot-repot bertemu kalau ternyata memilih mundur.

Ia mengutuk dirinya. "Kenapa sampai detik ini aku tidak dapat memutuskan? Bagaimana mungkin sekarang dibatalkan? Apa kata Danu? Betapa plin-plannya diriku!" gerutunya.

Seketika Danu berkata sambil menggeser tas kantong itu ke kaki Roy. "Ini saya serahkan ke Pak Roy."

Di saat yang genting itu, Evi datang menghampiri Roy. Dengan spontan, ia memperkenalkan Evi ke Danu yang merupakan kali pertama keduanya bertemu. Danu mengatakan istrinya ada di barisan depan. Evi berharap dapat bertemu dengannya. Ia lalu permisi hendak ke belakang panggung menjemput Ricko seraya berbisik ke Roy.

Entah apa yang merasuki Roy, tiba-tiba saja ia berkata ke Danu, "Saya mengharapkan pertemuan selanjutnya."

Danu tersenyum sambil berkata, "Akan saya atur. Nanti saya kabari lagi secepatnya."

Seiring dengan selesainya acara, Roy menjabat tangan Danu. "Terima kasih, Mas. Saya tunggu kabar selanjutnya."

"Baik, Pak Roy," katanya sambil mengisyaratkan agar membawa tas kantong yang ada di samping kaki Roy.

......

Berita Roy yang terinfeksi virus dan dirawat di rumah sakit itu, sampai ke telinga Danu. Ia langsung mengirim bingkisan parcel buah disertai kartu ucapan duka cita ke sang sahabat. Parcel itu diterima Evi saat kondisi Roy mulai berangsur pulih tapi masih berada di rumah sakit. Melalui pesan di WA, Roy mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa yang Danu berikan.

Selang seminggu setelah menghadiri acara di sekolah, mereka berdua bertemu kembali. Saat itu pandemi belum merebak sehebat sekarang. Sambil santai bermain golf, keduanya bertemu dan menyambut si pengusaha, Yogie Suhendar, di Sabtu pagi yang cerah itu. Itu semua idenya Danu. Ia yang mengatur dan mempertemukan semua pihak yang terlibat agar saling kenal dan memahami apa yang ia rencanakan sehingga tidak menimbulkan perbedaan dan kesalahpahaman.

Dari berkas yang diberikan Danu saat di sekolah waktu itu, Roy mengetahui profil si pengusaha dan perusahaannya. Seperti keturunan Tionghoa lainnya, bisnis yang digeluti Yogie tidak jauh dari jejak keluarga besarnya. Selain pertambangan dan energi, ia juga bergerak di bidang konstruksi dan properti. Dengan pengalaman puluhan tahun yang sudah dilalui, bisa dibayangkan setajir-melintir apa ia saat ini.

Dengan jaringan bisnis besar dan luas yang dimiliki, Yogie secara personal pribadi yang low profile tak hanya dalam penampilan tapi juga kepribadian. Untuk seorang pengusaha kelas kakap, pakaian yang ia kenakan saat bermain golf saat itu tergolong sederhana alias bukanlah branded yang mahal atau mewah. Sengaja tidak menyewa caddie, ia lebih memercayakan asisten pribadi sekaligus sopirnya untuk membantunya saat di lapangan.

Roy ingat saat pertama menyapa Yogie dan balas disapanya dengan logat Tionghoa yang kental. Kesan ramah, bersahabat, dan rendah hati langsung dirasakan Roy dari si pengusaha. Pembawaannya tenang, santai, dan murah senyum seolah hidupnya tak punya masalah.

Meski masuk kepala enam, Yogie masih energik. Ia mampu bermain hampir satu jam hingga permainan selesai. Pukulannya juga lumayan akurat tak kalah dari Danu dan Roy yang lebih muda. Beberapa kali ia mencatatkan pukulan bogey di atas par. Mereka sangat menikmati permainan itu karena memang tujuannya hanya untuk senang-senang. 


Selesai bermain, mereka bersantai di sebuah cafe yang berada di area golf. Sambil bersantap, mereka berdiskusi dan mematangkan rencana yang telah disiapkan dan segera dieksekusi. Perbincangan berlangsung dengan santai dan cair sesekali diselingi canda tawa.

Bak narasumber dalam sebuah talk show, Danu mampu menjawab dan memaparkan setiap pertanyaan yang muncul dengan tuntas dan memuaskan. Tampak sekali pengalamannya yang bicara. Ia sangat mengerti kondisi dan keingintahuan mitra kerjanya serta tahu bagaimana menghadapi mereka. Ia begitu sadar inilah waktunya untuk membuat mereka yakin dan percaya padanya dan juga rencananya. Untuk itu, ia tidak akan membuang kesempatan yang ada di depan mata.

Tak hanya kemampuan bicara, lobi, dan persuasi yang dikerahkan tapi juga kemampuan dana digelontorkan dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya tersebut. Semua dilakukannya secara totalitas seperti pertemuan hari itu. Semua biaya bermain golf, makan minum, dan lain-lain sengaja ditanggung Danu. Baginya, itu semacam jamuan kepada mitranya yang harus diperlakukan dan dihormati bak raja.

Bak orang yang mancing, ia beri umpan dulu untuk memperoleh hasil tangkapan. Setiap awal proyeknya, Danu sama sekali tidak terima apapun tapi malah ngemodal dulu untuk menarik mitranya. Baginya trust itu sangat penting dan itu yang ingin ia bangun lebih dulu. Ia memastikan, si pengusaha sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun sampai tender diumumkan dan proyek resmi dimulai. Begitulah cara kerja Danu yang sudah dipraktikkan selama ini.

Entah berapa lama ia sudah melakoni pekerjaan itu. Sepanjang masa kerja Roy, tidak banyak orang yang ia temui punya kemampuan seperti Danu namun lebih tidak banyak lagi orang yang mau melakukan pekerjaan gila semacam itu. Roy terheran-heran dibuatnya sekaligus kagum padanya. "Damn! Benar-benar rapi untuk pekerjaan yang kotor," gumam Roy dalam hati. 


(BERSAMBUNG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun