Roy bertemu dengan Danu pertama kali di suatu acara kantor sekitar setahun yang lalu. Setelah itu, beberapa kali keduanya bertemu kembali di kesempatan lain baik yang sifatnya formal atau nonformal. Dari sanalah, keduanya saling mengenal. Ditambah lagi, kedua anak mereka kebetulan bersekolah di satu sekolah yang sama. Semakin lengkaplah pertemanan antar keduanya.
Â
Saat pertama kali melihat Danu, Roy langsung tahu karena wajahnya tidak asing muncul di tv. Juga namanya kerap menghiasi berita baik di media cetak maupun online. Bak selebritas, dimanapun dan kapanpun berada, ia selalu mendapat sorotan dan liputan dari para pemburu berita.
Danu sangat memahami pentingnya media sebagai sarana dalam membentuk opini dan membangun citra diri seseorang. Untuk itu, ia tidak menyia-nyiakan tiap kali kesempatan itu datang padanya. Ia akan berusaha tampil semaksimal mungkin bak seorang aktor dalam sebuah film. Tujuannya agar dirinya dikenal luas oleh khalayak sekaligus mendongkrak popularitas dirinya di panggung politik nasional.
Setelah perbincangan itu, Roy termangu memikirkan apa yang barusan dan dulu pernah Danu sampaikan. Sebenarnya apa yang Roy peroleh sebagai seorang birokrat yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun, sudah lebih dari cukup. Kehidupannya secara material dan finasial tak lagi jadi soal. Begitu pula status sosialnya, terpandang dan terhormat.
Sebagai aparatur negara, Roy sangat memahami dan menjunjung tinggi prinsip good goverment and clean governance. Secara konsep, setiap birokrasi pasti memimpikan pemerintahan yang bersih, transparan, berwibawa, dan melayani bukan yang korup, manipulatif, dan minta dilayani. Dalam praktiknya, para birokrat diwanti tidak memanfaatkan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Roy termasuk ke dalam kriteria abdi negara yang ideal sampai kemudian ia bertemu dengan Danu.
Seiring waktu, tampaknya faktor pertemanannya dengan Danu sangat memengaruhinya. Hal itu yang menyebabkan seolah akalnya mati dan hatinya membeku. Di titik itu, ia tidak menerima atau tidak juga menolak tawaran Danu. Ia begitu diliputi keraguan, tak mampu memutuskan dan menentukan langkah yang semestinya. Sementara besok, ia akan kembali bertemu Danu menindaklanjuti apa yang sudah dibicarakan sebelumnya.Â
....... Â
Sabtu pagi itu, Roy dan istrinya bersama Ericko pergi menghadiri acara perpisahan di sekolah Ericko. Acara itu diisi oleh para siswa dari kelas satu hingga lima dengan berbagai atraksi dan penampilan. Sementara siswa kelas enamnya sendiri, hanya menonton dan menikmati pertunjukkan yang disuguhkan adik-adik kelasnya. Ricko yang kelas empat, turut ambil bagian dalam acara itu. Ia ikut kabaret dan berperan sebagai seekor kelinci.
Ricko sudah berlatih intensif sebulan terakhir. Memangku kostum yang akan ia pakai segera setelah sampai di sekolah nanti, ia terlihat tegang. Dari kaca spion dalam mobil, Papa Roy memperhatikan gerak-gerik Ricko tersebut. "De, siap tampil?" tanya Papa sambil menyetir.
Pertanyaan itu hanya dibalas Ricko dengan anggukan pelan.
Â
"Jangan gugup ya, De! Tenang aja. Anggap aja seperti latihan biasa. Mama yakin Dede bisa melakukannya," ujar Mama menyemangati. Â
Meski bukan kali pertama Ricko tampil, Roy tidak ingin melewatkan kesempatan langka itu. Dari tempat duduknya, ia mengambil foto dan video saat Ricko sedang beraksi di atas pentas. Walau kemunculannya tidak terlalu lama, tapi bagi Roy dan Evi itu momen yang sangat berharga untuk disaksikan dan diabadikan.
Selesai pementasan Ricko, Roy berbisik ke sang istri. Ia lalu menuju ke bangku barisan belakang. Disana sudah menunggu Danu seperti yang sudah ia sampaikan di chat WA-nya.