Mirna langsung menyela pembicaraan Ibu. "Tidak, Bu! Itu Yuda. Ia nyata. Itu benar-benar dia. Aku bersamanya semalam."
"Oh Tuhan! Suamimu sudah meninggal dalam kecelakaan enam bulan lalu. Tidak ingatkah kau saat berziarah ke makamnya bersama Ibu? Itu membuktikan Yuda telah wafat. Tempatnya bukan disini lagi. Sadarlah, nak!" ratap Ibu pilu.Â
.........
Melalui kaca sempit di pintu, Ibu tertegun menatap ke dalam ruang itu sembari mengusap matanya yang basah. Di ruang 3x4 itu, Mirna kini ditempatkan. Sudah hampir sebulan ia disana. Fisiknya tampak sehat. Sementara untuk pemulihan kesehatan jiwanya, masih terus diupayakan pihak rumah sakit. Ditemani seorang dokter, Ibu meninjau Mirna untuk mengetahui perkembangannya hari itu.
Pasca insiden di taman itu, Ibu membawa Mirna menemui Psikiater Elvira yang dulu menanganinya. Ibu menceritakan seluruh kejadian yang dialami Mirna. Psikiater lalu memeriksa Mirna. Apa yang dulu ia sampaikan, tidak jauh beda dengan saat ini. Menurutnya, trauma lamanya kambuh lagi karena dipicu oleh masalah pekerjaan dan pemecatan dirinya.
Akibatnya, gangguan psikisnya yang sudah dideritanya menjadi lebih parah dan mengarah pada gangguan jiwa berat. Meski demikian, dengan pengobatan dan perawatan intensif, Mirna masih mungkin disembuhkan. Untuk itu Ibu disarankan membawa Mirna ke RSJ. Sebenarnya Ibu tidak menginginkan hal itu tapi ia tidak punya pilihan lain. Ini yang terbaik bagi Mirna setidaknya untuk sementara waktu ini.
(SELESAI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H