Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#2)

28 Februari 2021   10:10 Diperbarui: 28 Februari 2021   10:13 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Motor sport 250 cc merah itu melaju meliuk-liuk menyusuri barisan mobil yang padat merayap siang itu. Tampak gagah di atasnya Tomi diapit erat Erika seolah tak ingin melepas dekapannya walau sesaat. Bak pembalap tengah beraksi, Tomi dengan atribut lengkap seorang rider, tidak mau melewatkan sedikitpun kesempatan dimana dia dapat memacu motornya segila mungkin. Jiwa balapnya benar-benar tersalurkan saat sedang melaju di jalanan.

Terbukti beberapa kali trafficlightyang dilewati sudah kuning bahkan hampir merah, Tomi tetap tancap gas. Bagi Erika, bermotor dengan Tomi adalah momen menyenangkan sekaligus mendebarkan. Baginya, ini merupakan uji adrenalin yang sesungguhnya. Saat dirinya merasa tegang dan takut, Tomi selalu hadir menenangkannya. Bak adegan dalam film romantis drakor, Tomi kerap mengatakan, "Jangan khawatir. Percaya saja samaku."

Mengendarai motor sport adalah impian Tomi sejak lama. Hal itu akhirnya bisa terwujud saat dirinya menginjak SMA. Motor itu adalah hadiah ulang tahun ke-17 dari mamanya. Meski begitu, ayahnya tidak begitu setuju dengan hadiah itu. Menurutnya, Tomi lebih baik diberi mobil saja tapi itu pun diberikannya nanti saat Tomi kuliah. Namun mamanya ngotot pada pendiriannya.

Hampir 15 menit Tomi dan Erika melaju nonstop di jalanan sebelum akhirnya sampai di tujuan. Berdiri megah di persimpangan jalan utama, cafe dua lantai itu dikelilingi oleh rimbunnya tanaman dan pepohonan. Sesuai dengan tema yang diusungnya "backtonature", suasana asri, sejuk, dan alami begitu terasa saat baru memasuki gerbang cafe ini. Sungguh tak disangka di tengah gemerlapnya hutan beton kota, terdapat taman "surga" seperti ini.

Cafe ini menawarkan berbagai menu berbahan dasar roti. Sementara, untuk minuman andalannya adalah kopi dengan berbagai varian rasa. Karena sangat perhatian dengan masalah lingkungan, cafe ini menerapkan aturan khusus. Selama berada di dalam areanya, para pengunjung tidak dibolehkan untuk merokok. Tempat makanan dan minuman juga terbuat dari bahan yang ramah lingkungan dan degradable.

Sore itu, pengunjungnya cukup ramai dipadati oleh sebagian besar anak muda. Bagi Erika ini pertama kalinya dia datang ke cafe ini. Dia cukup surprisedengan suasananya. Merasa gentlemandan berprinsip lady'sfirst, Tomi memberi keleluasaan Erika untuk menentukan tempat duduk. Erika memilih lantai atas dan mengambil meja yang ada di pojok dekat jendela. Viewnya memang bagus. Mungkin karena itulah dipilihnya.

Sambil memesan menu, mereka berdua tampak asyik ngobrol seperti dua orang teman lama yang baru bertemu kembali. Terdengar gelak tawa mereka sesekali ditengah obrolan. Tomi tampak sedang baik moodnya. Namun tidaklah demikian Erika. Walau terlihat tenang, batinnya berkecamuk. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak merusak suasana sore itu. Dia ingin semuanya berjalan baik dan senormal mungkin.

Pikirannya menerawang namun Erika tetap tersenyum dan sefokus mungkin saat berada di hadapan Tomi. Berbagai cara dia lakukan untuk menutupi perasaannya. Namun sekuat apapun usahanya, hatinya tetap tidak bisa tenang. Dia ingin Tomi tahu perasaannya tapi dia tidak tahu bagaimana cara menyatakannya.

Sampai suatu saat ketika Tomi sedang asyik bercerita, tiba-tiba saja dari mulut Erika terucap, "Tom, aku telat," suaranya lirih. Seakan tak percaya pada apa yang baru saja ia katakan, Erika refleks menutup wajahnya sambil tertunduk malu. Air matanya tak terasa mulai menetes disertai suara isak tangis walaupun terdengar agak samar.

Suasana hening sesaat. Tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya, Tomi berusaha sebisa mungkin menyangkalnya. Dia seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi entah kenapa lidahnya terasa kaku, tenggorokannya tercekat, tak mampu bicara sepatah katapun. Badannya seakan membatu. Tatapan matanya kosong. Dadanya berdegup kencang. Napasnya tak beraturan.


Keheningan seketika pecah saat Erika bicara. "Maafkan aku, Tom," ucapnya pelan sambil menahan isak tangis. "Aku tak bermaksud menyakitimu. Sudah tiga bulan ini ku pendam semua tapi kini aku tak sanggup lagi," tangisnya kian menjadi. "Aku ingin kau tahu tapi aku terlalu merisaukanmu. Aku sungguh bingung harus bagaimana." Erika terdiam sesaat. "Aku tak ingin dikasihani tapi yang ku ingin hanya pengertianmu. Maukah kau mengerti aku?" tatapan matanya lesu.


Setelah beberapa saat, Tomi akhirnya buka mulut. Suaranya terdengar serak dan gemetar. "Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" suaranya mendadak terhenti. "Setelah apa yang kita lalui bersama, inikah yang pantas ku terima?" nada bicaranya mulai meninggi. Beberapa pengunjung lain yang berada di dekat mereka tampak mulai memperhatikan.


Mendengar ucapan Tomi ini, raut muka Erika serta merta berubah. "Tom, dengarkan aku." Erika coba menenangkan. "Aku tahu kau pasti kaget dengan ini semua. Akupun juga sama. Bahkan aku begitu cemas dan takut belakang ini. Tapi dengar, kita akan mampu lewati ini selama kita tetap bersama. Bukankah itu yang kita lakukan selama ini? Tidak maukah kau melakukan hal itu demi kebaikan kita bersama?" pintanya memelas.


Tomi sepertinya tak peduli dengan hal tersebut sambil berkata, "Kau hanya ingin mengalihkan perhatianku saja. Iya kan?" suaranya meninggi lagi disertai sorot mata yang tajam. "Aku benar-benar tak habis pikir apa sebenarnya yang kau inginkan. Apakah ini semua karena uang? Berapa yang kau minta?" Tomi mulai bicara tidak terkendali sambil mengibaskan kedua tangannya ke atas.


"Tom, tenangkan dirimu." Erika berusaha sebijak mungkin menghadapi Tomi yang memang secara usia lebih muda dan belum terlalu dewasa pikirannya. "Tidak ada sedikitpun niatku untuk mempermainkanmu atau memanfaatkmu." Perubahan sikap yang kontras terlihat jelas pada diri Erika sebelum dan sesudah Tomi bicara.


Berusaha tetap tegar, Erika coba memahamkan Tomi, "Akupun tidak menghendakinya tapi inilah kenyataanya. Aku telah berbadan dua. Dan itu suatu hal yang alami terjadi ketika laki-laki dan perempuan begitu intens bersama. Seperti yang terjadi antara kita berdua. Ku harap kau tidak menyangkal hal itu," ujar Erika.


Suasana hening kembali. Sambil bertopang dagu, Tomi terlihat sedang berpikir. Perlahan dia tampak mulai menerima argumen Erika. Namun dia masih ragu untuk bersikap. Disatu sisi, dia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa Erika hamil. Disisi lain, dia tidak mau hidupnya terikat dan terkekang karena harus bertanggung jawab dan menikah pada usia yang masih sangat muda.


Dia coba mengompromikan kedua hal tersebut. Terlintas dalam pikirannya untuk membuat Erika menggugurkan kandungannya. Namun belum sempat dia nyatakan hal itu, Erika sudah keburu bicara. Seolah dia bisa membaca pikiran Tomi. "Aku ingin mempertahankan janin ini," katanya pelan. "Walaupun kau tidak menginginkannya," ungkapnya defensif.


Merasa kaget dengan ucapan tersebut, Tomi balik membalas dengan nada santai, "Akupun tak mau jadi ayah baginya meski kau memohon padaku setengah mati." Ditengah suasana yang sedang memanas ini, mereka berdua dikagetkan oleh dering hp. Tomi bergegas menerima teleponnya sambil memalingkan tubuh. "Halo, Ma!"


Suasana kikuk tak terelakkan. Tomi dan Erika seolah dua orang asing yang baru pertama kali bertemu. Dengan canggung Tomi berkata, "Mamaku baru pulang. Rumah dikunci. Jadi aku diminta pulang sekarang," ucapnya datar. "Mau ikut pulang bersamaku atau ....?" Belum selesai Tomi bicara, Erika sudah bergegas berdiri seraya berkata, "Iya," ucapnya singkat sambil berlalu.


Hanya ada keheningan selama perjalanan pulang tersebut. Tak ada boncengan mesra seperti saat berangkat. Keduanya tampak menjaga jarak satu sama lain. Bagi Erika, itu perjalanan bermotor terlamanya bersama Tomi padahal kecepatan Tomi memacu motornya tak kalah ngebut dibanding saat berangkat.


Keduanya terlihat masih shockberat akibat masalah ini. Parahnya, belum ada solusi atas persoalan ini. Komunikasi antara keduanya malah jadi mandek akibat dialog yang deadlock. Keduanya juga tampak seperti menahan diri untuk tidak melakukan atau mengatakan apapun yang dapat menambah pelik keadaan. Seolah diam menjadi opsi yang tepat bagi mereka berdua untuk sementara waktu ini.


Tiba di depan rumahnya, Erika langsung bergegas turun dari motor dan pergi begitu saja. Langkah kakinya terhenti saat dirinya dipanggil. "Erika!" seru Tomi dari atas motornya yang masih menyala. Dengan malu-malu Erika mendekat. "Aku hanya mau mengatakan bahwa aku menyesal atas semua ini. Untuk itu maafkanlah aku," kata Tomi dengan sungguh-sungguh. "Dan terima kasih atas segalanya selama ini," ucapnya haru seolah ini salam perpisahan darinya.


Erika hanya diam dan mendengarkan saja. Lalu keduanya saling menatap tanpa berkata-kata. Seolah pandangan mata yang bicara mewakili isi hati keduanya. Tak kuasa menahan perasaannya, mata Erika mulai berkaca-kaca. Semakin sulit dibendung saat Tomi meninggalkannya di sore nan sendu itu. Erika berlari masuk rumah sambil menahan air mata yang terus berderai.


........
Tanpa disadari, dari balik jendela kamar lantai atas, mamanya Erika menyaksikan pemandangan tersebut. Naluri keibuannya sontak meronta. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya. Ia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Ia akan menanyakan hal itu kepada Erika namun tidak sekarang karena ia merasa waktunya belum tepat.


Di mata mamanya, Erika adalah anak yang baik, cerdas, dan ceria. Walaupun sibuk dengan bisnis kuliner yang sudah lama digelutinya, tak pernah ia mendapati hal-hal aneh atau melihat Erika bisa sesedih itu. Selama ini Erika baik-baik saja dan tidak pernah macam-macam kelakuannya. Kejadian itu membuatnya khawatir. Kodratnya seorang ibu, masalah pada anaknya jadi masalah juga baginya dan membebani pikirannya.


Ia tahu Erika lagi dekat dengan Tomi. Ia juga pernah bertemu dengan Tomi beberapa kali. Menurutnya Tomi anak yang baik, sopan, dan perhatian. Pernah suatu ketika adiknya Erika, Ericko saat itu kelas 2 SD tertusuk duri ikan saat sedang menyantap makan siangnya. Tomi rela mengantarnya ke dokter dan mengurus segala sesuatunya sampai Ricko pulih kembali.


Kebetulan saat itu papanya Erika sedang tugas di luar kota didampingi mamanya. Mamanya sangat berterima kasih pada Tomi. Sejak peristiwa itu, mamanya jadi kenal baik dan dekat dengan Tomi. Tidak hanya mama tapi juga papa dan terutama Ricko.


Oleh Tomi, Ricko kadang suka dibawakan makanan, es krim, atau jajanan lainnya. Bahkan Ricko pernah diberi mainan mewah sebagai kado ulang tahunnya. Tomi sudah menganggap Ricko seperti adiknya sendiri karena merasa dirinya anak tunggal.


Mama Erika yang dari tadi masih di kamar, mendadak menangkap suatu gambaran yang berkelebat dalam benaknya. "Mungkinkah itu?" tanyanya dalam hati. "Oh, tidak!" Ia merasa takut jika itu terjadi. Ia bergegas keluar kamarnya lalu menghampiri Ricko yang sedang asyik nonton kartun favoritnya.


"Dik, dik! Sini sayang!" sapanya lembut.
"Ada apa, Ma? Adik kan lagi asyik nonton nih," sanggahnya.
"Sebentar aja. Mama gak lama-lama".
Ricko mendatangi mamanya yang berada di ruang tamu.
"Boleh Mama tanya sesuatu, sayang?" suaranya sepelan mungkin.
Sambil mengangguk, Ricko masih menatap layar tv dari kejauhan.
"Apa Adik pernah lihat Kak Tomi main kesini?" tanyanya dengan lambat.
"Iya, pernah."
"Kapan itu, sayang?" tanyanya penasaran.
"Dulu."
"Dulu itu baru atau udah lama?"
"Ehhh ... udah lama" jawab Ricko agak berpikir.
"Mama, udah belum nanyanya? rengek Ricko.
"Sedikit lagi ya. Waktu Kak Tomi kesini, Adik lihat gak Kak Tomi ada dimana?"
Ricko tampak diam. Khawatir tidak paham apa yang ditanyakan, mama buru-buru meralat pertanyaannya.
"Apa Kak Tomi ada di tempat Adik nonton tv?"
Ricko hanya mengangguk.
"Terus selain itu dimana lagi, Dik?"


Ricko tampak mulai jenuh ditanya terus dari tadi. Tiba-tiba dia lalu menunjuk ke suatu arah. Mama kaget bukan kepalang namun ia berusaha tetap tenang dan ingin memastikan isyarat Ricko itu.

"Apa yang Adik tunjuk itu kamar Kak Rika?"
Detak jantung Mama bertambah kencang menanti jawaban Ricko.
"He eh" jawab Ricko polos.
"Kamarnya Kak Rika kah yang Adik tunjuk?" tanya Mama sekali lagi.
"Iya" jawab Ricko.

"Apa Kak Tomi masuk ke dalam kamarnya Kak Rika?" Mama kian tegang.

"Kayaknya ... masuk tuh," jawab Ricko ragu-ragu.
"Oke, Adik boleh nonton lagi. Makasih ya sayang," kata Mama mengakhiri interogasinya.

Mama terenyuh sambil menantap foto-foto keluarga yang dipajang di dinding ruang tamu. Kebanyakan darinya adalah foto suaminya bersama para pejabat negara bahkan RI 1. "Oh Tuhan, apa jadinya kalau dugaanku ini benar? Mau dibawa kemana mukaku dan nama keluarga ini?" ujar mama dalam hati. Terbayang wajah suaminya, Roy Arifin, pria yang telah menemani hidupnya selama 22 tahun ini, harus menanggung malu.


Roy, seorang birokrat eselon 1 di sebuah kementerian, pertama kali bertemu Mama Evi saat sedang berdinas di Bandung. Saat itu Mama Evi sedang magang di kantor Papa Roy. Setelah melalui LDR yang cukup lama, Tuhan akhirnya menakdirkan mereka untuk berjodoh selamanya.


Selepas menikah, mama yang punya hobi membuat kue sejak remaja, merintis usaha kecil-kecilan dari rumah. Meski hidupnya sudah mapan, mama bukan tipe orang yang suka berdiam diri. Ia tetap mencari kesibukan dengan menyalurkan hobi masaknya. Suaminya sendiri tidak melarang kegiatan tersebut tapi tidak juga terlalu mendukungnya.


Memanfaatkan momen arisan ibu-ibu di perumahan dan acara perkumpulan wanita di kantor suaminya untuk menawarkan produknya, perlahan tapi pasti bisnis mama berkembang. Dengan merek dagang "Roti Mama" , satu per satu gerai dibuka dan masih eksis hingga sekarang. Kini mama tinggal menikmati hasil jerih payahnya selama ini.


Masih diam membisu di ruang tamu, mama merenung apa yang keliru selama ini. Ia merasa sudah memberikan yang terbaik kepada kedua anaknya, memperhatikan kondisi mereka, merawat dan mendidik mereka. "Kalau begitu siapa yang harus bertanggung jawab atas accidentini?" gumamnya dalam hati.


Mama seperti tak habis pikir kenapa Erika bertindak sebodoh ini. Kenapa Tomi berbuat senekat ini? Kenapa juga keduanya melabrak batasan yang semestinya? Memikirkan hal itu, mama jadi pusing sendiri sekaligus sedih. Ketenangan hidupnya selama ini tiba-tiba sirna dalam sekejap berganti rasa takut dan cemas.


Setiap kali mama menyangkal hal buruk yang kian tampak di depan matanya, semakin sadar ia tidak bisa lari dari kenyataan. Baginya tak ada gunanya lagi menyangkal. Nasi sudah jadi bubur. Lebih baik sekarang dia bersiap-siap dengan segala kemungkinan terburuk yang akan datang.


(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun