Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#2)

28 Februari 2021   10:10 Diperbarui: 28 Februari 2021   10:13 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Keheningan seketika pecah saat Erika bicara. "Maafkan aku, Tom," ucapnya pelan sambil menahan isak tangis. "Aku tak bermaksud menyakitimu. Sudah tiga bulan ini ku pendam semua tapi kini aku tak sanggup lagi," tangisnya kian menjadi. "Aku ingin kau tahu tapi aku terlalu merisaukanmu. Aku sungguh bingung harus bagaimana." Erika terdiam sesaat. "Aku tak ingin dikasihani tapi yang ku ingin hanya pengertianmu. Maukah kau mengerti aku?" tatapan matanya lesu.


Setelah beberapa saat, Tomi akhirnya buka mulut. Suaranya terdengar serak dan gemetar. "Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" suaranya mendadak terhenti. "Setelah apa yang kita lalui bersama, inikah yang pantas ku terima?" nada bicaranya mulai meninggi. Beberapa pengunjung lain yang berada di dekat mereka tampak mulai memperhatikan.


Mendengar ucapan Tomi ini, raut muka Erika serta merta berubah. "Tom, dengarkan aku." Erika coba menenangkan. "Aku tahu kau pasti kaget dengan ini semua. Akupun juga sama. Bahkan aku begitu cemas dan takut belakang ini. Tapi dengar, kita akan mampu lewati ini selama kita tetap bersama. Bukankah itu yang kita lakukan selama ini? Tidak maukah kau melakukan hal itu demi kebaikan kita bersama?" pintanya memelas.


Tomi sepertinya tak peduli dengan hal tersebut sambil berkata, "Kau hanya ingin mengalihkan perhatianku saja. Iya kan?" suaranya meninggi lagi disertai sorot mata yang tajam. "Aku benar-benar tak habis pikir apa sebenarnya yang kau inginkan. Apakah ini semua karena uang? Berapa yang kau minta?" Tomi mulai bicara tidak terkendali sambil mengibaskan kedua tangannya ke atas.


"Tom, tenangkan dirimu." Erika berusaha sebijak mungkin menghadapi Tomi yang memang secara usia lebih muda dan belum terlalu dewasa pikirannya. "Tidak ada sedikitpun niatku untuk mempermainkanmu atau memanfaatkmu." Perubahan sikap yang kontras terlihat jelas pada diri Erika sebelum dan sesudah Tomi bicara.


Berusaha tetap tegar, Erika coba memahamkan Tomi, "Akupun tidak menghendakinya tapi inilah kenyataanya. Aku telah berbadan dua. Dan itu suatu hal yang alami terjadi ketika laki-laki dan perempuan begitu intens bersama. Seperti yang terjadi antara kita berdua. Ku harap kau tidak menyangkal hal itu," ujar Erika.


Suasana hening kembali. Sambil bertopang dagu, Tomi terlihat sedang berpikir. Perlahan dia tampak mulai menerima argumen Erika. Namun dia masih ragu untuk bersikap. Disatu sisi, dia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa Erika hamil. Disisi lain, dia tidak mau hidupnya terikat dan terkekang karena harus bertanggung jawab dan menikah pada usia yang masih sangat muda.


Dia coba mengompromikan kedua hal tersebut. Terlintas dalam pikirannya untuk membuat Erika menggugurkan kandungannya. Namun belum sempat dia nyatakan hal itu, Erika sudah keburu bicara. Seolah dia bisa membaca pikiran Tomi. "Aku ingin mempertahankan janin ini," katanya pelan. "Walaupun kau tidak menginginkannya," ungkapnya defensif.


Merasa kaget dengan ucapan tersebut, Tomi balik membalas dengan nada santai, "Akupun tak mau jadi ayah baginya meski kau memohon padaku setengah mati." Ditengah suasana yang sedang memanas ini, mereka berdua dikagetkan oleh dering hp. Tomi bergegas menerima teleponnya sambil memalingkan tubuh. "Halo, Ma!"


Suasana kikuk tak terelakkan. Tomi dan Erika seolah dua orang asing yang baru pertama kali bertemu. Dengan canggung Tomi berkata, "Mamaku baru pulang. Rumah dikunci. Jadi aku diminta pulang sekarang," ucapnya datar. "Mau ikut pulang bersamaku atau ....?" Belum selesai Tomi bicara, Erika sudah bergegas berdiri seraya berkata, "Iya," ucapnya singkat sambil berlalu.


Hanya ada keheningan selama perjalanan pulang tersebut. Tak ada boncengan mesra seperti saat berangkat. Keduanya tampak menjaga jarak satu sama lain. Bagi Erika, itu perjalanan bermotor terlamanya bersama Tomi padahal kecepatan Tomi memacu motornya tak kalah ngebut dibanding saat berangkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun