Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tetap Optimistis di Masa Kritis

11 September 2020   16:16 Diperbarui: 11 September 2020   16:19 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: depositphotos

Dalam buku best sellernya “Homo Deus" (2015), Yuval Noah Harari, sejarawan dan filsuf asal Israel, menyebutkan ada tiga masalah fundamental sepanjang sejarah umat manusia yaitu kelaparan, perang, dan wabah penyakit. Akhir 2019, merebaklah virus corona. Fenomena ini seakan mempertegas apa yang diisyaratkan Harari dari jauh hari.

Apa yang terjadi saat ini (pandemi global covid-19) barulah awal dari krisis. Situasinya bisa berkembang seburuk krisis hebat pada awal 1930-an. Demikian pendapat Albrecht Ritschl, profesor sejarah ekonomi dan guru besar di London School of Economics, melihat perkembangan dunia terkini (dw.com 2/4/2020). Cukup provokatif, tendensius, dan seram pada awalnya namun makin relevan belakangan ini.

Baru saja memasuki 2020, dunia mendadak dibuat shock dan panik ketika suatu kasus misterius pertama kali muncul di Wuhan, China. Orang-orang tidak tahu-menahu, bingung, cemas, takut, merasa tidak siap, dan hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi. 

Sebuah kenyataan yang membelalakkan mata, menggoncang nalar, dan menggetarkan jiwa. Sosok "monster" menakutkan tak kasat mata itu bernama virus corona atau covid-19.

Seiring waktu, bukan mereda tapi virus ini malah semakin menggila dan benar-benar berbahaya. Kekacauan dan kerusakan yang ditimbulkannya begitu nyata dan luar biasa. 

Bahayanya tidak hanya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa manusia saja tapi juga mengancam seluruh bidang kehidupan. Corona telah "berhasil" menyabotase dan merubah tatanan hidup manusia di planet ini hanya dalam hitungan beberapa bulan saja.

Seorang epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan bahwa virus corona membawa dampak begitu besar dalam kehidupan manusia di dunia bahkan terbesar sepanjang sejarah pandemi (okezone.com 29/8/2020). 

Bahkan dampaknya masih akan terasa hingga puluhan tahun ke depan seperti yang dikatakan dirjen WHO Tedros Adhanom (antaranews.com 1/8/2020).

Dilansir dari worldometers.info, sampai akhir Agustus, corona dunia ada 25 juta kasus, meninggal 850 ribu, dan sembuh 17 juta. Setidaknya sudah 200 negara yang mengonfirmasi terjangkit virus ini. Sementara untuk skala nasional, berdasarkan data di laman covid-19.go.id, terdapat 172 ribu kasus, sembuh 124 ribu, dan meninggal 7.300an. Covid "menghadiahi" Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara per medio Agustus.

Dilihat dari angka kematiannya baik lokal maupun global, totalnya tidak seberapa dibanding penyakit lain atau misalnya pandemi Black Death abad ke-14 yang memakan korban 75 sampai 200 juta jiwa menurut data National Geographic. 

Namun efek destruktif yang dihasilkan corona begitu hebat. Dampak ekonomi, sosial, psikologi, dan mungkin geopolitik dari covid akan sangat mungkin menyaingi dampak pandemi flu Spanyol 1918 yang jauh lebih mematikan.

Gelombang dahsyat pandemi corona telah "sukses" meluluhlantakan perekonomian global. Hingga pertengahan Agustus, setidaknya sudah 14 negara yang masuk fase resesi. Sementara Indonesia jika pada kuartal III 2020 pertumbuhan ekonominya kembali minus dimana sebelumnya anjlok -5,32, maka dipastikan akan mengalami resesi.

Untuk dunia usaha dan bisnis, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, menyebutkan hampir semua sektor terdampak covid-19 (cnbcindonesia.com 3/4/2020). Hal sama disuarakan Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Kadin menilai saat ini hampir semua sektor sudah terkena dampak negatif pandemi (kontan.co.id 8/5/2020).

Beberapa bisnis paling parah terdampak dan kerugiannya juga sangat besar seperti pariwisata, perjalanan, manufaktur, hiburan, dan jasa. Banyak perusahaan besar hingga Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terancam pailit dan bangkrut. Kondisi ini diperburuk lagi oleh maraknya gelombang PHK massal dan meningkatnya jumlah pengangguran.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, total pekerja kena PHK maupun dirumahkan sebanyak 3,5 juta orang. Jika ditambah dengan 6,8 juta pengangguran sebelum pandemi, jumlahnya mencapai 10,3 juta seperti yang disampaikan Menaker Ida Fauziyah (detik.com 1/9/2020). Sementara, menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan sudah 6,4 juta karyawan yang di-PHK atau dirumahkan oleh perusahaan akibat wabah virus corona (bisnis.com 25/6/2020). 

Peningkatan angka kemiskinan sebagai efek samping dari PHK massal menjadi tidak terelakkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret lalu mencapai 26,42 juta atau 9,78 persen dari total populasi Indonesia. 

Dengan merebaknya covid, angka tersebut dipastikan akan terus meningkat. Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat prediksi corona akan membuat tingkat kemiskinan naik menembus kisaran 12 persen atau 30 juta orang seperti pada 2011 silam (cnnindonesia.com 14/8/2020).

Banyak pengusaha kaya dalam negeri yang mendadak jatuh miskin karena dihantam wabah corona. Ini terlihat dari banyaknya sengketa bisnis antara pelaku usaha dan pengajuan kepailitan baik sedang maupun akan berpotensi muncul di kemudian hari (sindonews.com 27/8/2020). 

Sejauh ini, setidaknya sudah ada lima perusahaan rintisan yang resmi menutup layanannya akibat pandemi ini. Kelima startup tersebut adalah Sorabel, Eatsy, Stoqo, Hooq, dan Airy Rooms (katadata.co.id 7/8/2020).

Kelompok rumah tangga juga tak luput dari hantaman badai covid. Menurut pakar IPB Dr Istiqlaliyah Muflikhati sebanyak 55,5 persen keluarga di Indonesia mengalami penurunan pendapatan (ipb.ac.id 19/6/2020). 

Sementara, hasil survei lembaga penelitian Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menunjukkan sebanyak 69 persen responden menganggap kondisi ekonomi rumah tangganya lebih buruk dibanding sebelum pandemi (kompas.com 9/8/2020).

Tidak hanya kelas ekonomi miskin saja yang terdampak keuangannya tapi juga kelas ekonomi menengah ke bawah. Kelas menengah ke bawah ini rentan jatuh miskin jika ada pandemi berskala luas seperti sekarang (bbc.com 4/4/2020). 

Menurut data kemenkeu, saat ini, lebih dari 50 juta rakyat Indonesia tergolong kelas menengah atas dan 120 juta penduduk kelas menengah harapan atau bawah.

Kelas menengah sebagai pelaku dan penggerak utama UMKM, memegang peranan penting dalam roda perekonomian nasional. Namun sayangnya ketika corona merebak, kelompok ini bukanlah termasuk bagian yang disasar pemerintah dengan berbagai program atau bentuk bantuan seperti sembako, PKH, BPNT, BLT, prakerja, dan subsidi gaji. 

Mereka harus berjuang sendiri demi bertahan hidup dan mempertahankan kelangsungan hidup usahanya padahal mereka juga terdampak perekonomiannya sama seperti golongan miskin.

Tidak heran kemudian dalam realitasnya baru-baru ini dan sempat viral diberitakan ada seorang pilot maskapai penerbangan komersial yang dirumahkan oleh perusahannya, terpaksa beralih profesi berdagang mie ayam di BSD Tangerang Selatan. Langkah ini ditempuhnya semata untuk  menghidupi keluarganya dan membiayai empat anaknya masih usia sekolah (kompas.com 12/8/2020).

Ini contoh dan bukti nyata bagaimana kelompok menengah berjuang demi bertahan hidup di kala pandemi melanda. Banyak dari mereka saat ini yang hilang pekerjaan, penghasilan sekarat sedangkan pengeluaran tambah berat, usahanya rontok, tabungannya terkuras, harta dan asetnya pelan-pelan habis, sementara pandemi entah kapan berakhir. 

Sebagai mahluk sosial yang punya rasa empati dan simpati, merupakan kesempatan bagi kita untuk membantu dan meringankan sesama sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Dampak covid-19 dan krisis ekonomi yang ditimbulkannya pada aspek psikologi atau kesehatan mental tidaklah kalah hebat. Menurut Dr. Bagus Takwin dari UI, dampak psikologis yang terjadi dari wabah penyakit bisa memengaruhi 7 aspek yaitu emosional, kognitif, tingkah laku, kesehatan, sosial - budaya, ketimpangan dan ketidaksetaraan, dan politik. 

Sedangkan, dampak psikologis dari krisis ekonomi memengaruhi peningkatan prevalensi penggunaan alkohol dan narkoba, bunuh diri, penggunaan layanan kesehatan mental, dan ketimpangan kesehatan (febui.ac.id 2/6/2020).

Dalam realitasnya dampak covid-19 dan krisis ekonomi, bisa dilihat dari tingginya angka kriminalitas. Polri mengakui tingkat kriminalitas meningkat selama pandemi corona sebesar 19,72 persen dibanding sebelum pandemi. 

Naiknya tingkat kriminalitas salah satunya disebabkan oleh banyaknya orang yang terdampak secara ekonomi karena pandemi. Hal inilah mendorong orang nekat berbuat kriminal (katadata.co.id 22/4/2020).

Selain itu, wabah corona menimbulkan masalah lainnya seperti meningkatnya angka bunuh diri dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Silverius Yoseph Soeharso (mediaindonesia.com 22/6/2020). Kebanyakan kasus bunuh diri akibat komplikasi akut dari lemah iman, lemah akal, dan lemah ekonomi. Sungguh fakta yang menyedihkan.

Satu lagi, meningkatnya angka perceraian selama pandemi. Faktor ekonomi dituding menjadi alasan kuat banyaknya pasangan yang memilih untuk berpisah (republika.co.id 27/8/2020). 

Data menunjukkan saat awal penerapan PSBB pada April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20 ribu kasus. Namun, pada Juni dan Juli, jumlah perceraian meningkat menjadi 57 ribu kasus (detik.com 28/8/2020).

sumber: depositphotos
sumber: depositphotos
Penutup

Lalu kapankah corona hilang? Pimpinan WHO berspekulasi pandemi covid baru bisa berakhir dua tahun lagi (bbc.com 22/8/2020). Namun sejatinya tidak seorangpun tahu persis apa yang akan terjadi esok hari. Tapi satu hal yang pasti kita hidup pada hari ini dan itu nikmat yang luar biasa dan harus disyukuri walaupun dunia saat ini sedang dilanda bencana pandemi dan seabrek masalah yang ditimbulkannya. 

Lantas apa yang kita perbuat? Coba kita simak apa yang dikatakan Bob Weighton, pria tertua di dunia yang pernah mengalami pandemi flu Spanyol tahun 1918-1920 dan yang luar biasa masih hidup hingga sekarang. Dia mengatakan bahwa kita harus menerima apa yang terjadi dan melakukan apa yang bisa kita lakukan selama masa isolasi ini (kompas.com 5/4/2020).

Tersirat pesan agar kita mesti ikhlas dan rela dengan kondisi yang ada meskipun dalam prakteknya tidaklah mudah. Tidak berputus asa, mengeluh, dan menyerah dalam mengarungi hidup di saat bencana corona datang menguji. Tugas kita hanyalah berusaha dan memastikan apa yang kita lakukan hari ini adalah yang terbaik. Men propose, God dispose. Manusia hanya bisa berencana. Hasilnya diserahkan kepadaNya.

Perkuat aspek spiritual di tengah merosotnya kemampuan material dan finansial. Orang dengan kecerdasan spiritual yang baik akan lebih mampu menghadapi gejolak krisis dalam hidupnya. 

Kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman hati atau jiwa menjadi obat mujarab bagi berbagai permasalahan hidup seperti penderitaan, kemelaratan, kegagalan, kesusahan, dll. Juga terapi bagi berbagai penyakit mental seperti stres, depresi, kesedihan, ketakutan, dan kecemasan.

Perkuat imun dan jaga kesehatan sebagai upaya melindungi diri dan orang lain. Jangan merasa aman terlebih jika berada di zona merah atau di dekatnya. Tidak ada jaminan sekalipun kita sehat segar-bugar bisa saja tertular tanpa disadari. 

Sudah banyak bukti mengenai hal ini (saudara saya sendiri mengalaminya). Jangan lengah dan selalu waspada. Terapkan dan taati protokol kesehatan ketika berada di ruang publik. Terapkan pola hidup bersih dan sehat. Makan makanan sehat dan bergizi. Istirahat yang cukup dan olahraga teratur.

Konsistenlah dengan nilai-nilai moral yang selama ini dipegang. Kualitas seseorang sebanding dengan beratnya ujian atau cobaan yang diterimanya. Tiap orang hanya akan diuji sesuai dengan kesanggupannya. 

Bersabarlah dengan sebaik-baiknya karena pasti akan membuahkan hasil. Bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Bahkan dibalik krisis sekalipun pasti ada pelajaran dan hikmah yang bisa diambil. Inilah saatnya kita melakukan introspeksi dan revisi menuju perubahan yang lebih baik di masa depan.

Alhasil, tetaplah optimis, berpikir positif, bersemangat, berharap, dan berdoa dalam kondisi sekritis apapun. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan menghendaki. Semoga Dia mendengar dan menerima  doa-doa kita.

(didedikasikan untuk siapapun yang saat ini sedang berjuang demi bertahan hidup ditengah dahsyatnya bencana covid-19. Kita semua senasib sepenanggungan karena corona meninggalkan bekas yang mendalam di benak kita. Mari bersama kita lalui ini semua dengan tegar sambil terus berupaya dan berdoa. Semoga badai segera berlalu. Hari esok yang lebih cerah kan kita jelang. Aamiin )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun