Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Profesor Galtung dan Amerika Ambyar Tahun 2020

20 Agustus 2020   20:20 Diperbarui: 20 Agustus 2020   20:26 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2000, Johan Galtung, profesor sosiologi dan nominator peraih Nobel asal Norwegia, pertama kalinya memprediksi keruntuhan imperium Amerika Serikat dalam waktu tidak lebih dari 25 tahun.

Pasca kemenangan Bush Jr. menjadi Presiden AS, Galtung merevisi prediksinya menjadi lebih cepat lima tahun. Menurutnya,  Bush menjadi faktor akseleratornya (democracynow.org 7/6/2010).

Di tahun 2009, Galtung, bapak pendiri Studi Konflik dan Perdamaian dan juga profesor di Universitas Hawaii, menulis sebuah buku yang berjudul “The Fall of the US Empire and Then What?”

Di buku itu, dia menggunakan teori “sinkronisasi dan kontradiksi yang saling memperkuat” sebagai alat bantu dalam membuat prediksinya. Salah satu prediksi akurat yang pernah dibuatnya adalah keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.

Menurutnya, ada 15 besar fenomena sinkronisasi dan kontradiksi yang saling memperkuat yang tengah melanda AS. Lebih lanjut, hal itu akan membawa kepada fase berakhirnya kekuatan global AS pada tahun 2020. Galtung memperingatkan bahwa selama melewati fase kemundurannya ini, AS akan menjadi negara yang sangat fasis dan reaksioner (kiblat.net 2/2/2017).

Gejala fasisme ini makin terlihat jelas sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada tahun 2016. Kebijakan anti imigran dan minoritas di awal pemerintahannya kian mempertegas kontradiksi yang dimaksud Galtung.

"Kepemimpinan Trump akan mempercepat penurunan pengaruh AS secara global. Tapi tentu kita harus melihat apa yang ia perbuat selama menjadi presiden," ujar Galtung seperti dikutip dari laman The Independent.

Menurut Galtung, semakin kuat sebuah imperium,  semakin cepat  ia meningkatkan  kontradiksinya. Pada gilirannya semakin tinggi kekacauan internal, maka semakin dekat ia pada keruntuhan. Ini adalah sebuah hukum yang disimpulkan Galtung dari analisis model perbandingan tentang kebangkitan dan kejatuhan 10 imperium yang bersejarah (motherboard.vice.com 6/12/2016).

Sejak Trump menjabat presiden Januari 2017, setidaknya ada tiga fenomena penting dan relevan berkaitan dengan prediksi yang dibuat Galtung pada tahun 2000. Pertama, perang dagang dengan China yang mulai muncul ke permukaan pada Maret 2018. Kedua, merebaknya Covid 19 Desember 2019. Terakhir, peristiwa terbunuhnya George Floyd yang diikuti demonstrasi pada akhir Mei 2020.

Pertama
Perang dagang AS dan China yang digagas Presiden Trump kenyataannya jauh panggang dari api. Alih-alih mengurangi defisit perdagangan dengan menutup impor yang tidak adil dan menegosiasikan kembali perjanjian perdagangan bebas, Trump malah merugikan ekonomi negaranya sendiri hingga senilai US$ 7,8 miliar di tahun 2018. Data tersebut didapat dari studi yang dilakukan oleh sejumlah universitas terkemuka di negeri itu (tribunnews.com 17/3/2019).

Senada dengan hal di atas,  mantan penasihat ekonomi Gedung Putih Gary Cohn, menyebut perang dagang antara AS dengan China sulit dimenangkan. Lebih dari itu, perang dagang justru berpotensi merugikan ekonomi AS secara keseluruhan (republika.co.id 2/8/2019).

Ketika Trump menaikkan tarif ke China, dampaknya hanya memicu pertumbuhan ekonomi AS melambat, investasi bisnis membeku, dan perusahaan tidak mempekerjakan banyak orang. Di sektor riil lainnya, banyak petani yang bangkrut, sektor manufaktur dan transportasi barang telah mencapai titik terendah yang tidak terlihat sejak resesi terakhir. Trump dan tim mengakui bahwa AS menderita akibat perang dagang ini (pikiran-rakyat.com 17/1/2020).

Tidak hanya merugikan kedua negara, perang dagang juga, menurut laporan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), mengancam stabilitas dan pertumbuhan ekonomi global di masa depan (bisnis.com 6/11/2019). Selain itu juga memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global dalam waktu yang panjang.

Kedua
Ditengah memanasnya ketegangan antara AS dan China karena perang dagang, merebaklah virus corona. Sontak kedua negara mengalihkan pandangannya sesaat. Namun tensinya bukan malah mereda, justru babak baru perang dagang kedua negara berisiko muncul kembali imbas dari Covid 19.

Sejak kasus pertama virus corona diduga muncul di Wuhan pada medio Desember 2019, langkah cepat China melockdown Wuhan pada 23 Januari relatif berhasil menekan jumlah kasus dan mengurangi dampak buruk pandemik itu. Walaupun beredar isu jika pemerintah China menutupi data korban Covid yang sesungguhnya.

Berbeda dengan AS. Sejak mengonfirmasi kasus pertamanya pada 20 Januari, AS baru menerapkan lockdown pada 19 Maret dimulai dari California diikuti New York pada 22 Maret, dan beberapa negara bagian lainnya. Wall Street Journal melaporkan pada 24 Maret, sudah setengah dari AS yang lockdown (detik.com 26/3/2020).

Namun hanya selang berapa hari saja setelah lockdown diterapkan, AS malah menjadi negara dengan kasus tertinggi corona di dunia sebesar 593.656 kasus (kompas.com 28/3/2020). Kondisi semakin parah ketika kasus Covid 19 tembus 1 juta menjadikan AS sebagai episentrum virus corona di dunia (kompas.com 3/4/2020).

Ditengah gonjang-ganjing Covid 19 yang menggila di  negerinya, Trump malah heboh sendiri. Trump terang-terangan menunduh dan menyalahkan China sebagai pihak yang paling bertanggung atas apa yang menimpa AS dan juga seluruh dunia (okezone.com 20/3/2020).

Di waktu lain, Trump kembali salahkan China dan meminta untuk mengadakan pemeriksaan terhadap lab Wuhan yang dituding sebagai pabrik virus corona (merdeka.com 28/4/2020). Tak hanya itu, Trump juga mengancam menyetop bantuan dana bagi WHO (cnnindonesia.com 15/4/2020) dan menggertak keluar darinya (detik.com 1/6/2020).

Kehebohan lainnya ialah ide konyol Trump suntik disinfektan bagi penderita Covid 19 yang hanya mengundang ejekan dan cemoohan dari berbagai pihak (bbc.com 23/4/2020). Cermin kepemimpinan yang bingung, frustasi, dan keteteran dengan masalah yang ada.Bahkan mantan Presiden Obama menyampaikan kritik tajam terhadap penanganan Covid 19 yang dikomandoi Trump dan menyebutnya sebagai bencana dan kacau-balau (tempo.co 10/5/2020).

Selama pandemi corona, ekonomi AS juga merosot tajam. Departemen Perdagangan AS melaporkan aktivitas ekonomi AS pada kuartal pertama 2020 minus 4,8 persen. Biro Analisis Ekonomi AS mengatakan penurunan juga terjadi dalam Produk Domestik Bruto (PDB) riil kuartal pertama (medcom.id 1/5/2020).

Begitu pula pasar saham yang jatuh ke rekor tertingginya. Pergerakan indeks Dow Jones tercatat paling parah karena anjlok lebih dari 30 persen. (cnnindonesia.com 1/4/2020).

Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett menilai, ekonomi AS akibat pandemi corona merupakan guncangan negatif yang terbesar. Dia memprediksi tingkat pengangguran akan mendekati angka saat masa krisis ekonomi The Great Depression (Depresi Besar) tahun 1930-an (kompas.com 27/4/2020).

Sementara itu, diberitakan bahwa di AS lebih dari 20 juta orang kehilangan pekerjaannya per April 2020. Kondisi ini dikatakan lebih buruk dibandingkan saat Great Depression (cnnindonesia.com 11/5/2020).

Dalam hal perdagangan, meskipun krisis kesehatan dan krisis ekonomi tengah menghantam AS, Trump dan para penasihatnya bertindak seolah tidak ada situasi yang berubah sama sekali.

Trump dan penasihatnya sepertinya gagal paham bahwa kebijakan tarif telah merugikan ekonomi AS. Sungguh disayangkan jika kepentingan publik yang sejatinya berada di atas kepentingan dan prioritas politik pribadi tidak tercermin pada kepemimpinan Presiden Trump (matamatapolitik.com 8/5/2020).

Ketiga
Bak jatuh tertimpa tangga pula, belum lagi badai Covid 19 mereda, publik AS dan dunia dikejutkan oleh tragedi kematian George Floyd, seorang warga Amerika kulit hitam, ditangan seorang polisi kulit putih di Minneapolis pada 25 Mei lalu.

Tak ayal insiden rasis ini sontak memicu demonstrasi masif dan sporadis di berbagai wilayah AS bahkan di beberapa tempat berakhir rusuh dan ricuh. Ditengah pandemi corona yang masih mengintai, aksi unjuk rasa juga digelar di berbagai kota di belahan dunia seperti di Berlin, Paris, London, Sydney, dan Seoul.

Peristiwa terbunuhnya Floyd seolah menjadi bumerang bagi supremasi demokrasi dan HAM yang digembar-gemborkan AS selama ini. Apa yang menimpa Floyd menjadi bukti nyata akan fenomena kekerasan dan kebrutalan terhadap kaum minoritas dan diskriminasi ras yang masih bersemayam di negeri Paman Sam ini.

Berkaca dari kasus ini, konsistensi AS terhadap penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai luhur universal seperti kebebasan, keadilan, toleransi, kesetaraan, penghargaan, dan persamaan di depan hukum tentu layak dipertanyakan.

Ditengah kemelut protes kasus Floyd di seantero negeri, Presiden Trump lagi-lagi bikin heboh. Trump secara terbuka mengancam untuk menggunakan kekuatan militer AS dalam meredam gelombang unjuk rasa yang diikuti aksi kerusuhan dan kekerasan di beberapa tempat  (cnnindonesia.com 3/6/2020). Trump menyebut dirinya sebagai presiden "hukum dan ketertiban" dan mengatakan protes keras sebagai bentuk "terorisme domestik" yang harus disalahkan atas kerusuhan yang terjadi  (tempo.co 2/6/2020).

Trump seolah merasa punya justifikasi untuk menghidupkan kembali Insurrection Act (UU Pemberontakan), sebuah undang-undang 1807 yang memungkinkan seorang presiden untuk mengerahkan militer AS untuk menekan kekacauan sipil. Namun manuver Trump ini ditentang Menteri Pertahanan Mark Esper (bisnis.com 4/6/2020).

Menurutnya, pengerahan pasukan militer yang bertugas untuk melakukan penegakan hukum di wilayah AS adalah pilihan terakhir untuk menangani aksi protes. Hal yag sama disuarakan mantan Kepala Pentagon Jim Mattis. Dia mengeritik keras gaya kepemimpinan Presiden Trump dalam menangani aksi demonstrasi Floyd. Dia menuduh Trump mencoba memecah belah negeri Paman Sam itu (detik.com 4/6/2020).

Kontroversi berlanjut saat Trump berpose sambil mengacungkan Alkitab  di depan Gereja Episkopal St John di Washington  (cnnindonesia.com 3/6/2020).  Berkat kunjungannya ini, Trump dibanjiri kritik dari para pemuka agama, kubu Demokrat serta beberapa anggota Republik dan mantan pejabat militer (detik.com 3/6/2020).

Trump pada intinya dituding telah menggunakan agama untuk kepentingan politiknya. Hal Ini tentu tidak mengherankan mengingat masa jabatan Trump sebagai presiden akan segera berakhir pada akhir tahun ini.  

Entah apa lagi yang akan terjadi dan menimpa AS selanjutnya. Satu hal yang pasti Amerika ambyar sudah di depan mata baik di dalam maupun luar negeri. Fakta dan realita makin hari makin menguat ke arah sana.

Ingat sekali lagi yang diprediksi Galtung adalah AS sebagai imperium kekuatan dunia bukan AS sebagai republik yang ambyar. Mungkin Galtung saat ini tersenyum karena prediksinya makin mendekati kenyataan seraya bergumam, "Gue bilang juga apa!" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun