Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett menilai, ekonomi AS akibat pandemi corona merupakan guncangan negatif yang terbesar. Dia memprediksi tingkat pengangguran akan mendekati angka saat masa krisis ekonomi The Great Depression (Depresi Besar) tahun 1930-an (kompas.com 27/4/2020).
Sementara itu, diberitakan bahwa di AS lebih dari 20 juta orang kehilangan pekerjaannya per April 2020. Kondisi ini dikatakan lebih buruk dibandingkan saat Great Depression (cnnindonesia.com 11/5/2020).
Dalam hal perdagangan, meskipun krisis kesehatan dan krisis ekonomi tengah menghantam AS, Trump dan para penasihatnya bertindak seolah tidak ada situasi yang berubah sama sekali.
Trump dan penasihatnya sepertinya gagal paham bahwa kebijakan tarif telah merugikan ekonomi AS. Sungguh disayangkan jika kepentingan publik yang sejatinya berada di atas kepentingan dan prioritas politik pribadi tidak tercermin pada kepemimpinan Presiden Trump (matamatapolitik.com 8/5/2020).
Ketiga
Bak jatuh tertimpa tangga pula, belum lagi badai Covid 19 mereda, publik AS dan dunia dikejutkan oleh tragedi kematian George Floyd, seorang warga Amerika kulit hitam, ditangan seorang polisi kulit putih di Minneapolis pada 25 Mei lalu.
Tak ayal insiden rasis ini sontak memicu demonstrasi masif dan sporadis di berbagai wilayah AS bahkan di beberapa tempat berakhir rusuh dan ricuh. Ditengah pandemi corona yang masih mengintai, aksi unjuk rasa juga digelar di berbagai kota di belahan dunia seperti di Berlin, Paris, London, Sydney, dan Seoul.
Peristiwa terbunuhnya Floyd seolah menjadi bumerang bagi supremasi demokrasi dan HAM yang digembar-gemborkan AS selama ini. Apa yang menimpa Floyd menjadi bukti nyata akan fenomena kekerasan dan kebrutalan terhadap kaum minoritas dan diskriminasi ras yang masih bersemayam di negeri Paman Sam ini.
Berkaca dari kasus ini, konsistensi AS terhadap penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai luhur universal seperti kebebasan, keadilan, toleransi, kesetaraan, penghargaan, dan persamaan di depan hukum tentu layak dipertanyakan.
Ditengah kemelut protes kasus Floyd di seantero negeri, Presiden Trump lagi-lagi bikin heboh. Trump secara terbuka mengancam untuk menggunakan kekuatan militer AS dalam meredam gelombang unjuk rasa yang diikuti aksi kerusuhan dan kekerasan di beberapa tempat  (cnnindonesia.com 3/6/2020). Trump menyebut dirinya sebagai presiden "hukum dan ketertiban" dan mengatakan protes keras sebagai bentuk "terorisme domestik" yang harus disalahkan atas kerusuhan yang terjadi  (tempo.co 2/6/2020).
Trump seolah merasa punya justifikasi untuk menghidupkan kembali Insurrection Act (UU Pemberontakan), sebuah undang-undang 1807 yang memungkinkan seorang presiden untuk mengerahkan militer AS untuk menekan kekacauan sipil. Namun manuver Trump ini ditentang Menteri Pertahanan Mark Esper (bisnis.com 4/6/2020).
Menurutnya, pengerahan pasukan militer yang bertugas untuk melakukan penegakan hukum di wilayah AS adalah pilihan terakhir untuk menangani aksi protes. Hal yag sama disuarakan mantan Kepala Pentagon Jim Mattis. Dia mengeritik keras gaya kepemimpinan Presiden Trump dalam menangani aksi demonstrasi Floyd. Dia menuduh Trump mencoba memecah belah negeri Paman Sam itu (detik.com 4/6/2020).