“Ormawa sebagai yang memuat segala aktivitas mahasiswa, tak jarang menjadi wadah yang berusaha menutup-nutupi kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalamnya. Ditutup rapat dengan segala peraturan birokrasi, hingga ancaman yang langgengkan. Sehingga, saran utama memuat nilai pelaksanaan peraturan tersebut guna mengurangi angka kekerasan seksual di kampus dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih ramah,” ungkap Mahasiswa Sosiologi Ikhsan Nurdiansyah.
Senada dengan Ikhsan, Mahasiswa Ilmu Politik yang juga aktif dalam Amnesty International Chapter UIN Jakarta Siti Shafiyah Nur Ubai mengharapkan organisasi mahasiswa UIN Jakarta lainnya bisa ikut menyuarakan dukungannya terhadap Permendikbud.
“Saya harap tidak hanya Dema FISIP, tetapi juga Dema UIN Jakarta dapat membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual guna menjadi tempat atau unit yang menangani laporan-laporan mengenai tindakan kekerasan seksual di lingkup kampus. Kesuksesan dalam memberantas kekerasan seksual akan terwujud apabila komitmen yang digaungkan berwujud dalam tindakan nyata,” ungkapnya.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nadya Kharima mengungkapkan bahwa di Program Studi Kesejahteraan Sosial (Kessos) menyediakan layanan Layanan Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) yang bisa memfasilitasi mahasiswa melapor masalah.
“Untuk fokus di kekerasan seksual sebenarnya tidak juga, tetapi kalau di Kessos, ada layanan LK3 itu bisa segala hal masalah, bukan hanya kekerasan seksual, tetapi berbagai hal yang menyangkut psikososial spiritual mahasiswa maupun dosen di UIN Jakarta bisa melakukan konsultasi kepada LK3, nanti misalnya kami menemukan adanya kekerasan seksual tersebut, akan segera dirujuk, kami bekerja sama baik dengan kepolisian, psikiater, psikolog,” jelasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H