Di tengah hening malam yang kelam,Â
ada bisikan pelan, ragu namun dalam,Â
sebuah keinginan yang tersimpan lama,Â
terjalin dalam sunyi, tenggelam tanpa cahaya.Â
Senandung riuh bukanlah sekadar kata,Â
ia adalah tangisan yang tak terdengar,Â
kesepian yang tumbuh dalam dada,Â
menjadi luka tanpa rupa, tanpa warna.Â
Kepedihan merayap tanpa suara,Â
menghujam di hati yang terpasung nestapa,Â
seakan dunia mengecil, semakin gelap,Â
dan harapan layu, jatuh satu-satu, lemah.Â
Ada jalan yang terlihat di depan mata,Â
namun penuh kabut, tak jelas arahnya,Â
seperti akhir yang mengundang dengan lirih,Â
menggoda jiwa yang lelah menahan perih.Â
Namun, di tengah kegelapan yang pekat,Â
terselip doa yang kecil, lembut namun kuat,Â
mengalun dari sudut yang tak terduga,Â
berbisik pelan, menuntun jiwa yang lara.Â
Kau tak sendiri, meski terasa sepi,Â
di balik pilu, ada yang mengerti,Â
bahwa luka ini bukanlah dosa,Â
hanya beban yang terlalu lama dipaksa.Â
Dan meski gelap mendekap erat,Â
ada cahaya, walau kecil, samar namun kuat,Â
cobalah bertahan, walau sejenak saja,Â
biarkan jiwa berbicara, biarkan luka terbuka.Â
Biarkan harimu berganti sekali lagi,Â
dan beri ruang pada luka untuk sembuh,Â
mungkin besok, atau lusa,Â
akan ada terang yang menyapa, lembut dalam sukma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H