"Hey, nanti kamu masuk angin, Ola."
Suara itu sejenak membuatku tersentak. Dua tangan dingin merengkuh pinggang dan perutku, memaksaku membeku diam. Sebelum aku bisa membalikkan badan dan wajah, si pemilik suara sudah terlebih dahulu menaruh jalur napasnya di depan telinga kananku, membuatku sedikit geli.
"Your hands are cold," tuturku lirih.
"You might catch a cold, dear," timpalnya.
Aku tertawa kecil. Arah pandangku masih terpaku pada peraduan hujan dan angin di seberang figurku. Andai saja mereka memilih arah laju sebaliknya dari peperangan mereka saat ini, mungkin aku sudah basah kuyup sekarang. Namun, malah hangat, malah panas yang aku rasakan di sisi kanan dan belakang tubuhku.
Figur yang mendekapku memaksa lamunku hancur. Napas hangatnya menyentuh kulit leher dan dadaku. Petir bergemuruh seraya tubuhku berhadapan dengan hal serupa. Dua lengan yang memeluk pinggangku bertambah erat.
"Kamu mau bikin aku remuk ya?"
"Kamu gak perhatiin aku sih," lenguhnya.
Dehaman pelan keluar dari mulutku seraya aku menaruh tanganku pada pucuk kepalanya. Rambut hitam gelamnya senada dengan awan-awan yang sedang murka di luar rumah. Jari jemariku berdansa di atas hutan rambut, sekejap mereka tertidur dan sekejap pula mereka terbangun untuk kembali berlari ke sana kemari.
"Sorry," ucapku sembari mendekatkan wajahku ke telinganya.
Ia hanya membalas dengan senyuman tipis yang berkembang di wajahnya. Jari jemariku melompat, memilih berpindah pada muka kasar yang sedang menutup mata. Pemilik figur itu sempat terkejut, sebelum akhirnya ia malah kembali diam, menikmati setiap gesekan yang aku buat.