Beberapa hari ini, Media Indonesia heboh dan gaduh (lagi-lagi) berkaitan dengan isu sensitive, soal Agama dan keber-Agama-an. Sepertinya, kasus-kasus semacam dan “sejenis kasus ahok” ini, kedepan akan terus menggelindung dan senantiasa mendapatkan “panggung”-nya. Ya, paling tidak akan lebih kenceng lagi, nanti jelang-jelang Pilpres-pilpres-an..
Setelah gadung wayang dll, public diramaikan dengan Isu Pengaturan Suara Adzan-Gongongan Anjing. Konon, sebagai akibat dan berawal dari pernyataan Menteri Agama, Gus Yaqut, yang disampaikan saat menjawab pertanyaan Media, pasca disahkannya SE Menteri Agama Nomor :5 tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Suara Adzan di Masjid dan Musholla, saat wawancara di Pekan baru, Riau. Yang kemudian viral dengan sedemikian gaduhnya.
Public dan masyarakat, khususnya ummat Muslim memahami bahkan bereaksi (termasuk saya, sebelum melihat Video-nya langsung) dengan marah.
Siapa yang tidak marah, salah satu hal terpenting dalam keyakinan ber-Agama, yaitu “Adzan” disentil bahkan disamakan dengan gonggongan Anjing (setidaknya, kesannya begitu kalau membaca berita dan broadcast yang beredar deras).
Namun, setelah saya melihat dan menyimak langsung Video rekaman pak Menteri Agama, dan mendownload Surat Edarannya, baru saya bisa menyimpulkan, bahwa ternyata gaduhnya, lebih pada pemberitaan, bukan pada materi dan subtansi masalahnya.
Dan inilah, kebiasaan kita akhir-akhir ini. Ya, setidaknya, sejak kasus Ahok yang cukup masih segar dalam ingatan kita. Menyusul kemudian kasus-kasus lainnya yang “mirip” dan sejenis berkaitan dan sensitive soal Agama. Padahal, para pelaku saat ditanya sama sekali tidak bermaksud seperti yang disimpulkan secara berbeda oleh kita, terutama media.
Baiklah, faktanya ini sudah viral dan menggema ke seantero Nusantara. Yang terpenting dan membuat saya bergembira adalah suara Adzan di Masjid dan Musholla tidak pernah dilarang.
Surat Edaran Menteri Agama Nomor :5 Tahun 2022 hanya memberikan panduan Pengeras Suara Masjid dan Musholla, bagaimana suara dalam dan bagaimana suara luar.
Intinya, maksud dan tujuan dari Panduan ini (Surat Edaran Nomor : 5 Tahun 2022 ) ini adalah untuk mewujudkan ketentraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama. Bisa baca lengkapnya disini Surat Edaran Menteri Nomor : 05/2022
Soal Anjing? Biarlah Anjing tetap dengan kebiasaannya. Ya, namanya Anjing bisanya cuma menggonggong. Mau diapain juga, memang takdirnya cuma begitu. Dan tentunya tidak masuk, dan tidak ada kaitan dengan Panduan sebagaimana dalam Surat Edaran Menteri tersebut.
Loh, bukannya Gus Yaqut harus bertanggung jawab karena menyamakan Adzan dan Suara Anjing?
Saya pribadi, tidak melihat pernyataan Gus Yaqut dalam konteks membandingkan, apalagi menyamakan Adzan dengan brisiknya Suara Anjing. Sama sekali saya tidak melihat hal tersebut. Tapi memang, bahasa komunikasi gus Yaqut kurang tepat dan pantas, dan sangat rentan diplesetkan untuk Viral, sebagaimana beberapa kasus yang sama dan sejenis.
Menyebut dan menggunakan bahasa-bahasa “jalanan” dan kasar dalam ruang-ruang public, adalah hal yang musti dihindari. Apalagi disampaikan oleh pejabat public dan public figure. Kata seperti “anjing”, “hantu belau”, tempat “Jin buang anak” dan lain sebagainya, hendaknya tidak digunakan dalam komunikasi public diruang-ruang public jika tidak menginginkan hal yang sama, seperti yang dialami oleh Gus Yaqut dan beberapa yang lainnya.
Karena sudah viral dan gaduh, maka sebaiknya kita cukup menahan diri. Sambil mengambil pelajaran terbaiknya. Yang mau upaya hukum, ada ruang dan mekanismenya. Dan rupanya, om Roy Suryo dan beberapa elemen masyarakat, telah membuat laporan soal gaduhnya pemberitaan Gus Yaqut ke Polda Metro Jaya, namun ditolak karena alasan lokusnya di Riau.
Keliatannya, akan menyusul Laporan-laporan yang sama dari masyarakat, meski secara resmi kementerian Agama juga sudah menyampaikan Klarifikasinya.
Untuk siapapun, masyakarat yang berencana membuat laporan polisi dan atau sedang melakukan upaya tersebut, kita hormati dan semoga mendapatkan rasa keadilannya. Dan bagi Gus Yaqut, selaku Pihak yang akan/di-terlapor-kan, dan merupakan bagian dari Pemerintah, selaku Menteri Agama, sebaiknya menyampaikan permintaan maaf. Bukankah, meminta maaf (meskipun yakin tidak bersalah, dan tidak punya maksud sebagaimana penilaian public hari ini) adalah akhlaq yang sangat terpuji?
Point-nya, ini adalah opini dan sikap saya pribadi karena ada beberapa kawan yang menanyakan soal isu ini. Silahkan, masing-masing menyimpulkan dan bisa ber-opini dengan bebas dan bertanggung jawab. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk senantiasa dalam jalan kebenaran. Walloa’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H