Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Pengacara - Menulis apasaja, Berharap ada nilai manfaat dan membawa keberkahan. Khususnya, untuk mengikat Ingatan yang mulai sering Lupa.

Berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Santri, Advokat bisa hubungi saya di email : ozyman83@gmail.com, HP/WA : 085286856464.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Nurani Soyomukti, Mantan Aktivis Jalanan Penggerak Pendidikan Literasi dan Perlindungan Anak

7 Januari 2016   08:50 Diperbarui: 7 Januari 2016   09:49 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Nurani Soyomukti, saat diundang sebagai Narasumber dalam program Mata Najwa di METRO TV]

Saya mengenal  secara langsung Nurani Soyomukti sewaktu masih jadi mahasiswa di Jember, Jawa Timur antara 2003 hingga akhir 2006. Secara pribadi sebetulnya waktu itu, perkenalan kami tidak terlalu dekat. Karena kami beda kampus. Dan kami hanya  bertemu pada momen-momen aksi demonstrasi jalanan atau kegiatan diskusi antara organisasi mahasiswa ektra kampus saat menyikapi isu-isu nasional.

Sejak mahasiswa, Nurani demikian kami memanggilnya, memang sudah aktif menulis di samping aktivitas gerakannya di organisasi kemahasiswaan. Yang belakangan, diketahui buku tulisan Nurani Soyomukti sudah puluhan, bahkan hampir 30 buku yang sudah diterbitkan oleh beberapa penerbit. Namanya kian mencuat setelah diundang di acara Mata Najwa Metro-TV  edisi  “Perempuan Jaman”, 22 April 2011. Itu tim kreatif acara itu menemukan  bukunya yang berjudul “Perempuan di Mata Soekarno” di sebuah toko buku di Jakarta. Profilnya juga dimuat di Kompas, Jawa Pos, SINDO, juga Majalah Kabari yang terbit di kota Pensylvania Amerika Serikat. 

Meskipun akhirnya kami tak saling kontak lama karena sibuk pada kehidupan domestik dan sosial masing-masing, tapi mengikuti perkembangan aktivitas Nurani tidak sulit. Sebab dia rajin mengup-date status facebooknya yang menceritakan kegiatan kesehariannya. Ketika dia berkunjung ke Jakarta, kami sempat bertemu lagi dua tahun lalu.

Nurani Soyomukti, lahir di Trenggalek, Jawa Timur. Saat ini, memilih tinggal dan beraktivitas di kampung tanah kelahirannya itu dengan cara mendidik masyarakat dengan pendidikan. Mengajak dan memprovokasi berbudaya baca sekaligus menulis, atau lebih sering disebut budaya literasi. 

Setelah lulus dari Universitas Jember, Fakultas Hubungan Internasional, tahun 2006 Nurani hijrah ke Jakarta karena ditunjuk oleh organisasi gerakan buruh untuk duduk dalam kepengurusan pusat. Hingga akhirnya  awal 2008, Nurani kemudian balik lagi ke kampung halamannya. Bermodal keyakinannya bahwa ia bisa bertahan hidup dengan cara menulis sekaligus berperan di kampungnya, ia benar-benar meninggalkan kehidupan perkotaan. Berbekal rasa percaya diri untuk terus mengirimkan tulisannya di berbagai media dan royalti dari buku-bukunya yang diterbitkan. Dua belas judul buku saat ia meninggalkan Jakarta, ia yakin bahwa hidup di desa akan membuatnya menemukan tempat yang lebih nyaman dan damai untuk menulis. Selebihnya ia ingin berperan apa yang ia mampu lakukan.

Beberapa kawan mengatakan bahwa kepulangan Nurani ke kampung halaman adalah karena  sudah bosan dengan konflik di organisasinya yang menyebabkan perpecahan. Tapi di sebuah catatan yang ia tulis, dia mengatakan bahwa alasan dia tidak kerasan lagi tinggal di Jakarta, adalah karena masakan Jakarta sama sekali tidak cocok di lidahnya.  

Di kampung halaman ia mulai membangun kontak dengan sudara, teman, dan siapapun yang dulu dikenalnya. Salah satunya adalah kepala desanya yang masuh tergolong muda, yang sebelumnya jadi teman diskusi dan ‘ngobrol’ ketika pulang kampung. Kedekatan itulah yang membuatnya dimintai bantuan mengaktifkan Karang Taruna yang agak lama vakum. Nurani mulai menghidupka organisasi, hal yang tak sulit dan memang menjadi kegiatannya ketika di Jember dan Jakarta sebagai aktivis.

Ia juga mengontak mantan gurunya yang dikenal sbagai guru yang suka menulis. Setelah memperkenalkan karya-karyanya, mantan gurunya yang menjadi kepala sekolah di SMP Negeri yang tergolong terpencil itu punya inisiatif untuk mengundangnya ke sekolah dalam acara di mana Nurani memberikan motivasi pada guru dan siswa-siswi untuk menulis. Semacam acara diklat dasar menulis.

Sehabis acara itu, ternyata pria berzodiak Virgo ini ditawari mengajar. Setelah sempat bingung, iapun menerima tawaran tersebut. Ia diberi tugas mengajar mata pelajaran Muatan Lokal dan seminggu sekali melatih ekstra-kurikuler Teater. Dari sinilah, Nurani yang berlatarbelakang kuliah bukan jurusan pendidikan kemudian harus transfer kuliah di kampus kependidikan agar ia punya ijazah yang sah untuk mengajar. Kampus STKIP PGRI Trenggalek dengan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, itulah yang dipilihnya karena sebagai sarjana Ilmu  Hubungan Internasional ia banyak menguasai bahasa Inggris.

Arisan Sastra: Tonggak Awal Pendidikan Literasi

Maka tahun 2009 itulah kegiatannya sangat sibuk dan harus membagi waktu. Di desa ngurusi Karangtaruna. Dia ngajar di sekolah. Dan ia kuliah. Di kampus ia ternyata bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang mengharapkan Nurani jadi mentor, terutama setelah Nurani melaunching buku karyanya yang berjudul “Memahami Filsafat Cinta” untuk menyemarakkan peringatan Hari Valentine. Maka, dikampus itulah ia semakin dikerubungin mahasiswa yang ingin belajar nulis. Itulah yang melatarbelakangi berdirinya sebuah UKM yang bernama Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra (KOMPAS).

Di luar kampus, ternyata Nurani menemukan kota kecil tempat tinggalnya sebagai kota yang kian menarik bagi posisinya yang terlanjur dikenal sbagai penulis. Dan ternyata ia mulai berkenalan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Dan ia baru tahu ternyata di Trenggalek banyak penulis senior yang sebenarnya pada dekade 1980-an dan 1990-an melahirkan penulis-penulis seperti Bonari Nabonenar, St Sri Emyani di mana keduanya aktif mengisi rubrik sastra (cerkak dan geguritan) di berbagai majalah berbahasa Jawa (Joko Lodang, Penyebar Semangat, Jaya Baya). Juga beberapa kenalan pemuda Trenggalek  yang kuliah di luar kota yang juga aktif di kegiatan jurnalistik dan kepenulisan. Pada saat yang sama ia melihat kehadirannya melahirkan minat yang besar di kalangan anak-anak muda untuk belajar menulis. 

Itulah yang kemudian menginspirasi Nurani dan  beberapa temannya untuk mendirikan kegiatan literasi bulanan yang dinamakan “Arisan Sastra”. Kegiatannya cukup unik. Sekitar 40-an orang  berkumpul tiap bulan, arisan uang Rp 10 ribuan, lantas uang itu dikopyok dan yang “motel” (dapat uangnya) diwajibkan menulis dan mempresentasikan karyanya untuk diapresiasi bersama-sama. Karya yang diprresentasikan adalah bebas, bisa puisi atau prosa, bisa panjang atau pendek, satu atau lebih. Di acara itu dihadirkan pengulas yang kompeten, seperti dosen sastra atau penulis luar kota. 

Kadang juga bedah buku. Tercatat beberapa kali  bedah buku karya penulis luar Trenggalek. Misalnya  adalah buku catatan perjalanan, “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” karya Sigit Susanto terbitan INSIST Yogya. Penulis buku ini lebih banyak tinggal di luar negeri keliling dunia. Lalu, buku “Surat Dari Praha” (kumpulan cerpen) karya Yusri Fajar sastrawan Malang. Juga buku “Gerakan Literasi Mencerdaskan Bangsa” karya Muhsin Kalida dosen kampus UIN Yogya sekaligus ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pusat.

Tempat arisan sastra tergantung pada peserta yang kebagian mempresentasikan karya. Bisa dibawa ke rumahnya, di sekolah, kampus, balai desa, dan sekali pernah dibawa ke Pendapa Kabupaten Trenggalek yang waktu itu dihadiri para pejabat pemerintah. Karena itulah persebaran budaya menulis dan istilah sastra itu sendiri sejak saat itu mulai ‘booming’—suatu yang sebelumnya tak terfikirkan atau tak dikenal. Peserta dan anggota arisan sastra amat majemuk (plural), ada guru, mahasiswa, pelajar, pejabat, tua, muda, belia... Semuanya bersatu atas nama kreativitas di bidang sastra dan kepenulisan.

Nurani sendiri lebih banyak menulis karya yang non-fiksi atau bukan sastra. Tulisannya yang dimuar di media kebanyakan adalah opini, esai, resensi buku, dan hanya sedikit puisi. Tapi ketertarikannya pada sastra sudah muncul sejak SMA ketika ia menulis di majalah dinding, lalu dimuat di Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA), majalah terbitan Departemen Agama Jawa Timur. Itu terjadi kelas 3 SMA. Di waktu kuliah tulisannya banyak menghiasi majalah kampus dan luar kampus, juga media lokal. 

Ia baru tahu kalau menulis itu bisa mendapatkan honor banyak ketika teman kampusnya memberitahukan bahwa tulisannya dimuat di ruang ppini Kompas Jatim (waktu itu masih ada Kompas daerah) dan mendapatkan honor Rp 400.000,-. Mulai saat itulah, tahun 2004, Nurani mengirimkan tulisannya di koran-koran. Hingga ia telah bisa menembus koran-koran nasional (Kompas, SINDO, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Media Indonesia, Sinar Harapan, dll). Terutama ketika ia mendapatkan sumbangan uang Rp 5 Juta dari Jakoeb Utama setelah ia mengirimkan proposal untuk pembelian labtop, iapun bertekad bertahan hidup dari menulis, sekaligus hidup dalam dunia sastra dan pemikiran. Bertahan hidup dari menulis itulah yang membuatnya bertahan hidup dengan berperan sebagai aktivis gerakan.

Setelah buku pertamanya terbit pada Mei 2007, iapun lebih banyak masuk ke dunia penulisan buku sambil sesekali menulis di media. Itupun tak bisa ditinggalkan ketika ia pulang kampung dan berperan dengan tingkat kesibukan yang tenyata juga tak kalah dengan ketika ia jadi aktivis pergerakan. Bahkan, kelihaiannya mempengaruhi orang yang membuat sebuah forum Arisan Sastra berdiri, tak lepas dari ketrampilan mengorganisir orang yang ia dapat ketika ia jadi aktvis baik mulai di Jember, hingga di Jakarta ketika ia ditugaskan di organisasi buruh. Itulah yang membuat pengorganisiran kegiatan melalui Arisan Sastra menjadi mudah dilakukan dan gaungnya juga cepat.

 

[Gambar berikut adalah salah satu acara Arisan Sastra. terlihat Nurani Soyomukti berada di tengah-tengah peserta]

Acara Arisan Sastra bulanan, selain dihadiri para penulis luar Trenggalek, juga dihadiri satrawan dari berbagai kota Jawa Timur. Mereka hadir untuk membaca puisi atau  berbagi pengetahuan seputar sastra, dunia buku, dan tulis-menulis. Inilah yang menjadikan Forum Arisan Sastra ini menjadi fenomenal. Kegiatan Arisan itu berlangsung selama tiga tahunan (2010-2013). Berikutnya arisan sastra bulanan diganti dengan acara yang tidak rutin. Ada beberapa hal yang digarap. Membangun Taman Bacaan, menerbitkan karya-karya penulis Trenggalek baik yang senior atau yang pemula. Diklat menulis minimal setahun sekali, lomba nulis minimal setahun sekali. Hingga diskusi-diskusi seputar sastra, budaya, hingga permasalahan masyarakat. Arisan Sastra dikenal memiliki anggota-anggota yang kritis terhadap persoalan-persoalan. 

Ternyata semua kegiatan tak mampu diambil semua oleh Nurani. Ia akhirnya tak lulus kuliah untuk mendapatkan ijasah mengajar (guru).  Kesibukannya bertambah ketika ia diajak mantan teman SMA-nya untuk menjadi pembicara Seminar Guru dengan materi “Kiat Menulis di Media Massa untuk Guru”. Mengingat bukunya sudah dua puluh judul lebih yang ditulisnya, juga seratus lebih tulisan di koran, temannya yang kerja di Lembaga Diklat Guru di Malang itu tak mau kehilangan kesempatan untuk menjadikan Nurani sbagai Narasumber. Selama  hampir 3 bulan Nurani dikontrak untuk mengisi diklat profesionalisme guru itu di hampir semua kabupaten/kota di Jatim. 

Kesibukan selanjutnya adalah ketika Karangtaruna yang diketuainya masuk 8 besar lomba Karangtaruna Berprestasi Tingkat Jawa Timur. Berbagai tes wawancara dan tes lapangan dari tim Juri dari Jatim membuat Nurani harus banyak di desa. Juga harus bagi waktu. Kuliahnya kelabakan akhirnya tidak dilanjutkan. Meskipun ia juga masih sering kontak dengan aktivis sastra yang ada di kampus setelah tidak berstatus sbagai mahasiswa. Iapun memutuskan untuk undur diri dari mengajar di sekolahnya—meskipun hingga kini kepala sekolah di sekolah itu semakin akrab dengan Nurani.

Selanjutnya pada tahun 2010, forum Arisan Sastra diformalkan jadi organisasi yang kemudian ia beri nama   Quantum Litera Center (QLC), lembaga pengembangan budaya literasi (baca-tulis) Nurani sebagai Ketuanya. Selain itu, dia mengajar sebagai Dosen Ilmu Komunikasi FISIP di Universitas Islam Blitar. Awalnya ia diundang bedah buku di kampus tersebut. Lalu pihak pimpian menawarinya untuk mengajar. Hingga Nurani juga mengundurkan diri setelah ia terpilih dalam seleksi sbagai anggota Komisioner di KPU Kabupaten Trenggalek. 

Sejak mengadakan acara festival Literasi selama 3 hari pada tahun 2011 yang berisi kegiatan lomba menulis, bedah buku, pentas sastra,  bazar buku, pameran lukisan dan fotografi, QLC dibawah kendali Nurani menjadi satu-satunya lembaga yang punya peran penting di Trenggalek. Penerbitan buku, diskusi budaya, festival literasi, diklat menulis, bedah buku, dolan bareng dan berbagai kegiatan literasi lainnya merupakan buah dari visi-misi Nurani untuk menyadarkan masyarakat di jalur literasi.

Penerbitan buku berhasil memfasilitasi para penulis muda yang belajar dari pemula. Upaya penerbitan buku adalah hal yang paling efektif untuk meningkatkan budaya membaca dan menulis. Beberapa buku yang sempat populer misalnya adalah  berjudul “Senja Temaram di Pantai Blado” (Kumpulan Cerpen, QLC 2012), “Kembalilah Siswa-Siswa Semesta: Antologi Puisi Pendidikan” (Qlc—Treggalek, Juli 2013). kemudian buku berjudul “Sajak Untuk Guruku: Antologi Puisi Pendidik” (Qlc—Trenggalek, Desember 2014) dan baru-baru ini juga terbit buku berjudul “Rengkek-Rengkek: Senarai Catatan Dan Kisah (Per)Jalan(An) Di Kota Trenggalek” (Qlc—Trenggalek, Cetakan I 2015). Buku yang terakhir ini juga diulas di Koran Jawa Pos di akhir Desember 2015 lalu.

Dari Aksi Jalanan ke Aksi Literasi

Bagi saya, Nurani adalah salah satu tokoh muda yang punya talenta yang luar biasa, bahkan patut dijadikan panutan kaum muda lainnya. Segudang prestasi dari lomba menulis diraihnya sejak ia kuliah. Di tahun 2007 dia juga memenangkan Juara Umum I Lomba Menulis Esai Pemuda yang diadakan Kemenpora yang membuatnya diundang untuk ikut  acara peringatan Sumpah Pemuda di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Pikiran-pikirannya yang revolusioner dan progresif tercermin dalam tawaran idenya pada setiap buku maupun tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media. Ciri khas tulisannya menggunakan pendekatan Kritis kekiri-kirian. Ini tidak lepas dari latar belakang aktivitasnya sewaktu menjadi aktivis gerakan Mahasiswa dan keterlibatannya dalam organisasi-organisasi  masyarakat yang progresif dan kiri.

Hal yang membedakan Nurani dengan dengan kebanyakan aktivis muda lainnya adalah bahwa dia punya kemampuan dan ketekunan menulis. Hal inilah yang kemudian juga sangat membantu organisasinya saat melakukan propaganda dan kampanye sebuah isu yang menjadi perjuangan organisasi. Sebetulnya, beberapa bukunya merupakan “catatan-catatan berserakan” yang ia tulis sejak menjadi Mahasiswa. Hal yang pernah dia akui sendiri dalam salah satu tulisanya.

Saya melihat Nurani telah melakukan apa yang pernah diujarkan oleh Pramoedya Ananto Toer bahwa “tulislah apa saja suatu saat pasti berguna”, buktinya adalah hingga kini Nurani tidak hanya menjadi penulis yang mengurung diri di kamar atau ruangan ber-Ac untuk memproduksi ide dan gagasan besarnya, ia bahkan bersama komunitas yang ia bangun bersama kawan-kawannya di lapangan misalnya “Arisan Sastra” dll telah mengkampanyekan budaya baca dan tulis (Literasi) secara konsisten.

Karya Nurani Soyomukti mengupas isu pendidikan setidaknya tercermin dari beberapa bukunya antara lain : “Pendidikan berperspektif Globalisasi” yang dia tulis pada 2008 dan diterbitkan oleh Arruz Media, Yogyakarta 2008. Disamping itu, ia juga menulis buku berjudul “Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, Liberal, Marxis-Sosialis, Posmodernis” (Maret 2010, Arruzzmedia, Yogyakarta); kemudian “Metode Pendidikan Marxis-Sosialis: Antara Teori Dan Praktik” (Arruzzmedia-Yogyakarta, Desember 2008, lalu buku berjudul”  Kembalilah Siswa-Siswa Semesta: Antologi Puisi Pendidikan” (Qlc—Treggalek, Juli 2013). kemudian buku bertema Pendidikan terbarunya berjudul “Sajak Untuk Guruku: Antologi Puisi Pendidik” (Qlc—Trenggalek, Desember 2014).

 ["Gambar ini adalah sebagian kecil buku-buku yang pernah ia tulis"]

[/caption]

Disamping tulisan dan buku-buku lainnya yang tidak jauh selalu mengusung isu-isu kemanusiaan, HAM, Demokrasi, perlawanan kaum tertindas, Marxisme, sastra, Politik Internasional dan Pembebasan. Ia menulis lima judul buku tentang Soekarno. Beberapa buku tentang Cinta, filsafat, dan buku pegangan kuliah (sosiologi, komunikasi, politik) mengingat ia pernah menjadi dosen di sebuah kampus swasta Blitar (UIB), fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.

Selain bekerja di KPU Kabupaten Trenggalek dan bergerak di pencerdasan Literasi bersama teman-temannya di QLC, Nurani juga menjadi wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Trenggalek dan juga dipercaya sebagai Sekretaris Umum Dewan Kesenian Trenggalek (DKT). Ia juga masih sering diundang untuk mengisi seminar terkait motivasi menulis, bedah buku, dan berbagai tema yang berkaitan dengan sosial-politik, budaya, dan kepenulisan. Di Lembaga Perlindungan Anak (LPA), dia menyadari bahwa anak-anak sedang terancam dan butuh perlindungan. Saat tulisan ini ditulis, bersama LPA dia juga sedang mengadakan kegiatan pendampingan anak-anak buruh migran. Trenggalek, kampung halamannya, adalah salah satu kabupaten yang juga menyuplai buruh migran tertinggi di Jawa Timur. Tampaknya melalui LPA inilah, rasa kemanusiaan Nurani mantan aktivis gerakan itu juga ditagih lagi untuk memberdayakan kegiatan advokasi hak-hak anak.

Mungkin di usianya yang ke-36 tahun, dia sudah nggak seradikal dulu lagi. Mungkin dia juga tak bisa disamakan dengan kegiatan teman-teman aktivis yang sebagian masih konsisten di gerakan Kiri dan organisasi buruh. Nurani sudah punya dua orang anak, Denuarta Hugo Karna Adhisurya dan Marco Sastradikrama Mahardika Mulkan, dari seorang istri cantik bernama Devi Riana Kinanthi yang hari-harinya juga berproses sebagai pendampin sosial di Program Keluarga Harapan (program Kementerian Sosial). Mungkin benar seperti katanya bahwa setelah nikah dan berkeluarga serta punya anak, seorang tak mungkin seradikal dulu. Tapi setidaknya ia masih bisa menunjukkan rasa kemanusiaannya lewat berbagai aktivitas pendidikan non-formal dan pendampingan terhadap anak-anak serta perlindungan anak. Peran nya tak mungkin bisa dihentikan, seperti slogan hidup yang selalu diyakininya: “A Luta Continua” (Perjuangan Terus Berlanjut!”).

Isu Pendidikan dan Kemanusiaan menurut Nurani

Beberapa buku karya Nurani yang disebutkan di atas, setidaknya menujukkan betapa dia punya dedikasi yang tinggi dalam dunia pendidikan dan kemanusiaan, yang membebaskan dan memanusiakan manusia. Aktivitasnya membangun desa dan peradaban dengan baca dan menulis, yang kerap ia sebut budaya literasi itu harus diapresiasi dan tentu menjadi inspirasi bagi kaum muda lainnya. Beberapa hari yang lalu, beruntung saya bisa mewancarai Nurani secara khusus, dibawah ini akan disuguhkan hasil wawancara saya dengan beliau sehingga Kompasianer dan pembaca bisa membaca dan menyimpulkan sendiri ide-idenya dalam pendidikan dan kemanusiaan.

1. Dari sekian buku yang anda tulis, ada beberapa buku bertemakan pendidikan. Bagimana anda melihat dunia pendidikan di Indonesia saat ini, dan bagaimana seharusnya menurut anda, dan bukankah anda saat kuliah S1 dulu dari Fakultas Hubungan Internasional?

Jawab:

Kalau mencoba menganalisa bagaimana pendidikan yang ada sekarang... Saya menganggap bahwa Pendidikan Indonesia masih mencari bentuknya secara sistemik, sedang ada perubahan sudut pandang/cara pandang terhadap pendidikan dan peserta didik ataupun posisi anak sebagai generasi yang akan mengisi kehidupan mendatang di negeri ini. Sudah ada kemajuan dan terobosan-terobosan, terutama dari menteri era Jokowi (Pak Anis Baswedan). Meski kadang idealisme kebijakan akan terhambat pada tataran praktik di bawahnya, terutama sekolah-sekolah yang sumber dayanya memang masih perlu di up grade. Melalui program profesionalisasi guru yang terus berjalan, saya kira ini harus kita lihat sbagai upaya negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Secara pribadi, kenapa saya membangun gerakan pemberdayaan di luar sekolah melalui budaya membaca dan menulis atau yang sering dinamakan gerakan Literasi ini, ya ini adalah upaya untuk ikut menyemarakkan gerakan pendidikan dan penyadaran di luar sekolah atau di masyarakat. Ini bukan hal baru dan bukan hanya di Trenggalek. Tapi ini menarik. 

2. Bagi anda, apa yang menyebabkan ketertarikan anda pada isu pendidikan, sehingga menulis beberapa tema pendidikan? Dan bisakah anda jelaskan point2 penting yang ingin anda tawarkan dari buku tersebut?

Jawab:

Yang perlu dicatat saya bukan ahli pendidikan dalam makna pendidikan mikro dalam level kelas, saya tak banyak belalajar soal itu. Tapi saya berangkat dari bagaimana fakta yang ada bahwa dunia pendidikan didominasi filsafat kelas penguasa yang mendominasi dunia pemikiran yang salah satunya juga tersebar  lewat sekolah. Sekolah inipun belum bisa menjadi sarana bagi guru dan peserta didik untuk menghadapi dunianya secara menyeluruh dan mendorong generasi aktif, kreatif, kritis dan berjuang menghadapi tantangan yang kiab berat. Beberapa buku tentang pendidikan yang saya tulis rata-rata berisi soal ideologi pendidikan. Buku saya yang berjudul “Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, (Neo)Liberal, Marxis-Sosialis, dan Posmodernis” adalah cerminan pemikiran saya dalam melihat cara pandang pendidikan yang ada.

Ketika sempat ngajar, di sekolah SMPN 3 Watulimo, hanya 1 semester dan ngajar di kampus swasta di Blitar, saya coba menerapkan apa yang saya baca tentang metode pendidikan kritis yang  saat saya kuliah dan jadi aktivis dulu sempat menarik minat banyak aktivis gerakan dan pemberdaya. Misal buku-buku Paulo Freire dengan konsep “pendidikan kaum tertindas”, dll.

Di luar kesibukan saya, selain gerakan literasi saya juga ikut mengorganisir kegiatan perlindungan anak di LPA (Lembaga Perlindungan Anak) untuk berpartisipasi melakukan kampanye tentang hak anak, mendorong partisipasi anak lewat forum-forum anak, serta mengadvokasi tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak anak.

3. Disamping pendidikan, isu kemanusiaan juga merupakan isu strategis dan penting. Bagaimana pandangan anda?

Jawab:

Kemanusiaan itu saya kira sebuah nilai bahwa pusat dari segalanya kemudian adalah bagaimana eksistensi manusia itu bisa tampil menjadi makhluk yang sadar, bebas dari penindasan, penghisapan, dan pelanggaran hak-haknya. Saya mungkin sering mengutip konsep Hak Asasi Manusia (HAM) ketika punya kesempatan untuk bicara. Hampir di semua buku yang saya tulis, akan kelihatan bahwa saya adala pengagum tradisi renaisan di Barat. Dalam interaksi berdiskusi dengan orang-orang saya juga harus menghadapi pemikiran-pemikiran yang anti-HAM. Artinya, memahamkan orang-orang tentang nilai-nilai modern demokrasi dan HAM itu adalah bentuk penyadaran agar mereka tahu bahwa manusia itu harus jadi pusat dan subjek perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. 

Yang kita hadapi dalam banyaak hal adalah tradisi kepasrahan, memanipulasi eksistensi tuhan untuk membiarka keadaan buruk, dan mengatasnamakan tuhan untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi adalah bentuk cara pandang yang tampaknya banyak berkembang, dan kita harus siap menghadapi dengan tujuan menyadarkan agar warga negara sadar bahwa negeri ini bukan didasarkan atas dasar agama atau keyakinan kelompok tertentu. Jadi saya membaca kemanusiaan dari kacamata HAM dan demokrasi,dan konsep ini bisa kita gunakan untuk melhat isu apa saja di masyarakat. Misal hak orang atas bacaan, hak atas pendidikan, hak anak untuk tumbuh kembang, untuk bebas dari kekerasan dan perlakuan salah dari orangtua, guru, sesama teman, masyarakat dan negara.

4. Sebagai tokoh muda Jawa Timur, upaya apa saja yang sudah anda lakukan dan kintribusikan untuk pendidikan dan kemanusiaan? Apa kira2 saran buat pemuda2 lainnya yang saat ini juga masih konsisten menjaga idealismenya?

Jawab:

Saya bukanlah orang yang pernah menimbang apa saja yang sudah saya lakukan. Pada dasarnya apa yang saya lakukan juga jarang yang terencana, seperti mengalir saja. Yang jelas tak terbiasa diam, mungkin karena ada keresahan dalam pikiran saya, mungkin juga karena terbiasa gerak sejak kuliah dan dalam hal tertentu sejak sekolah. Mungkin juga karena sejak kecil hingga awal SMA saya amat introvert, bahkan berani “menembak” cewek di baru kelas 2 SMA itupun lewat puisi. Hahaha.... Saya ditolak, lantas saya lari pada dunia puisi, lalu dunia buku. Membaca lalu menulis. Kelas III SMA pertama kali tulisan dimuat, puisi di majalah Mimbar Pembangunan Agama Jatim. Saat kuliah saya terus jatuh cinta pada dunia pemikiran. Ya mungkin sumbangan konkrit saya adalah bahwa saya nulis dan tulisan dan buku-buku saya  dibaca orang, juga diundang untuk bicara lalu mereka ada yang mengikuti pemikiran saya.... (Meski ukurannya juga gak pasti). Lantas saya juga gabung dengan komunitas dan membikin komunitas agar suara saya dan teman-teman seide bisa jadi kegiatan dan gerakan. Gitu saja.

Soal konsistensi, saya tak boleh menilai yang lain, terutama sebut nama mantan-mantan teman aktivis. Yang jelas ada istilah “Revolusi Sampai Skripsi”, artinya teman-teman yang masa kuliahnya sangat aktif di kegiatan gerakan dan pemberdayaan, lalu setelah lulus, kerja, nikah, punya anak, mereka berhenti dari dunia aktivitas sosial. 

Atau begitu fokus berkeluarga mereka hanya fokus di situ, tak membiarkn tubuhnya berperan di luar rumah untuk mengorganisir kegiatan atau gerakan. Saya kira memang ada fase hidup yang berubah, di mana pernikahan dan keluarga merubah cara pandang orang, mungkin karena mencari nafkah untuk keluarga itu tuntutan domestik yang kadang memusingkan, saking memusingkannya tak sempat memikirkan hal lain. Belum lagi kalau ada masalah domestik yang pelik. Makanya ya alhamdulillah, masih ada teman-teman yang meskipun sudah berkeluarga masih mau ikut bikin gerakan atau pemberdayaan atas sarana dan usungan isu apa saja. Yang jelas kita tak bisa maksa orang untuk mengikuti cara berpikir kita, tapi kita punya hak untuk menyampaikan pikiran kita. Ya kita mulai dari kita sendiri, kolektif kita dulu, baru bikin program untuk bagaimana pengaruhi orang. Mungkin itu konsep gerakan pengorganisiran kesadaran yang sejak dulu saya pahami. 

5. Jika Dilihat dibeberapa media, terutama yang mengulas sosok anda, anda dulu pernah aktif di dunia gerakan mahasiswa, sering aksi-aksi di jalanan untuk menyikapi persoalan2 dan isu publik. Bagaimana anda melihatnya sekarang?

Jawab: 

Yaitu tadi. Ada judul kisah “Revolusi Sampai Skripsi”, untuk saya tolong dikasih judul “Revolusi Belum Selesai”  tapi ada kalau itu terlalu radikal, diganti aja “Perjuangan terus berlanjut” (A luta continua). Hahaha... Bagi saya namanya isu publik ya publik harus berpartisipasi aktif, kalau ada penyimpangan terhadap kebijakan publik karena akan berdampak pada publik, makanya publik harus sadar  dan lantas mengontrol kebijakan publik. Makanya mendorong agar rakyat melek hak-hak publik dan alur pembuatan kebijakan  publik harus terus dilakukan. Di sinilah yang kami maksud Literasi dalam arti luas. Jadi Literasi itu awalnya hanya mengajari generasi membaca dan menulis, memahami teks dan mengungkapkan pikiran. Lantas harus maju pada “political literacy” atau intinya melek kebijakan publik. Dengan membaca mereka akan mampu belajar memahami alur kebijakan dan arah tindakan orang-orang di sekitarnya. Dengan menulis dan bicara mereka akan  berani aktif berkomunikasi untuk mengontrol agar yang salah ia berani bicara salah dan yang benar di benarkan.

Bagaimana sekarang? Ruang publik malah relatif terbuka dengan munculnya media sosial yang membuat apa yang mungkin pernah dicita-citakan Habermas sebagai “komunikasi bebas hambatan”. Coba, dengan facebook orang dari latarbelakang apa saja bisa bicara dan menulis. Nah, di sinilah ruang itu membuka kesempatan. Jadi konteks sekarang, literasi menjadi penting karena membaca akan memperbanyak kosakata, mengajari menulis akan membuat mereka bisa nulis status yang lebih bagus, bernalar, kritis, aspiratif. Nggak sekedar nulis status “Ihhh, sebel”.  “Media literacy” istilahnya. Bagaimana menggunakan media untuk menyapaikan dan menerima pesan untuk pencerdasan dan pertukaran informasi yang memperbaiki keadaan.***

 [Gambar ini adalah Profilnya, saat diangkat oleh harian KOMPAS pada 11 Desember 2015 yang lalu]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun