Yang perlu dicatat saya bukan ahli pendidikan dalam makna pendidikan mikro dalam level kelas, saya tak banyak belalajar soal itu. Tapi saya berangkat dari bagaimana fakta yang ada bahwa dunia pendidikan didominasi filsafat kelas penguasa yang mendominasi dunia pemikiran yang salah satunya juga tersebar lewat sekolah. Sekolah inipun belum bisa menjadi sarana bagi guru dan peserta didik untuk menghadapi dunianya secara menyeluruh dan mendorong generasi aktif, kreatif, kritis dan berjuang menghadapi tantangan yang kiab berat. Beberapa buku tentang pendidikan yang saya tulis rata-rata berisi soal ideologi pendidikan. Buku saya yang berjudul “Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, (Neo)Liberal, Marxis-Sosialis, dan Posmodernis” adalah cerminan pemikiran saya dalam melihat cara pandang pendidikan yang ada.
Ketika sempat ngajar, di sekolah SMPN 3 Watulimo, hanya 1 semester dan ngajar di kampus swasta di Blitar, saya coba menerapkan apa yang saya baca tentang metode pendidikan kritis yang saat saya kuliah dan jadi aktivis dulu sempat menarik minat banyak aktivis gerakan dan pemberdaya. Misal buku-buku Paulo Freire dengan konsep “pendidikan kaum tertindas”, dll.
Di luar kesibukan saya, selain gerakan literasi saya juga ikut mengorganisir kegiatan perlindungan anak di LPA (Lembaga Perlindungan Anak) untuk berpartisipasi melakukan kampanye tentang hak anak, mendorong partisipasi anak lewat forum-forum anak, serta mengadvokasi tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak anak.
3. Disamping pendidikan, isu kemanusiaan juga merupakan isu strategis dan penting. Bagaimana pandangan anda?
Jawab:
Kemanusiaan itu saya kira sebuah nilai bahwa pusat dari segalanya kemudian adalah bagaimana eksistensi manusia itu bisa tampil menjadi makhluk yang sadar, bebas dari penindasan, penghisapan, dan pelanggaran hak-haknya. Saya mungkin sering mengutip konsep Hak Asasi Manusia (HAM) ketika punya kesempatan untuk bicara. Hampir di semua buku yang saya tulis, akan kelihatan bahwa saya adala pengagum tradisi renaisan di Barat. Dalam interaksi berdiskusi dengan orang-orang saya juga harus menghadapi pemikiran-pemikiran yang anti-HAM. Artinya, memahamkan orang-orang tentang nilai-nilai modern demokrasi dan HAM itu adalah bentuk penyadaran agar mereka tahu bahwa manusia itu harus jadi pusat dan subjek perubahan untuk kehidupan yang lebih baik.
Yang kita hadapi dalam banyaak hal adalah tradisi kepasrahan, memanipulasi eksistensi tuhan untuk membiarka keadaan buruk, dan mengatasnamakan tuhan untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi adalah bentuk cara pandang yang tampaknya banyak berkembang, dan kita harus siap menghadapi dengan tujuan menyadarkan agar warga negara sadar bahwa negeri ini bukan didasarkan atas dasar agama atau keyakinan kelompok tertentu. Jadi saya membaca kemanusiaan dari kacamata HAM dan demokrasi,dan konsep ini bisa kita gunakan untuk melhat isu apa saja di masyarakat. Misal hak orang atas bacaan, hak atas pendidikan, hak anak untuk tumbuh kembang, untuk bebas dari kekerasan dan perlakuan salah dari orangtua, guru, sesama teman, masyarakat dan negara.
4. Sebagai tokoh muda Jawa Timur, upaya apa saja yang sudah anda lakukan dan kintribusikan untuk pendidikan dan kemanusiaan? Apa kira2 saran buat pemuda2 lainnya yang saat ini juga masih konsisten menjaga idealismenya?
Jawab:
Saya bukanlah orang yang pernah menimbang apa saja yang sudah saya lakukan. Pada dasarnya apa yang saya lakukan juga jarang yang terencana, seperti mengalir saja. Yang jelas tak terbiasa diam, mungkin karena ada keresahan dalam pikiran saya, mungkin juga karena terbiasa gerak sejak kuliah dan dalam hal tertentu sejak sekolah. Mungkin juga karena sejak kecil hingga awal SMA saya amat introvert, bahkan berani “menembak” cewek di baru kelas 2 SMA itupun lewat puisi. Hahaha.... Saya ditolak, lantas saya lari pada dunia puisi, lalu dunia buku. Membaca lalu menulis. Kelas III SMA pertama kali tulisan dimuat, puisi di majalah Mimbar Pembangunan Agama Jatim. Saat kuliah saya terus jatuh cinta pada dunia pemikiran. Ya mungkin sumbangan konkrit saya adalah bahwa saya nulis dan tulisan dan buku-buku saya dibaca orang, juga diundang untuk bicara lalu mereka ada yang mengikuti pemikiran saya.... (Meski ukurannya juga gak pasti). Lantas saya juga gabung dengan komunitas dan membikin komunitas agar suara saya dan teman-teman seide bisa jadi kegiatan dan gerakan. Gitu saja.
Soal konsistensi, saya tak boleh menilai yang lain, terutama sebut nama mantan-mantan teman aktivis. Yang jelas ada istilah “Revolusi Sampai Skripsi”, artinya teman-teman yang masa kuliahnya sangat aktif di kegiatan gerakan dan pemberdayaan, lalu setelah lulus, kerja, nikah, punya anak, mereka berhenti dari dunia aktivitas sosial.