Mohon tunggu...
ahmad Farzah
ahmad Farzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ahmad Farzah Putra (43223010158) Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mercu Buana, Dengan nama dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

4 Desember 2024   21:58 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:58 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

PPT PRIBADI
PPT PRIBADI

PPT PRIBADI
PPT PRIBADI

PPT PRIBADI
PPT PRIBADI

PPT PRIBADI
PPT PRIBADI

Pendahuluan

Hukum pidana adalah salah satu instrumen penting dalam menjaga tatanan masyarakat dan menegakkan keadilan. Di dalamnya, terdapat prinsip dasar yang menjadi fondasi untuk menentukan apakah seseorang dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana. Dua elemen utama dalam hukum pidana adalah actus reus (perbuatan yang melanggar hukum) dan mens rea (niat atau kesalahan batin). Kedua konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Sir Edward Coke, seorang ahli hukum Inggris pada abad ke-17 yang memiliki pengaruh besar dalam pengembangan prinsip-prinsip hukum pidana modern.

Kasus korupsi di Indonesia sering menjadi perbincangan hangat karena dampaknya yang merugikan negara dan masyarakat luas. Namun, pendekatan hukum untuk menentukan kesalahan dalam kasus korupsi kerap menjadi tantangan tersendiri. Konsep actus reus dan mens rea menjadi sangat relevan dalam menentukan apakah seorang terdakwa dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan korupsi yang dilakukannya. Dalam konteks ini, tulisan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pandangan Edward Coke mengenai actus reus dan mens rea serta bagaimana penerapannya dalam kasus korupsi di Indonesia.

Apa Itu Actus Reus dan Mens Rea

Actus reus adalah istilah Latin yang berarti "tindakan salah". Ini mengacu pada perbuatan fisik atau tindakan nyata yang melanggar hukum. Actus reus mencakup segala bentuk perbuatan (baik aktif maupun pasif)

Mens rea adalah istilah Latin yang berarti "niat jahat" atau "kesalahan batin". Ini mencerminkan elemen subjektif dari tindak pidana, yaitu niat atau kesadaran pelaku bahwa perbuatannya melanggar hukum.

Pembahasan

Prinsip actus reus dan mens rea yang diperkenalkan oleh Edward Coke merupakan dasar dalam hukum pidana di banyak negara, termasuk Indonesia. Actus reus merujuk pada perbuatan fisik yang dilarang oleh hukum, sementara mens rea mencerminkan niat atau kesalahan batin yang menyertai tindakan tersebut. Keduanya harus dibuktikan secara bersamaan agar seseorang dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana. Dalam konteks korupsi di Indonesia, kedua elemen ini sering menjadi perhatian utama dalam proses peradilan untuk memastikan bahwa setiap putusan didasarkan pada bukti yang kuat dan adil.

1. Actus Reus dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Actus reus dalam kasus korupsi di Indonesia mencakup berbagai tindakan yang secara eksplisit melanggar undang-undang, seperti menerima suap, menyalahgunakan wewenang, atau memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara. Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menetapkan bahwa perbuatan tersebut dianggap sebagai tindak pidana jika dilakukan dengan sengaja dan melanggar hukum.

Contoh nyata dari penerapan actus reus dapat dilihat dalam kasus suap. Perbuatan menerima sejumlah uang atau hadiah sebagai imbalan atas keputusan tertentu dianggap memenuhi unsur actus reus, karena ada perbuatan fisik yang nyata (penerimaan suap) yang melanggar hukum. Dalam kasus semacam ini, pembuktian actus reus relatif mudah, karena didukung oleh bukti-bukti seperti rekaman, dokumen, atau pengakuan saksi.

Namun, tantangan sering muncul dalam kasus yang melibatkan tindakan tidak langsung atau penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang. Misalnya, seorang pejabat yang memberikan proyek pemerintah kepada perusahaan tertentu tanpa proses lelang yang wajar dapat dianggap melakukan korupsi. Dalam situasi ini, pengadilan harus menganalisis lebih dalam apakah tindakan tersebut memenuhi unsur actus reus yang ditetapkan dalam UU Tipikor.

2. Mens Rea dalam Kasus Korupsi

Mens rea, atau niat jahat, adalah elemen penting dalam menentukan kesalahan dalam tindak pidana korupsi. Prinsip ini memastikan bahwa seseorang tidak dapat dihukum jika tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks hukum Indonesia, mens rea sering dikaitkan dengan unsur "dengan sengaja" yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Sebagai contoh, dalam kasus korupsi yang melibatkan penyalahgunaan anggaran, pengadilan harus membuktikan bahwa terdakwa menyadari perbuatannya melanggar hukum dan memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Hal ini sering kali menjadi tantangan, terutama jika terdakwa berusaha untuk mengklaim bahwa tindakannya adalah kelalaian atau kesalahan administrasi semata.

Namun, dalam beberapa kasus, konsep dolus eventualis (niat tidak langsung) juga digunakan. Ini terjadi ketika seseorang menyadari bahwa tindakannya mungkin akan menimbulkan kerugian, tetapi tetap melakukannya. Penerapan konsep ini memungkinkan pengadilan untuk menangani kasus di mana niat jahat tidak secara eksplisit terlihat tetapi dapat disimpulkan dari keadaan.

3. Kaitan Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi

Dalam hukum pidana, actus reus dan mens rea tidak dapat dipisahkan. Sebuah perbuatan yang melanggar hukum tidak akan dianggap sebagai tindak pidana jika tidak disertai dengan niat jahat, begitu pula sebaliknya. Dalam kasus korupsi, keduanya sering kali harus dianalisis secara bersamaan untuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan mencerminkan tingkat kesalahan terdakwa.

Misalnya, dalam kasus seorang pejabat yang menandatangani dokumen pengadaan barang yang ternyata palsu, pengadilan harus memeriksa apakah pejabat tersebut melakukannya dengan sengaja (mens rea) atau karena kelalaian (actus reus saja). Jika terbukti bahwa pejabat tersebut mengetahui adanya pemalsuan tetapi tetap menandatangani dokumen, maka unsur mens rea terpenuhi.

4. Relevansi Pemikiran Edward Coke dalam Penanganan Kasus Korupsi

Pemikiran Edward Coke tentang pentingnya actus reus dan mens rea tetap relevan dalam sistem hukum modern, termasuk di Indonesia. Dengan menekankan kedua elemen ini, sistem peradilan dapat memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar bersalah yang dihukum. Ini menjadi penting dalam kasus korupsi, di mana kompleksitas hubungan antara tindakan fisik dan niat sering kali mempersulit proses pembuktian.

Sebagai contoh, banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan pejabat tinggi dengan jaringan kekuasaan yang luas. Dalam situasi seperti ini, prinsip-prinsip actus reus dan mens rea membantu menghindari tuduhan yang sembrono sekaligus memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil.

Mengapa penerapan dasar hukum actus reus dan mens rea penting untuk diterapkan?

Penerapan dasar hukum actus reus (tindakan fisik) dan mens rea (niat atau kesalahan batin) sangat penting untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana berjalan adil dan efisien. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa kedua konsep ini krusial untuk diterapkan:

1. Memastikan Kejelasan Pertanggungjawaban

Actus reus dan mens rea membantu membedakan antara tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tindakan yang terjadi karena kecelakaan atau ketidaksengajaan. Dengan demikian:

  • Actus reus memastikan bahwa ada perbuatan nyata yang melanggar hukum.
  • Mens rea memastikan bahwa pelaku memiliki niat atau kesadaran akan perbuatannya.

Contohnya, seseorang yang menyebabkan kecelakaan tanpa niat tidak dapat dipersalahkan secara pidana karena kurangnya mens rea.

2. Melindungi Hak Asasi dan Prinsip Kehati-hatian

Penerapan mens rea melindungi individu dari hukuman yang tidak adil. Hanya mereka yang secara sadar dan sengaja melanggar hukum yang dapat dihukum. Prinsip ini menjaga hak-hak dasar seseorang agar tidak dihukum atas sesuatu di luar kendalinya.

Misalnya, dalam kasus korupsi, jika seorang pejabat menerima suap tanpa sadar bahwa tindakannya melanggar hukum, maka ia mungkin tidak memiliki mens rea. Sebaliknya, jika ia dengan sengaja menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi, ia bertanggung jawab secara pidana.

3. Menghindari Penyalahgunaan Hukum

Tanpa actus reus dan mens rea, sistem hukum bisa menghukum orang yang tidak bersalah atau yang hanya secara kebetulan terlibat. Dengan memastikan bahwa keduanya terpenuhi, hukum mencegah penyalahgunaan dan penjatuhan hukuman yang salah.

4. Memberikan Kepastian Hukum

Actus reus dan mens rea memberikan standar yang jelas dalam menilai suatu tindak pidana. Ini membantu aparat penegak hukum, pengadilan, dan masyarakat untuk memahami kapan seseorang dapat dinyatakan bersalah secara hukum.

Contoh di Indonesia, dalam kasus korupsi, KPK menggunakan kedua konsep ini untuk memastikan bahwa pelaku memang melakukan tindakan melanggar hukum (actus reus) dan melakukannya dengan kesadaran serta niat buruk (mens rea).

5. Memberikan Efek Jera

Dengan penerapan prinsip ini, pelaku kejahatan sadar bahwa setiap tindakan yang disertai niat buruk akan dikenakan sanksi tegas. Hal ini menciptakan efek jera, baik bagi pelaku maupun masyarakat umum, untuk tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Relevansi dalam Konteks Korupsi

Dalam kasus korupsi, actus reus dan mens rea sangat penting untuk:

  1. Mengidentifikasi tindakan fisik seperti penerimaan suap, manipulasi data, atau penggelapan dana.
  2. Membuktikan niat buruk seperti menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan pribadi.

Tanpa penerapan kedua konsep ini, sistem hukum mungkin akan kesulitan membedakan korupsi yang disengaja dari kesalahan administrasi.

Kesimpulan

Actus reus dan mens rea adalah pilar penting dalam hukum pidana yang menjamin bahwa seseorang hanya dihukum jika perbuatannya melanggar hukum dan dilakukan dengan niat buruk. Dalam konteks korupsi, penerapan kedua elemen ini memperkuat efektivitas pemberantasan korupsi serta menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum.

CONTOH KASUS

Salah satu contoh kasus korupsi korporasi yang memiliki kekuatan hukum tetap di Indonesia adalah kasus yang melibatkan PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), sebelumnya dikenal sebagai PT Duta Graha Indah (DGI). Perusahaan ini dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terkait tindak pidana korupsi dalam delapan proyek pemerintah, termasuk proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring dan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Infeksi Universitas Udayana.

Pada putusan yang telah inkracht, PT NKE dikenakan denda sebesar Rp 700 juta dan diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 85,4 miliar. Selain itu, PT NKE juga dijatuhi sanksi tambahan berupa pencabutan hak untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan. Kasus ini menunjukkan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan korupsi yang dilakukan melalui para pengurusnya.

Kasus ini melibatkan berbagai proyek pemerintah yang dilakukan dengan cara melawan hukum, seperti menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya perusahaan. Misalnya, dalam proyek Wisma Atlet, PT NKE diduga menerima keuntungan sebesar Rp 49 miliar. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dari berbagai proyek pemerintah mencapai Rp 240,09 miliar

Penanganan kasus ini mencerminkan langkah signifikan dalam penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Hal ini juga diharapkan memberikan efek jera bagi korporasi lain agar tidak melakukan tindak pidana serupa di masa depan

DAFTAR PUSTAKA

https://hukumexpert.com/mens-rea-dan-actus-reus/

https://news.republika.co.id/berita/pkrerr430/pt-nke-perusahaan-pertama-yang-diputus-bersalah-korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun