Di dekat kaki gunung yang sejuk, terletak sebuah desa kecil bernama Wangi. Desa itu tidak begitu besar, tapi setiap sudutnya menyimpan kenangan bagi dua anak muda, Ardi dan Nia. Sejak kecil, mereka sering bermain di sawah, melewati sungai-sungai kecil, bermain bola di dekat halaman rumah dan menikmati angin segar di bawah rindangnya pepohonan. Meski begitu, jalan hidup akhirnya membawa mereka ke Kota Intan.
Ardi, seorang pemuda dengan cita-cita tinggi, dikenal sebagai sosok yang berani dan gigih. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan di universitas di pusat Kota Intan. Namun, bukan hanya pendidikan yang menjadi tujuannya. Ardi juga merasakan panggilan untuk menjadi aktivis, memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil yang kerap terabaikan. Dengan karisma dan kecerdasan yang dimilikinya, Ardi akhirnya terpilih menjadi ketua umum sebuah organisasi mahasiswa lokal yang berpengaruh di kota itu.
Di sisi lain, Nia adalah gadis yang rajin dan penuh semangat. Ia bekerja di Kota Intan sebagai karyawan di salah satu kafe yang populer di sana. Meski awalnya ragu untuk meninggalkan desa dan memulai karirnya di pusat kota intan, Nia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk berkembang dan menggapai mimpinya. Setiap harinya, ia bekerja keras, menangani berbagai urusan administrasi dengan teliti dan penuh tanggung jawab.
Suatu sore yang dingin, Ardi baru saja pulang dari kuliahnya di Kota Intan. Hari itu, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Cijulang dengan angkot yang biasa ia tumpangi. Ketika naik angkot, Ardi melihat seorang gadis berseragam pramuka sekolah yang baru saja naik dan duduk tak jauh darinya. Gadis itu menundukkan kepalanya, seolah tak menyadari siapa pun di sekelilingnya.
Ardi menoleh, dan matanya langsung tertuju pada gadis itu. Dia mengenali wajah itu---Nia, gadis kecil yang pernah bermain bersamanya dulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Waktu telah berlalu, dan Nia yang kini duduk di hadapannya bukan lagi anak kecil yang dulu ia kenal. Ia telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang anggun.
Sepanjang perjalanan, keduanya diam, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Ardi hanya mencuri pandang, mencoba mengingat masa lalu yang dulu mereka habiskan bersama. Ada rasa asing yang kini menyelimuti, seolah-olah jarak dan waktu telah membuat mereka menjadi dua orang yang berbeda.
Saat angkot berhenti di ujung desa, Nia turun lebih dulu. Ardi, tanpa berpikir panjang, mengikuti di belakangnya. Bukan untuk menyapa atau berbicara, tapi hanya mengikuti. Ia tak tahu mengapa, tapi ada dorongan kuat untuk tetap berada di dekat Nia. Rumah mereka memang searah, dan rumah Ardi melewati rumah Nia.
Sepanjang jalan setapak yang sunyi itu, Ardi menjaga jarak, langkahnya terasa ragu. Di dalam hatinya, ada rahasia yang belum pernah ia ungkapkan---sebuah perasaan yang mulai tumbuh sejak pertemuan tak terduga itu. Namun, Ardi adalah tipe orang yang tidak terlalu memikirkan cinta atau pacaran. Fokus utamanya adalah pada perjuangan dan tanggung jawabnya sebagai aktivis.
Ketika Nia tiba di depan rumahnya, Ardi berhenti sejenak, memperhatikan dari kejauhan. Saat Nia masuk ke dalam rumahnya, Ardi melanjutkan perjalanan menuju rumahnya sendiri, dengan hati yang tenang dan pikiran yang kembali pada tanggung jawabnya.
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Ardi mendengar kabar yang mengejutkan. Nia mulai berpacaran dengan salah satu sahabat dekatnya, Dani. Dani adalah sahabat Ardi sejak kecil, seseorang yang telah seperti saudara baginya. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama, bersama satu lagi sahabat dekat mereka, Rudi. Hubungan mereka begitu erat hingga orang-orang di desa sering mengira mereka adalah saudara kandung.
Ardi menerima berita itu dengan tenang, seperti yang selalu ia lakukan. Tidak ada rasa cemburu atau penyesalan. Baginya, hubungan persahabatan dengan Dani dan Rudi jauh lebih penting daripada perasaan pribadi. Meski dalam hatinya ada secercah perasaan terhadap Nia, Ardi memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan manis dari masa lalu.
Namun, hubungan Nia dan Dani tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, mereka memutuskan untuk berpisah. Ada banyak alasan di balik keputusan itu---mulai dari perbedaan tujuan hidup hingga kesibukan masing-masing yang kian menyulitkan komunikasi. Kabar itu sampai ke telinga Ardi, namun ia tetap bersikap seperti biasa, menyimpan semua perasaannya rapat-rapat.
Ardi percaya bahwa kesempatan akan datang pada waktu yang tepat. Meski Nia kini kembali sendiri, Ardi tetap memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya. Bagi Ardi, ada hal-hal yang lebih penting dalam hidupnya saat ini, dan ia yakin bahwa jika takdir memang berpihak, Ardi meyakini bahwa waktunya untuk merasakan cinta sejati akan datang pada saat yang tepat. Hingga saat ini, perasaan itu tetap menjadi rahasia yang hanya hatinya dan Tuhan yang tahu.
Di tengah kesibukan sebagai ketua organisasi mahasiswa dan aktivis, Ardi terus menjalani hari-harinya dengan tenang. Nia dan Dani kembali menjadi teman baik, dan Rudi tetap menjadi sahabat yang selalu ada. Meski jalan hidup mereka tampak berbeda, benang merah persahabatan mereka tetap kuat, menghubungkan mereka dalam setiap langkah yang mereka tempuh di Kota Intan.
Bersambung.....
Karya Ahmad Fajar Mutahari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H