Sedari kemarin, siang hari sebelum pada malam harinya Tim Nasional Indonesia menghadapi Thailand di lanjutan fase penyisihan grup AFF Cup 2018, saya sudah mulai merasa tidak enak. Saya coba nge-twit singkat tentang Timnas Indonesia sekarang. Lalu, saya mencoba menuangkannya dalam tulisan ini sebagai respon atas kegelisahan saya pribadi dan mungkin banyak para pecinta sepak bola Indonesia di luar sana.Â
Setiap orang Indonesia adalah pendukung Timnas Indonesia. Ya, itu hukum alamnya. Tetapi, ketika Timnas jelek dalam bermain dan (bahasa orang Jakarta) kalah melulu, luntur lah emosi positif dukungan terhadap Timnas. Kalau hilang kecintaan mungkin tidak, tetapi keyakinan positif akan sangat sulit dikembangkan kalau Timnas kalah melulu.
Yang menjadi sorotan utama tentu saja adalah kursi pelatih Timnas Indonesia. Setelah Asian Games kemarin, kontrak Luis Milla habis dan terjadi berita simpang siur terhadap masa depan Milla menjadi pelatih Timnas. Jujur, dulu pada saat pertama kali mendengar Milla ditunjuk menjadi pelatih Timnas saya juga tidak yakin-yakin amat.Â
Tapi, kemudian karakter permainan Timnas dan pembaharuan komposisi pemain di Timnas berubah. Sehingga seperti ada harapan minimal terjadi kebaharuan di tubuh Timnas Indonesia. Ada gaya permainan yang khas di Timnas.
Kemudian, Milla akhirnya pergi dan di AFF tahun ini Timnas tanpa Milla. Sempat terjadi negosisasi alot antara PSSI dengan Milla yang juga menjadi berita simpang siur akan kepastian Milla menjadi pelatih Timnas. Sempat juga ada kabar hampir pasti Milla melatih Timnas, namun pada akhirnya tidak terjadi dan Bima Sakti ditunjuk menjadi pelatih saat ini.
Sepeninggal Milla, Timnas seperti kehilangan magis-nya. Game style yang sudah terbangun semenjak 2 tahunan yang lalu seperti hilang begitu saja. Bima terlalu riskan, sebenarnya, ketika menerima tawaran PSSI menjadi pelatih. Tapi, mau bagaimana lagi. Bima adalah orang terdekat Timnas di era Luis Milla yang paham betul karakter permainan yang telah dibangun oleh Milla karena Bima sebelumnya menjadi asisten pelatih dari Milla.Â
Sampai di sini hitung-hitungan soal kursi pelatih memang realistis kenapa akhirnya Bima menjadi pelatih. Meskipun saya juga tetap tidak puas sejauh ini dengan kinerja Bima. Saya lebih suka menyebut bima sebagai care taker pelatih Timnas. Tentu saja persoalan pelatih ini juga berpengaruh ke psikologis pemain. Pemain jadi seperti jetlag.Â
Sekarang saya baru paham betul kenapa kemampuan pelatih itu sangat penting di dalam sebuah tim. Mungkin, di luar membahas teknis permainan, Milla juga sering memotivasi para pemain yang akhirnya membuat Timnas beberapa kali mampu membalikkan keadaan saat tertinggal lebih dulu di dalam sebuah pertandingan.Â
Yang saya ketahui juga dulu Riedl begitu, ketika sekilas dalam highlight sepak bola di televisi, Riedl mengajarkan come on celebrate ke Okto Maniani saat berlatih, di mana pemain akan lebih termotivasi secara emosional untuk mencetak gol. Mungkin ini tidak banyak orang ketahui karena saya juga hanya membaca dari sebuah tayangan dan gestur Riedl.
Berbicara mengenai teknis permainan, dari 3 laga yang telah dijalani oleh Timnas di AFF kali ini menurut saya belum terlihat meyakinkan. Padahal, pada saat menjelang bergulirnya piala AFF, Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan menjadi lawan berat bagi tim-tim lain dan karena masih penasaran akan gelar juara. Tetapi, seperti yang dikatakan oleh pihak Thailand, sepertinya Vietnam lebih layak diperhitungkan. Bahkan, kalau dilihat dari klasemen sejauh ini, Filipina dan Myanmar juga mungkin bisa jadi kuda hitam.
Sejauh ini Timnas Indonesia tidak terlihat karakter bermainnya. Sejauh pengamatan saya, karakter Timnas era Milla adalah mengandalkan kecepatan melalui kedua sayap kanan dan kiri. Kemudian ada pemain yang berani untuk berduel dan oportunis menyambut umpan dari kedua sayap timnas. Tetapi, di 3 laga terakhir Timnas, Febri Hariyadi belum mampu menujukkan kemampuan terbaiknya. Begitu juga Irfan Jaya.Â