Mohon tunggu...
Ahmad Faisal
Ahmad Faisal Mohon Tunggu... Penulis - Indonesian Writter

Political Science FISIP Unsoed Alumnus. I like reading, writting, football, and coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perkara Literasi: Tantangan dan Imajinasi

26 Februari 2018   21:30 Diperbarui: 27 Februari 2018   03:13 2440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tianjin Binhai Public Library | Sumber ilustrasi: dezeen.com

Semakin bertambahnya bahan bacaan dari hasil tulisan maupun riset membuat hasrat kita akan semakin penasaran terhadap bahan bacaan baru.

Sebenarnya, tidak hanya yang baru, yang lama pun kalau kita belum pernah membaca dan kita kira itu bagus untuk dibaca, akan semakin menambah rasa penasaran juga, bukan? Bahan bacaan yang ada pun beragam, semua disesuaikan dengan selera kita. Lebih suka novel, esai, jurnal, majalah, atau sekedar up date berita.

Tantangan hari ini mengenai kondisi literasi kita ada tiga;

Pertama, indeks literasi yang masih rendah, dimana minat baca masyarakat sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Padahal, beberapa tahun ke depan Indonesia sudah diprediksi bisa menjadi big ten dalam percaturan pencapaian negara, khususnya di bidang ekonomi.

Memang, soal membaca bukan seperti orang dagang. Ada orang kaya yang merupakan pengusaha tapi (maaf) pendidikannya rendah. Pun ada juga orang yang berpendidikan tinggi tapi kondisi keuangan normal atau biasa-biasa saja. Ini bukan sekadar soal kebahagiaan, soal itu urusan lain. Ini soal indeks membaca di masyarakat.

Sumber ilustrasi: twitter.com/ahloo_official
Sumber ilustrasi: twitter.com/ahloo_official
Terkadang saya punya ide iseng untuk membaca sebuah buku di tempat umum, baik itu di taman, di alun-alun, atau di fasilitas publik. 

Alasan keisengan saya sebenarnya hanya untuk mengisi waktu ketika menunggu sesuatu, seperti antrian, dan juga menguji respon orang terhadap tabu nya membaca buku di tempat umum.

Hal ini sudah saya lakukan sejak masa akhir kuliah dulu, ketika saya menunggu giliran konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi, di depan ruang dosen saya membaca buku tetapi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan judul skripsi saya.

Sebenarnya, untuk menghilangkan kejenuhan otak saja karena setelah sebelumnya berpikir mengenai skripsi, kemudian akan bimbingan dengan dosen membahas topik yang sama, sehingga lebih baik mengalihkan sejenak pikiran dengan membaca buku mengenai topik lain agar otak tetap on sebelum bimbingan. 

Sembari menunggu waktu antrian bimbingan tentunya. Selain ketika sedang menunggu antrian bimbingan skripsi, waktu lain yang saya gunakan untuk membaca adalah mencuri waktu di kosan, sembari menunggu antrian mandi, menunggu air mendidih ketika memasak mie instan, atau menunggu pacar datang ketika akan kencan (Just kidding). 

Karena sebenarnya untuk memulai kegemaran membaca --lebih dari sekadar kegemaran, tetapi kebutuhan- adalah dengan membaca sedikit demi sedikit tetapi dalam jangka waktu yang sering. Ini mungkin agak sedikit sulit untuk dimulai khususnya bagi orang yang bukan mahasiswa atau anak sekolahan. Tetapi ketika sudah memulai nya dan menjadi kebiasaan, itu akan menjadi hal yang menyenangkan.

Kedua, tantangan mengenai kondisi literasi kita hari ini adalah rendahnya kualitas karya. Saya belum lama dalam menggemari membaca buku, tetapi saya masih aktif mengikuti perkembangan literasi secara perlahan.

Jika dalam ranah dunia kampus ada banyak oknum mahasiswa yang mengerjakan tugas akhirnya secara plagiat, atau bahkan dengan curang 'dibuatkan' oleh jasa pembuat tugas akhir, maka di ranah literasi umum banyak sekali berterbaran artikel dengan beragam judul, tetapi secara substansi tidak nyambung alias low quality. 

Maklum saja, karena ranahnya bukan di dunia akademik yang setap bab atau sub bab dapat dikoreksi oleh dosen. Barangkali ini yang sering menimbulkan perdebatan di kolom komentar mengenai sebuah judul artikel. Orang berdebat karena mungkin sebenarnya apa yang ditangkap pembaca berbeda dengan judul yang di-posting.

Terkadang, anehnya sang penulis juga menanggapinya secara substansial padahal perdebatannya sama sekali tidak nyambung. Mudah saja sebenarnya kalau mau berkomentar, "Tulisan anda tidak sesuai dengan judulnya (Saran)". Lalu sampaikan bagian mana yang tidak sesuai dan beri masukan.

Tren sekarang adalah banyak orang yang memiliki blog pribadi, maupun akun di situs web blog dengan ribuan judul. Menurut saya, baiknya jika tulisan itu berkenaan dengan ranah pribadi, seperti cerita tentang pengalaman kehidupan, cinta, curhatan, atau kritik terhadap seseorang akan lebih bijak di-posting di blog pribadi.

Sedangkan ketika tulisan yang dibuat sudah mencakup ranah sosial maupun teoretis akan lebih baik di- posting di akun situs web blog. Karena kenyatan nya hari ini ada banyak sekali judul tulisan dan siapa saja bisa menulis serta mem-posting-nya, serta bisa dibaca oleh siapa pun yang mebuka link tersebut. Setelah dibuka, ternyata bacaannya kurang begitu menarik. 

Tetapi ini lebih baik daripada tidak menulis sama sekali. Setidaknya ketika kita menulis dan mem-posting, ada pula orang yang akan membaca meskipun tidak terlalu banyak. Bahkan, mungkin kedepan nya prestige bagi akun media sosial seseorang tidak lagi diukur dari seberapa banyak jumlah posting-an foto, like, atau komentarnya.

Tetapi seberapa banyak judul artikel yang di-posting, berapa banyak yang membaca, dan seberapa berkualitas nya tulisan tersebut. Saya pribadi juga bukan penulis profesional dan bukan pula akademisi yang tulisannya sudah bagus, baik secara judul maupun isinya. Ini hanya sekedar masukan untuk para pegiat literasi, dan untuk kemajuan minat membaca-menulis masyarakat.

Ketiga, yang menjadi tantangan dalam kondisi literasi di Indonesia adalah peralihan dari hard file ke soft file. Atau mudahnya peralihan dari buku ke digital. Yang tadinya membaca di buku (kertas) kini sudah terdapat banyak ebook atau buku dalam bentuk digital (biasanya berformat Pdf). Dengan masih rendahnya minat baca dan tulis masyarakat, kemudahan era digital akan semakin menemukan tantangan. 

Logikanya, saat ini orang yang membaca buku saja masih sedikit yang khatam. Apalagi akan membaca ebook. Padahal, jika dilihat dari segi kemudahan, ebook lebih praktis, bisa ditaruh di tablet, HP, maupun laptop.

Tidak ada jaminan bahwa kemudahan literasi digital saat ini yang lebih praktis akan membuat masyarakat semakin giat membaca. Terjadi semacam ketidakseimbangan laju percepatan fasilitas literasi dengan budaya membaca. Ketika teknologi semakin memudahkan, budaya membaca masih stagnan, dalam artian belum terlalu signifikan perkembangan ke arah baiknya.

Pernah saya mendengar tentang usulan bahwa anak sekolah diwajibkan membaca buku di luar buku pelajaran setiap harinya. Saya sangat setuju dengan ide tersebut karena itu bisa menjaga mood dan kebiasaan membaca, tanpa harus jenuh terhadap bahan bacaan. 

Logikanya, kita bisa memilih ribuan bahan bacaan selain materi kuantum fisika, benzena nya kimia, sistem politik di pelajaran Pkn, atau macam-macam majas di pelajaran Bahasa Indonesia. Mungkin anak sekolah sekarang juga ada yang membaca buku-buku Gus Dur, Pram, atau novel-novel karya Dee Lestari dan yang lainnya.

Tercetus gagasan, bahwa untuk menjaga keberlangusungan perkembangan literasi Indonesia yang diharapkan akan berubah ke arah yang lebih bagus kedepannya, baiknya ada satu perpustakaan di setiap kecamatan. Namanya perpustakaan akan memberikan fasilitas bacaan yang bisa dibaca on the spot atau bisa dipinjam untuk dibawa pulang dan dibaca di rumah. 

Jadi, setiap hari senin nantinya anak sekolah akan saling bertanya dengan teman lainnya tentang buku apa yang dibaca weekend kemarin. Kalau zaman old mungkin seminggu sekali orang ramai-ramai ke kecamatan nonton layar tancep, zaman now orang akan ramai-ramai ke perpustakaan kecamatan setiap minggu nya dan bayangkan hasilnya satu dekade kemudian. Selamat membayangkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun