Mara Einstein adalah seorang Professor dalam bidang Studi Media dan Pemasaran di Queens College, New York City. Einstein merampungkan gelar sarjananya pada jurusan Teater di Universitas Boston. Kemudian ia melanjutkan studi magister di Northwestern University , dan ia menuntaskan P.hD nya dalam bidang ekologi media di New York University.
Tidak heran, karya-karyanya dalam bidang studi media dan pemasaran cukup banyak. Diantaranya ialah, Media Diversity: Economics, Ownership, and the FCC, How Corporate America Blurs the Line between What We Buy, Who We Are, and Those We Help, Advertising: What Everyone Needs to Know, Black Ops Advertising: Native Ads, Content Marketing, and the Covert World of the Digital Sell.Â
Tidak hanya itu, Karir non-akademisnya pun cemerlang, Ia sempat bekerja sebagai eksekutif di beberapa stasiun TV seperti NBC dan MTV Networks bahkan pernah bekerja di beberapa biro periklanan besar. [1]
Tulisan ini merupakan refleksi singkat atas pembacaan karya Mara Einstein yang berjudul Brands of Faith: Marketing Religion In A Commercial Age.Â
Buku ini secara umum melihat bagaimana agama disebarkan dan ‘dipasarkan’ di Amerika pada masa komersial, dengan menggunakan pendekatan Kajian media Einstein ingin melihat dari sudut pandang yang berbeda dari fenomena keagamaan di Amerika. Namun, review singkat ini, hanya berfokus terhadap bab kedua yang mana pembahasannya spesifik dalam tema.
"The Changing Religious Marketplace".Â
Bab ini dibuka einstein dengan argumen awal, kenapa Negara adidaya, yang notabenenya 'superpower' seperti Amerika, para penduduknya tetap berminat terhadap agama. Hal ini berbanding terbalik dengan teori sekularisasi yang kita kenal selama ini,
"Semakin Maju Suatu Negara, Maka Akan Semakin Jauh Dari Agama".Â
Lebih lanjut, Einstein menambahkan hasil survey dari beberapa lembaga survey (2006-2007), yang hasilnya ialah, menunjukkan tingkat keagamaan warga Amerika yang tinggi. Artinya, jelas sekali agama tidak dikesampingkan di Amerika. Padahal, konsep 'sekularisme' apabila negara semakin maju, maka agama akan semakin pudar. [2]Â
Einstein berargumen, teori sekularisasi itu tidak cocok digunakan sebagai alat analisis untuk melihat America. Maka, ia menawarkan pembacaan melalui pendekatan ekonomi, yakni Teori Supply-Side yang ia pandang lebih kompatibel.Â
Menurutnya, teori ini lebih tepat dalam memandang fenomana tersebut dikarenakan agama dipandang sebagai suatu obyek / produsen dan peminat keagamaan sebagai konsumen.[3]
Berangkat darisana, Einstein mengajukan pertanyaan utama penelitiannya yakni, mengapa masyarakat Amerika tetap memiliki permintaan (Demand) yang besar terhadap Agama?
Einstein akhirnya tiba kepada kesimpulan bahwa kebutuhan, minat, dan, konsumsi keagamaan orang-orang Amerika itu memiliki karakternya tersendiri, yang mana jika kebutuhan ini terpenuhi sudah bisa dipastikan mereka akan sangat tertarik mengenai agama.Â
Beberapa hal tersebut ialah:
Pertama, Private, dalam artian mereka masih tabu membicarakan agama, mereka lebih senang jika agama itu digali informasinya di ruang-ruang private dan dapat diakses dimana saja. Walaupun mereka tidak pergi ke gereja, tapi mereka membaca injil dirumah. Mereka lebih menyukai mengakses informasi keagamaan dirumah.Â
Kedua, Personalisation, yakni sesuai dengan diri mereka atau kecocokan individual.Â
Ketiga, Flexibelity (Tidak mengikat), mereka tidak harus ke gereja setiap minggu atau menghadiri acara tertentu, mereka bisa mendapatkan informasi keagamaan di sela-sela waktu dalam keseharian mereka. [4]Â
Diakhir einstein menyimpulkan Pasar Agama itu telah bergeser, di masa sekarang konten keagamaan tidak hanya didapatkan secara langsung langsung saja. Namun, melalui ruang virtual dan elektronik juga.Â
Contohnya: website, TV, radio, dsb. Demand terhadap produk keagamaan yangg persifat private itu menjadikan konten keagamaan semakin beragam. Hasilnya, para pemasar dan pemuka agama membuat tayangan yang beragam di ruang private, yang dapat diakses dimana saja dan kapanpun. Orang bebas memilih agama atau konten apa yang ia sukai. Implikasi lebih jauh, ialah terjadi yang namanya "Konsestansi Konten Keagamaan."Â
Pada awalnya, lembaga keagamaan berlomba-lomba akan banyaknya konten, pada akhirnya berubah menjadi perlombaan terhadap kualitas konten keagamaan tersebut. Organisasi keagamaan juga agar tidak tersingkirkan harus terus berinovasi dalam menyebarkan konten keagamaan, melihat persaingan yang semakin ketat itu. [5]
Referensi:
[1] Lihat https://maraeinstein.com/about/ Diakses pada 7 Maret 2022, Pukul 15.04.
[2] Einstein, Mara, Brands of Faith: Marketing Religion In a Commercial Age (New York: Rouletdge Press, 2008), Hlm 17.
[3] Einstein, Mara, Brands of Faith: Marketing Religion In a Commercial Age, Hlm 18.
[4] Einstein, Mara, Brands of Faith: Marketing Religion In a Commercial Age, Hlm 24.
[5] Einstein, Mara, Brands of Faith: Marketing Religion In a Commercial Age, Hlm 35-36
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H