Kebanyakan orang tidak memikirkan, bagaimana para penderita gangguan mental menjalani kehidupan sehari-harinya dengan stigma. Sebagian orang tidak akan paham, bahwa penderita gangguan mental tidak akan bisa hidup dengan kesendirian tanpa bantuan orang lain. Tantangan penderita gangguan mental bukan hanya mental mereka sendiri, melainkan mental orang lain juga.
Stigma negatif membawa dampak negatif dengan segala pandangan buruknya, yang membuat seseorang penderita gangguan mental berfikir bahwa dirinya lebih baik menyembunyikan kondisinya. Muncul ketakutan-ketakutan bahwa dirinya sudah tidak diterima lagi dalam lingkungan sosialnya, yang menyebabkannya putus asa dan tidak memiliki semangat untuk sembuh dan keluar dari zona yang telah membawanya kedalam penderitaan.
Stigma Negatif: Antara Perilaku Negatif, Stereotip, dan Diskriminasi
Stigma negatif tidak terlepas dari adanya perilaku seseorang dalam bertindak dan apapun yang dilakukan untuk membentuk stigmatisasi. Salah satunya merupakan Perilaku Negatif (Negative Attitude), yang biasanya dikaitkan dengan perilaku anti sosial. Sebuah perilaku yang memadukan unsur keburukan dan kebencian terhadap suatu hal yang dianggap merugikan dan tidak menguntungkan, dengan mengenyampingkan kesejahteraan individu lain.
Perilaku negatif akan selalu memberikan citra buruk, nama buruk, dan rasa anti toleransi, kepada seseorang yang bertentangan dengan dirinya. Orang dengan perilaku negatif akan selalu melontarkan konotasi-konotasi yang berbau negatif sebagai bentuk penilaian terhadap apapun yang tidak sejalan dengan prinsip hidup orang tersebut.
Mereka yang memiliki perilaku negatif tidak jarang mendeskripsikan penderita gangguan mental sebagai individu abnormal, gila, menyeleweng, dan berbahaya. Padahal framing-framing semacam itu tentu tidak beralasan, karena datang dari rasa ketidakpedulian terhadap kondisi sosial yang ada di sekitarnya.
Akibat dari perilaku negatif yang menyebar, timbul rasa prasangka-prasangka buruk. Prasangka atau Stereotip ini akan mempengaruhi cara orang untuk berinteraksi dengan seseorang yang dianggapnya sebagai ancaman yang memiliki resiko tinggi, seperti halnya gangguan mental.
Kenapa gangguan mental dikaitkan sebagai ancaman yang beresiko tinggi? Karena sebagian orang berasumsi bahwa penderita gangguan mental adalah seseorang yang hanya bisa menyusahkan, tidak memiliki kemampuan diri, dan seseorang yang menderita penyakit mengerikan. Oleh sebab itu, prasangka-prasangka tersebut secara tidak langsung akan membentuk pengelompokan.
Stereotip yang terjadi akan menggambarkan suatu kelompok secara berlebihan, bahkan dalam kondisi dan situasi tertentu stereotip dianggap sebagai penilaian yang tidak berimbang. Hal itu terjadi karena stereotip dianggap sebagai perilaku sentimen yang mendiskreditkan kelompok tertentu, dengan kecenderungan menilai terlebih dahulu tanpa melihat faktanya.
Akibat dari sentimen dan persepsi negatif yang terjadi, penderita gangguan mental lebih sering mendapatkan berbagai bentuk ketidakadilan. Salah satunya adalah Diskriminasi, sebuah tembok penghalang yang membuat penderita gangguan mental selalu merasa dikucilkan, disingkirkan, dan dikesampingkan.
Diskriminasi yang terjadi telah memangkas hak para penderita gangguan mental, seseorang yang mendapatkan stigma negatif tidak lagi memiliki perlakuan yang sama. Stigma negatif telah mengubah pandangan orang-orang dengan menanamkan pembedaan kesetaraan yang tidak dapat dibenarkan secara nalar. Bahkan diskriminasi tidak hanya terjadi kepada penderita gangguan mental, melainkan juga penyintas gangguan mental.
Sangat berat menjadi penderita dan penyintas gangguan mental, dengan adanya stigma-stigma negatif yang telah berkembang. Hidup tanpa stigma saja sudah menderita, apalagi disusupi dengan penilaian buruk yang menjatuhkan mental.