Jaman dahulu orang gemuk identik dengan sebutan orang yang memiliki kehidupan makmur, namun pada jaman sekarang orang gemuk sering diidentikan dengan berbagai penyakit. Iya, seseorang yang memiliki badan gemuk pasti memang beresiko mengalami berbagai penyakit yang menakutkan seperti masalah pencernaan, asma, diabetes, bahkan penyakit jantung. Tetapi selain masalah fisik, orang gemuk juga bisa mengalami masalah psikologis seperti depresi dan stress akibat tekanan sosial, stigma negatif, dan diskriminasi.
Bukan hanya penyandang disabilitas, bukan hanya orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ), bukan hanya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) saja yang merasakan stigma negatif dan diskriminasi. Orang yang memiliki tubuh gemuk juga seringkali mendapatkan diskriminasi, karena kondisi badannya yang dinilai buruk.
Salah satu bentuk diskriminasi yang dirasakan oleh orang yang berbadan gemuk adalah Fat-shaming. Istilah Fat-shaming biasanya berupa tindakan untuk memberikan kritikan terhadap kehidupan orang yang bertubuh gemuk. Bahkan bukan hanya mengkritik, orang yang melakukan Fat-shaming terkadang juga dinilai melecehkan mereka-mereka yang memiliki kelebihan berat badan.
Kritikan yang dilancarkan oleh seseorang yang melakukan Fat-shaming biasanya berbicara mengenai kebiasaan orang gemuk dalam mengontrol makanan dan kurangnya olahraga, mereka yang melancarkan kritik mencoba memotivasi orang gemuk untuk makan dengan porsi yang sedikit dan memperbanyak olahraga dengan tujuan menurunkan berat badan.
Namun yang terjadi, biasanya orang mengkritik dicampur adukan dengan sikap melecehkan kondisi mereka yang gemuk. Mereka yang mengkritik seringkali menggunakan bahan kritikan yang malah bersifat melecehkan, seperti menyamakan orang gemuk dengan hewan, menyamakan orang gemuk sebagai disabilitas, memberikan stigma bahwa orang gemuk lebih banyak yang mengalami resiko kematian daripada orang yang memiliki berat badan ideal, dan lain-lain.
Alih-alih membantu orang gemuk termotivasi untuk menurunkan berat badan, tindakan Fat-shaming malah menimbulkan banyak masalah bagi orang gemuk. Mereka bahkan mendapatkan banyak masalah psikologis, seperti kecemasan, kegelisahan, stress hingga depresi. Bukannya termotivasi, mereka justru akan selalu kepikiran dengan kondisinya yang dinilai tidak terkontrol.
Stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki badan gemuk, justru menimbulkan masalah dan trauma baru bagi mereka. Mereka malah akan lebih menjauh untuk memikirkan kondisinya, mereka juga akan menjauhi untuk kembali berolahraga. Bahkan mereka akan mau berolahraga jika berada ditempat yang mereka anggap aman dan tidak banyak manusia-manusia lain.
Pernahkan kalian melihat-lihat dan memperhatikan orang gemuk saat mereka berolahraga di sebuah taman? Pernahkan kalian melihat porsi makanan yang dipesan oleh orang gemuk di sebuah restoran? Nah, kondisi itulah yang biasanya membuat mereka merasa malu. Kalian pasti tidak beranggapan negatif, tapi biasanya orang gemuk memiliki kondisi yang membuat mereka tertekan dan tekanan itulah yang timbul dari pengaruh Fat-shaming.
Stigma negatif terkait berat badan adalah masalah yang harus diperhatikan secara serius. Stigma negatif mengenai orang gemuk justru akan membuat mereka canggung dan takut untuk mencari sebuah perawatan kesehatan. Dan pada akhirnya, hal itu malah membuat orang gemuk terjebak dalam banyak masalah.
Kerap kali, diskriminasi seperti Fat-shaming justru akan merusak kepercayaan diri orang yang memiliki tubuh gemuk. Dan ketika kepercayaan diri itu hancur, mereka pasti akan lebih susah untuk keluar dari zona nyamannya. Mereka jadi kurang damai dengan kondisi tubuhnya dan akan terus mencari kesalahan dalam diri mereka, bahkan yang bukan merupakan kesalahan akan mereka nilai juga sebagai kesalahan.
Diskriminasi tersebut, pada akhirnya akan mengancam kesehatan mental orang gemuk. Depresi, mereka akan memisahkan diri dan mengasingkan diri mereka. Stress, perasaan tertekan akibat sebuah tuntutan sosial dan dan mereka tidak bisa mengendalikan situasinya. Kecemasan, perasaan bersalah yang tidak terarah, apapun yang dilakukan akan dinilai salah karena perasaan cemas yang berlebihan.
Dan jika mereka tidak memiliki kondisi mental yang bagus untuk menyikapi ancaman kesehatan mental tersebut, terkadang malah akan memunculkan sebuah pikiran untuk melakukan bunuh diri.
Saat ini Fat-shaming justru banyak dilakukan di media sosial, orang-orang akan mempermalukan mereka yang berbadan gemuk secara online bukan lagi secara lisan saja. Bahkan, terdapat banyak iklan-iklan pengecil tubuh, yang melontarkan narasi yang berlebihan terhadap kondisi orang gemuk. Orang-orang memanfaatkan media sosial untuk pencapaian mereka yang menyalahi nilai sosial, hanya untuk sebuah achievement kemudian orang-orang tersebut merendahkan manusia lain yang berbeda dengannya.
Bukan hanya dari media sosial, parahnya Fat-shaming juga rentan terjadi di kalangan keluarga dan teman-teman mereka sendiri. Keluarga dan teman-teman orang gemuk biasanya akan memberikan tekanan-tekanan terhadap mereka dan akan memperhatikan setiap gerak-geriknya dalam suatu hal, entah itu saat mengambil makanan atau saat melakukan sebuah aktivitas olahraga.
"Kayaknya kamu tambah gendut ya?, Kayaknya kamu harus lebih memperketat dietmu ya?, Olahragamu jangan gitu, itu tidak membuatmu kurus, kamu tidak mau kurus?". Itu adalah beberapa hal, yang malah akan membuat orang gemuk tertekan dan kehilangan jati dirinya.
Stigma negatif tentang orang gemuk bahkan sudah menjurus ke banyak hal salahsatunya ranah pekerjaan. Orang gemuk dinilai sulit mendapatkan pekerjaan. Diskriminasi mengenai berat badan tidak hanya sekedar Fat-shaming atau Body-shaming, orang gemuk juga sulit memperoleh sebuah pekerjaan. Bahkan sudah ada penelitian yang mengatakan bahwa kesempatan kerja orang gemuk cenderung lebih rendah 27 % daripada orang yang memiliki tubuh ideal.
Alasanya banyak, mulai dari kurang cekatan, susah bergerak, tidak bisa mengontrol diri, hingga disebut pemalas. Penilaian tersebut adalah kesalahan besar, karena dalam kehidupan ini bentuk tubuh bukanlah sesuatu yang bisa di judge untuk menentukan kepribadian seseorang. Ada juga faktor yang dianggap sebagai pengganjal orang gemuk dalam memperoleh pekerjaan, yaitu "Dibutuhkan karyawan/karyawati dengan berat badan ideal atau menarik".
Bukan suatu hal yang lumrah, bahwa orang gemuk dianggap tidak menarik untuk berhubungan dengan klien atau orang lain dalam sebuah pekerjaan. Padahal, yang terpenting dalam pekerjaan bukanlah bentuk tubuh, melainkan semangat bekerja yang tinggi.
Pada intinya, Fat-shaming bukanlah kunci yang diharapkan oleh orang gemuk untuk memotivasi dirinya dalam memperbaiki tubuhnya. Adanya Fat-shaming justru membuat mereka tidak berubah dan malah membuat mereka makan lebih banyak lagi, karena sudah terlanjur dicap tidak berguna dan tidak dibutuhkan.
Dalam kondisi psikologis, adanya Fat-shaming justru akan membuat korbannya lebih buruk. Akibatnya bukan hanya kondisi fisiknya yang bermasalah, kesehatan mentalnya juga akan ikut bermasalah. Dan kesehatan mental seseorang bahkan lebih penting, karena mental yang sehat dapat menuntun diri untuk lebih berkembang dengan suasana hati yang baik.
Mengingatkan orang gemuk mengenai kondisinya, bukanlah sebuah kejahatan atau perbuatan negatif. Namun, gunakan cara-cara yang lebih positif untuk melakukan pendekatannya. Ajaklah mereka berolahraga tanpa harus memberi mereka target khusus, ajaklah mereka diet untuk alasan kesehatan dibandingkan dengan alasan menguruskan diri. Dan yang terpenting adalah tetap beri mereka empati, terima kondisi mereka apa adanya karena itu penting untuk menjaga kepercayaan diri orang gemuk. Hindari Fat-shaming, hindari diskriminasi oleh siapapun dan untuk siapapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H