Beberapa hari kedepan, seluruh muslim di dunia akan bertemu kembali dengan bulan yang penuh keberkahan, bulan Ramadhan. Bulan suci yang senantiasa menjadi penantian umat muslim yang selalu dijalani dengan sukacita, dan menjadi sebuah kegembiran untuk meraih pahala-pahala.
Persiapan demi persiapan banyak dilakukan untuk menyambut datangnya bulan yang penuh sukacita ini, seperti contohnya tradisi Megengan. Tradisi Megengan adalah tradisi yang selalu melekat di kehidupan bermasyarakat sebelum datangnya bulan puasa, terkhusus masyarakat di Suku Jawa. Tradisi ini banyak dijumpai di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lantas apa itu yang disebut dengan tradisi Megengan? dan apa yang membuat tradisi ini tetap eksis hingga masa kini. Tradisi Megengan adalah tradisi yang terdiri dari kata "megeng", yang dalam bahasa jawa berarti menahan. Yapp, kata itu menggambarkan nuansa bulan Ramadhan, bulan suci yang mengharuskan kita untuk menahan nafsu, amarah, godaan, dan makan-minum hingga waktu yang telah ditentukan.
Tradisi ini menjadi tradisi yang membuahkan kebiasaan yang berjalan turun temurun dan bahkan sudah menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat. Makna dari tradisi megengan ini adalah bentuk rasa selamat, karena bisa berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan dan rasa syukur agar tetap terjaga selama menjalani puasa.
Dalam kehidupan masyarakat jawa, bahkan tradisi ini telah menjadi alarm/pengingat yang menjadi pertanda datangnya bulan kebaikan. Megengan ini pertama kali dikenalkan oleh Walisongo, tokoh agama islam terkemuka di pulau jawa dan sekitarnya. Dengan mengakulturasi budaya jawa dengan budaya jawa, tradisi ini juga ikut mengantarkan pesan untuk menyebarkan ajaran islam di pulau jawa sehingga islam dapat diterima masyarakat luas. Jika pada masa lalu terdapat budaya untuk mengantarkan sesajen, maka para tokoh Walisongo berupaya menggantinya dengan mengantarkan makanan atau yang biasa dikenal oleh masyarakat jawa dengan istilah "sego berkat/nasi berkat".
Tradisi Megengan merupakan tradisi yang baik, dan tradisi yang bisa mempererat tali silaturahmi antar tetangga dan saudara. Dengan membagikan makanan kepada mereka, berarti kita juga membagikan nikmat kita kepada mereka. Jadi biasanya dalam kehidupan dikampung, kita selalu mendapatkan timbal balik dari apa yang kita berikan, jadi seperti kita saling memberi dan bertukar makanan.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang sopan, santun, dan memiliki rasa yang tidak enakan. Hal Itu terkadang yang menyebabkan tradisi megengan itu menjadi urgensi bagi beberapa masyarakat. Tradisi ini lantas menjadi keharusan dan desakan yang timbul dalam diri manusia, meskipun memang bukan suatu kewajiban atau keharusan. Contohnya, jika kita mendapatkan makanan/berkat dari tetangga dan kita belum mengirim kembali sebagai bentuk timbal balik, maka muncul rasa cemas, dan rasa tidak enak hati. Dan diantara kita pasti langsung memikirkan bagaimana caranya untuk membalas kebaikan dari pengirim makanan tersebut.
Pada akhirnya, beberapa diantara mereka pasti mencari cara untuk mengada-adakan, seperti mengambil uang tabungan, atau bahkan sampai berhutang. Rasa tidak enak dalam kehidupan bermasyarakat semacam ini masih melekat, karena sifat empati yang tinggi disertai hati yang baik.
Tradisi ini bukanlah kewajiban, bukan juga keharusan. Bahkan dalam benak pengirim makanan, pasti tidak tersimpan rasa untuk mengharapkan timbal balik dari apa yang mereka berikan. Dengan maksud, pemberian ini hanya sebagai simbol mempererat hubungan sosial dan ajang silaturahmi sebelum datangnya bulan baik.
Kita tidak perlu khawatir dan cemas, bahkan tidak enak hati, jika kita tidak bisa mengembalikan apa yang diberikan oleh pemberi. "Waduh, bu A sama bu B, kemarin ngirim makanan berkat megengan ke sini, masa saya ga mengembalikan ya? Gimana ya? Jadi ga enak kalo ga ngembaliin". Itu adalah salah satu contoh ketidak enak hatian yang timbul dibenak beberapa dari mereka.
Tidak perlu memikirkan dalam-dalam untuk memberikan timbal balik terhadap sesuatu yang kita dapatkan. Jika kita kurang kuat secara ekonomi, maka timbal baik itu bisa dikembalikan dengan cara lain kok, misalnya seperti menjadi tetangga yang baik, jika mereka membutuhkan bantuan fisik dan kita mampu untuk membantunya, maka bantulah. Nah, itu juga termasuk sebuah bentuk timbal balik kok. Timbal balik itu bukan soal makanan, bukan soal materi, tapi juga bisa melalui perasaan dan bantuan fisik.
Yang harus kita petik dan menjadi pedoman hidup bermasyarakat dari tradisi Megengan adalah bagaimana kita bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT, sehingga kita tetap bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan dari tahun ke tahun. Bukan soal memberi, bukan soal gengsi, melainkan soal kesukacitaan kita sebagai umat muslim yang rindu bulan Ramadhan. Dan ya, intinya, jika kita tidak bisa memberikan apa yang diberikan oleh orang lain, kita bisa memberinya dilain waktu kok. Jalani hidup dengan baik dengan menghibur, rasa mencintai, dan tolong menolong kepada orang disekitar kita juga bisa menjadi usaha kita menjadi masyarakat yang baik kok.
*****
Tulisan ini hanya opini dan pendapat serta pengalaman pribadi dari penulis, yang juga pernah dirasakan oleh penulis, karena dikeluarga penulis juga pernah mengalami sifat ketidak enakan seperti yang penulis gambarkan diatas.
(Ahmad Edi Prianto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H