Penyair Indonesia yang paling dikenal adalah Chairil Anwar. Menurut Sapardi Djoko Damono, siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah pasti mengenal karya-karya pelopor angkatan 45 ini. Penyair yang dijuluki “binatang jalang ini” juga dikenal karena hidupnya yang eksentrik.
Dalam Puisi dan Prosa Chairil Anwar. Derai-derai Cemara (2000), Chairil berucap pada Hafsah, perempuan yang pernah dinikahinya, “Tapi kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,”. Istrinya itu, berasal dari Cicurug, Sukabumi. Mereka bertemu di Karawang, namun, bercerai saat dua tahun usia perkawinan dengan dikarunia Evawani Allisa Chairil Anwar.
Chairil meninggal karena mengindap penyakit paru-paru pada usia 26 tahun 9 bulan, padahal ia pernah berkata “aku ingin hidup seribu tahun lagi” (sajak “Aku”). Ia meninggal 28 april 1949 dan dimakamkan di karet, seperti dikatakannya, “di karet, di karet (daerah y.a.d) sampai juga deru angin” (sajak “ Yang Terampas dan Yang Putus”).
Hari kematiannya tersebut sempat diperingati sebagai “Hari Sastra Nasional” sekitar tahun 1950-an sedangkan hari lahirnya, 26 Juli dideklarasikan oleh presiden penyair indonesia, Sutardji Calzoum Bahri dan beberapa penyair lainnya sebagai “Hari Puisi Indonesia” pada 22 November 2012 di Pekanbaru.
Usia yang singkat untuk seseorang yang dikenal memiliki vitalitas seperti sajak-sajak, “Aku”, “Catetan tahun 1946”, “Kepada Kawan” “Perjanjian dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, dan Krawang Bekasi”. Sedangkan usia kepenyairan Chairil jauh lebih singkat. Ia menulis pada usia dua puluh dua tahun.
Karya awalnya itu itu berjudul “Nisan” yang ciptakan karena kematian neneknya. Sajaknya itu berbunyi,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutau setinggi itu di atas debu
dan duka maha tuan bertakta.
Peristiwa kematian tersebut menurut Arief Budiman menjadikan Chairil mencari jawaban-jawaban tentang kematian dan tujuan hidup dalam sajak-sajak berikutnya.
Meski singkat, ia menghasilkan 70 sajak asli, 4 saduran, 10 terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan. Beberapa karyanya banyak dibicarakan karena menginspirasi dan mengilhami tidak hanya para penyair tetapi semua orang yang membaca karya-karyanya.
Sajak-sajaknya itu tidak hanya ditulis dalam bentuk yang indah tetapi memaksimalkan potensi bahasa Indonesia sehingga menjadi bahasa yang penuh tenaga dan kekuatan. Kata-kata yang dimunculkannya mampu menimbulkan imajinasi yang kuat dan membangkitkan kesan dan suasana yang berbeda-beda.
Ungkapan “binatang jalang”, “hidup hanya menunda kekalahan”, “adakah jauh perjalanan ini? Cuma selenggang”, “sedang dengan cermin aku enggan berbagi”, “aku tidak tahu apa nasib waktu”, dan lain-lain menjadi kata-kata bijak yang dihapal para penikmatnya.
Sajak-sajaknya itu tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, tetapi dibicarakan oleh sarjana-sarjana baik dalam bentuk esai, kritik, ulasan, atau penelitian-penelitian sastra.
Ujung kepenyairannya ditutup sajak indah yang sering dibacakan Chairil sambil berjalan “Derai-derai Cemara”.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari jadi akan malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah lama bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sampai akhirnya kita menyerah
Sajak ini ditulis 1949, pada saat itu Chairil merasa kematian makin dekat. Menurut H.B. Jassin, sahabat, pengkritik sekaligus pembela Chairil yang usianya lebih panjang daripadanya menjelaskan, “tiba-tiba ia senang dipotret dan dibuatkan lukisan dirinya oleh teman-temanya”. Hafsah bercerita, “dia seperti tahu bahwa masa meninggalnya sudah dekat. Dia sering membicarakan soal kematian ini.
Dia bilang, kalau aku mati tanamkan mawar dikuburku. Kau cantik dan muda. Kalau aku mati kau jadi janda muda”. Chairil saat itu mengidap beberapa penyakit, sementara hidupnya tidak teratur, jorok, sering keluyuran, dan tidak memiliki penghasilan layaknya “binatang jalang’ yang menjadi identitas lainya.
“Derai-derai Cemara” menggambarkan ketenangan dan kedewasaan yang sudah dicapai Chairil baik sebagai penyair maupun manusia biasa. Ia menemukan konvensi yang sebelumnya menjadi gejolak dalam hidupnya.
Konvensi diartikan sebagai aturan sosial yang sudah disepakati masyarakat. Kemudian, masuk ke dalam sastra menyebabkan timbulnya aturan yang harus dipenuhi oleh pengarang.
Setiap genre sastra memiliki konvensi masing-masing. Konvensi sajak meliputi struktur fisik : diksi, imajinasi, simbolisme, nuansa dan warna, irama, persajakan, pembarisan, dan pembaitan. Sedangkan struktur batin meliputi tema dan amanat, nada dan suasana, dan jaringan makna.
Chairil dalam sajak ini menyampaikan sikap yang sudah diendap untuk menerima proses perubahan dalam dirinya yang memisahkan dari berbagai gejolak masa lalu. Ia telah mencapai kematangan emosional yang tinggi, berbenah, dan bersiap untuk menjemput kematian. Dia berkata, “aku sekarang orangnya bisa tahan/sudah beberapa waktu bukan kanak lagi”. A. Teeuw, seorang pakar Sastra Indoesia modern menjelaskan, bagi Chairil maut datang mendekat dan mengkhianat, mendekati dan mengkhianatinya ketika dia berumur 27 tahun, dan enam tahun sebelumnya dia sudah tahu apa ayang akan dialaminya.
Pada saat itu, kematian bukan lagi menjadi obsesinya, melainkan sebagai sesuatu kenyataan yang sederhana, sesuatu yang biasa. Kematian seperti halnya penderitaan, dan kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diterima dalam kehidupan yang masih menjadi misteri. Hidup adalah misteri yang harus terus dicari maknanya meskipun mungkin tidak akan mendapat jawabanya. Karena hidup, “hanya menunda kekalahan” sedangkan manusia, bagaimanapun akan pasti meninggal, “sebelum pada akhirnya kita akan menyerah”.
Kematangan Chairil sebagai penyair ditampakkan pada bentuk atau tipografinya. Bentuk sajaknya itu menggunakan bentuk konvensional yang mengikuti sajak-sajak lama. Tipografi yang digunakan menggunakan bentuk lazim sajak lama seperti halnya pantun atau syair, yang banyak digunakan penyair-penyair angkatan sebelumnya terutama pujangga baru.
Padahal banyak sajak Chairil menggunakan bentuk-bentuk bebas seperti, “1943” “Ajakan” , “Pelarian” , “Ina Mia” dan lainnya. Di antara sajak-sajaknya tersebut sajak “1943” adalah sajak bebas yang paling meninggalkan konvensi. Sajak berlatar zaman Jepang tersebut disusun dalam bentuk yang ektrim seperti beberapa sajak lainnya.
Dalam penulisan sajak, Chairil banyak melakukan pemberontakan terhadap konvensi terutama dalam bentuk dan isi. Sikapnya yang individualis, meledak-ledak, dan asosial tampak pada pilihan kata dalam sajak-sajaknya seperti, “kalau kau mau kuterima kau kembali/untukku sendiri tapi/sedang dengan cermin aku enggan berbagi” (sajak “Penerimaan”), “kalau sampai waktuku/ku mau tak seorang’kan merayu/tidak juga kau (sajak “Aku”), dan “orang ngomong, anjing menggonggong” (sajak “Kesabaran”).
Namun, sikapnya yang selalu memberontak terhadap konvesi tidak berlangsung lama. Hanya butuh enam tahun sejak menulis sajak “Nisan” (1942), ia mendapatkan kematangan dalam bersajak seperti tampak pada sajak itu.
Sajak itu disusun dalam bentuk kwatrin (sajak 4 baris) yang mengingat pada sajak-sajak lama. Kwatrin yang terdiri 3 bait tersebut berisi larik-larik yang berima a-b-a-b dengan citraan atau pengimajian alam yang yang menampilkan ketenangan dan kedamaian, “cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan malam”.
Demikian berderai-derai Chairil menemukan konvensi baik sebagai penyair maupun sebagai manusia biasa. Sajak itu menurut Sapardi, merupakan puncak kepenyairannya.
Hidupnya yang senantiasa gejolak karena keterasingan dan kesepian pada akhirnya menemukan kedamaian. Ia tidak hanya mampu menghadapi kematian tetapi iklas menanti kematian seperti halnya neneknya, “keridhaanmu menerima segala tiba” (sajak “Nisan”).
Perjalanan hidupnya yang tidak panjang seperti pada kutipan, “adakah jauh perjalanan ini?/cuma selenggang— coba kalau bisa lebih!” (sajak “dua sajak buat Basuki Resobowo”) membawa banyak reputasi untuk dikenang dengan banyak arti seperti ucapannya “sekali berarti/ sudah itu mati” (sajak “Diponegoro”).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H