Mohon tunggu...
Ahmad Bahtiar
Ahmad Bahtiar Mohon Tunggu... Dosen - https://www.kompasiana.com/ahmadbahtiar0590

Peminat bahasa dan sastra Indonesia serta pengajarannya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Chairil Anwar : Dari "Nisan" hingga "Derai-derai Cemara"

11 Oktober 2020   03:00 Diperbarui: 1 November 2020   20:49 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Konvensi diartikan sebagai aturan sosial yang sudah disepakati masyarakat. Kemudian, masuk ke dalam sastra menyebabkan timbulnya aturan yang harus dipenuhi oleh pengarang. 

Setiap genre sastra memiliki konvensi masing-masing. Konvensi sajak meliputi struktur fisik : diksi, imajinasi, simbolisme, nuansa dan warna, irama, persajakan, pembarisan, dan pembaitan. Sedangkan struktur batin meliputi tema dan amanat, nada dan suasana,  dan jaringan makna.

 Chairil  dalam sajak ini  menyampaikan sikap yang sudah diendap untuk menerima proses perubahan dalam dirinya yang memisahkan dari berbagai gejolak masa lalu. Ia telah mencapai kematangan emosional yang tinggi,  berbenah,  dan bersiap untuk menjemput kematian.  Dia berkata, “aku  sekarang orangnya bisa tahan/sudah beberapa waktu bukan kanak lagi”. A. Teeuw, seorang pakar Sastra Indoesia modern menjelaskan, bagi Chairil maut datang mendekat dan mengkhianat, mendekati dan mengkhianatinya ketika dia berumur 27 tahun, dan enam tahun sebelumnya dia sudah tahu apa ayang akan dialaminya.

Pada saat itu, kematian bukan lagi menjadi obsesinya, melainkan  sebagai sesuatu kenyataan yang sederhana, sesuatu yang biasa. Kematian seperti halnya penderitaan, dan kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diterima dalam kehidupan  yang masih menjadi misteri. Hidup adalah misteri yang harus  terus dicari maknanya meskipun mungkin tidak akan  mendapat jawabanya. Karena hidup, “hanya menunda kekalahan” sedangkan manusia,  bagaimanapun akan pasti meninggal,  “sebelum pada akhirnya kita akan menyerah”.

Kematangan Chairil sebagai penyair ditampakkan pada bentuk atau tipografinya. Bentuk sajaknya itu menggunakan  bentuk konvensional yang mengikuti sajak-sajak lama. Tipografi yang digunakan menggunakan bentuk lazim sajak lama seperti halnya pantun atau syair, yang banyak digunakan penyair-penyair angkatan sebelumnya terutama pujangga baru.

Padahal banyak sajak Chairil menggunakan bentuk-bentuk bebas seperti, “1943” “Ajakan” , “Pelarian” , “Ina Mia” dan lainnya.  Di antara  sajak-sajaknya tersebut sajak  “1943”  adalah sajak bebas yang paling meninggalkan konvensi. Sajak berlatar zaman Jepang tersebut disusun dalam bentuk yang ektrim seperti beberapa sajak lainnya. 

Dalam  penulisan sajak, Chairil  banyak melakukan pemberontakan terhadap konvensi terutama dalam bentuk dan isi. Sikapnya yang individualis, meledak-ledak,  dan asosial  tampak pada pilihan kata dalam sajak-sajaknya seperti, “kalau kau mau kuterima kau kembali/untukku sendiri tapi/sedang dengan cermin aku enggan berbagi” (sajak “Penerimaan”), “kalau sampai waktuku/ku mau tak seorang’kan merayu/tidak juga kau (sajak “Aku”),  dan “orang ngomong, anjing menggonggong” (sajak “Kesabaran”).

Namun, sikapnya yang selalu memberontak terhadap konvesi tidak berlangsung lama. Hanya butuh enam tahun sejak menulis sajak “Nisan” (1942), ia mendapatkan kematangan dalam bersajak seperti tampak pada sajak itu. 

Sajak itu disusun dalam bentuk kwatrin (sajak 4 baris) yang mengingat pada sajak-sajak lama. Kwatrin yang terdiri 3 bait tersebut berisi larik-larik yang berima a-b-a-b  dengan citraan atau  pengimajian alam yang yang menampilkan ketenangan dan kedamaian, “cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan malam”.

Demikian berderai-derai Chairil menemukan konvensi baik sebagai penyair maupun sebagai manusia biasa. Sajak itu menurut Sapardi, merupakan puncak kepenyairannya.  

Hidupnya yang senantiasa gejolak karena keterasingan dan kesepian pada akhirnya menemukan kedamaian. Ia  tidak hanya mampu menghadapi kematian tetapi iklas menanti kematian seperti halnya neneknya,  “keridhaanmu menerima segala tiba” (sajak “Nisan”). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun