Konvensi diartikan sebagai aturan sosial yang sudah disepakati masyarakat. Kemudian, masuk ke dalam sastra menyebabkan timbulnya aturan yang harus dipenuhi oleh pengarang.
Setiap genre sastra memiliki konvensi masing-masing. Konvensi sajak meliputi struktur fisik : diksi, imajinasi, simbolisme, nuansa dan warna, irama, persajakan, pembarisan, dan pembaitan. Sedangkan struktur batin meliputi tema dan amanat, nada dan suasana, dan jaringan makna.
Chairil dalam sajak ini menyampaikan sikap yang sudah diendap untuk menerima proses perubahan dalam dirinya yang memisahkan dari berbagai gejolak masa lalu. Ia telah mencapai kematangan emosional yang tinggi, berbenah, dan bersiap untuk menjemput kematian. Dia berkata, “aku sekarang orangnya bisa tahan/sudah beberapa waktu bukan kanak lagi”. A. Teeuw, seorang pakar Sastra Indoesia modern menjelaskan, bagi Chairil maut datang mendekat dan mengkhianat, mendekati dan mengkhianatinya ketika dia berumur 27 tahun, dan enam tahun sebelumnya dia sudah tahu apa ayang akan dialaminya.
Pada saat itu, kematian bukan lagi menjadi obsesinya, melainkan sebagai sesuatu kenyataan yang sederhana, sesuatu yang biasa. Kematian seperti halnya penderitaan, dan kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diterima dalam kehidupan yang masih menjadi misteri. Hidup adalah misteri yang harus terus dicari maknanya meskipun mungkin tidak akan mendapat jawabanya. Karena hidup, “hanya menunda kekalahan” sedangkan manusia, bagaimanapun akan pasti meninggal, “sebelum pada akhirnya kita akan menyerah”.
Kematangan Chairil sebagai penyair ditampakkan pada bentuk atau tipografinya. Bentuk sajaknya itu menggunakan bentuk konvensional yang mengikuti sajak-sajak lama. Tipografi yang digunakan menggunakan bentuk lazim sajak lama seperti halnya pantun atau syair, yang banyak digunakan penyair-penyair angkatan sebelumnya terutama pujangga baru.
Padahal banyak sajak Chairil menggunakan bentuk-bentuk bebas seperti, “1943” “Ajakan” , “Pelarian” , “Ina Mia” dan lainnya. Di antara sajak-sajaknya tersebut sajak “1943” adalah sajak bebas yang paling meninggalkan konvensi. Sajak berlatar zaman Jepang tersebut disusun dalam bentuk yang ektrim seperti beberapa sajak lainnya.
Dalam penulisan sajak, Chairil banyak melakukan pemberontakan terhadap konvensi terutama dalam bentuk dan isi. Sikapnya yang individualis, meledak-ledak, dan asosial tampak pada pilihan kata dalam sajak-sajaknya seperti, “kalau kau mau kuterima kau kembali/untukku sendiri tapi/sedang dengan cermin aku enggan berbagi” (sajak “Penerimaan”), “kalau sampai waktuku/ku mau tak seorang’kan merayu/tidak juga kau (sajak “Aku”), dan “orang ngomong, anjing menggonggong” (sajak “Kesabaran”).
Namun, sikapnya yang selalu memberontak terhadap konvesi tidak berlangsung lama. Hanya butuh enam tahun sejak menulis sajak “Nisan” (1942), ia mendapatkan kematangan dalam bersajak seperti tampak pada sajak itu.
Sajak itu disusun dalam bentuk kwatrin (sajak 4 baris) yang mengingat pada sajak-sajak lama. Kwatrin yang terdiri 3 bait tersebut berisi larik-larik yang berima a-b-a-b dengan citraan atau pengimajian alam yang yang menampilkan ketenangan dan kedamaian, “cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan malam”.
Demikian berderai-derai Chairil menemukan konvensi baik sebagai penyair maupun sebagai manusia biasa. Sajak itu menurut Sapardi, merupakan puncak kepenyairannya.
Hidupnya yang senantiasa gejolak karena keterasingan dan kesepian pada akhirnya menemukan kedamaian. Ia tidak hanya mampu menghadapi kematian tetapi iklas menanti kematian seperti halnya neneknya, “keridhaanmu menerima segala tiba” (sajak “Nisan”).