Meski singkat, ia menghasilkan 70 sajak asli, 4 saduran, 10 terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan. Beberapa karyanya banyak dibicarakan karena menginspirasi dan mengilhami tidak hanya para penyair tetapi semua orang yang membaca karya-karyanya.
Sajak-sajaknya itu tidak hanya ditulis dalam bentuk yang indah tetapi memaksimalkan potensi bahasa Indonesia sehingga menjadi bahasa yang penuh tenaga dan kekuatan. Kata-kata yang dimunculkannya mampu menimbulkan imajinasi yang kuat dan membangkitkan kesan dan suasana yang berbeda-beda.
Ungkapan “binatang jalang”, “hidup hanya menunda kekalahan”, “adakah jauh perjalanan ini? Cuma selenggang”, “sedang dengan cermin aku enggan berbagi”, “aku tidak tahu apa nasib waktu”, dan lain-lain menjadi kata-kata bijak yang dihapal para penikmatnya.
Sajak-sajaknya itu tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, tetapi dibicarakan oleh sarjana-sarjana baik dalam bentuk esai, kritik, ulasan, atau penelitian-penelitian sastra.
Ujung kepenyairannya ditutup sajak indah yang sering dibacakan Chairil sambil berjalan “Derai-derai Cemara”.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari jadi akan malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan