Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga,
campakkanlah aku darinya
Tetapi , jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata
Janganlah engkau enggan memperlihatkan keindahan-Mu yang abadi padaku
Tak butuh apa-apa untuk memahaminya. Cinta tak perlu dipahami karena cinta bukanlah esensi yang dapat diuraikan dari komposisi genus dan diferensia. Cinta tidak bisa dijelaskan kandungannya, tidak terpasung oleh terma kata. Berharap memahaminya hanya akan menjerumuskan ke dalam jurang ketidakpahaman dan tentunya kebingungan. “Cinta tidak bisa diartikan dengan jelas, bahkan bila diartikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah cinta itu sendiri,” ujar Ibnu al-Qayyim al-Jauziah.
Seorang penyair bergumam;
Setiap perkataanku berbicara tentang cinta
Tatkala memandanginya, daku tersipu malu
Bahasa mulut memang bisa menerangkan
Tapi bahasa cinta terang tanpa kata-kata
Jelaslah sudah, cinta tidak membutuhkan pemahaman, dia hanya ingin diperlakukan sebagai cinta, bukan sebagai definisi yang akhirnya menyebabkan cinta lari tanpa arah, tanpa landasan, tanpa gairah, tanpa apa-apa. Dan, masya Allah, jika cinta itu digunakan sebagai simbol dari seksualitas—sebuah rasa yang, katanya, merupakan gambaran dari cinta sejati yang berupa kepasrahan kepada pasangan dengan kedok libido.