Prolog
Semenanjung Arab bukanlah daerah luar biasa. Semenanjung ini dianggap sebagai dunia ‘luar’ oleh bangsa Eropa dan sekitarnya. Bagaimana tidak, kondisi geografis yang buruk dan tidak menguntungkan sama sekali yang pada awalnya hanyalah bagian dari gurun Sahara yang luas itu (yang kini dipisahkan oelh lembah Nil dan Laut Merah). Kondisi cuaca pun demikian, Semenanjung Arab merupakan daerah terkering dan terpanas dari daerah-daerah sekitarnya.
Di dataran Hijaz saja dimana Islam lahir, musim kering yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih merupakan hal yang lumrah. Menurut para ahli geologi, di sebelah utara Hijaz, oasis yang terpencil yang paling besar luasnya hanya 17 km2, merupakan sumber pendukung kahidupan satu-satunya bagi penduduk sekitar. Tentu dari kondisi ini tidak ada bangsa di sekitarnya yang tertarik seperti Persia dan Romawi apalagi menjajahnya.
Kondisi masyarakatnya pun tidak ada beda. Hal yang paling dominan yang terjadi ketika masa jahiliah tersebut adalah saling ‘sikut-menyikut’ antar suku untuk memperoleh pengakuan sosial untuk menjadi suku terpandang dan terhormat dan ditakuti. Hal itu menjadikan perang antar suku menjadi suatu keniscayaan bahkan ‘solusi’. Salah satu fenomena terpenting yang dimunculkan dalam hal relasi antar-suku di kawasan Semenanjung Arab adalah maraknya pembegalan, atau perompakan terhadap kafilah, atau perkemahan suku lain. Istilah Ghazw (serbuan kilat, atau razia) yang dipandang sebagai aksi terorganisir para ‘preman’ Arab dibentuk berdasarkan kondisi sosial-ekonomi kehidupan gurun. Gurun pasir dianggap sebagai lahan peperangan yang menjadi manifestasi kondisi mental dan moral yang sangat kronis yang menjadikan daerah Semenanjung Arab menjadi daerah ‘panas’ dan rawan konflik.
Selain krisis moral yang akut, masyarakat di daerah ini juga krisis akan pendidikan. Kebodohan melanda dengan sangat hebatnya hingga tidak aneh jika ada seorang ayah mengubur hidup-hidup anak perempuannya hanya gara-gara mitos yang mengatakan bahwa perempuan sumber bencana dan kesialan. Mayoritas masyarakat waktu itu enggan untuk memberi pemahaman tentang ilmu alih-alih moral. Mereka lebih senang bila anak laki-lakinya menjadi kesatria di medan perang atau di medan begal. Konon, waktu itu hanya ada 17 orang dari suku Quraisy yang bisa membaca dan menulis. Kegiatan belajar-mengajar hanya dilakukan orang-orang yang mengajar secara sukarela. Maklum jika dulu mereka tidak tahu tentang tatacara bersosial dengan baik. Fanatisme kesukuan adalah motivasi utama yang melatarbelakangi aksi-aksi mereka.
Ketika Islam Datang
Jazirah Arab yang kering itu pun berubah. Semenanjung ini melahirkan bangsa yang beradab dan disegani oleh dunia. Dari daerah ini pula lahirlah para penakluk yang berkarakter yang menaklukkan hampir sebagian besar wilayah dunia, melahirkan agama—Islam—yang dianut oleh sekitar 450 juta orang yang mewakili hampir semua ras di berbagai kawasan. Satu dari dari delapan orang di dunia ini adalah pengikut Nabi Muhammad saw.. Seruan azan berkumandang lima kali sehari semalam mengitari bagian terbesar dari bumi ini.
Bangsa Arab kemudian dikenal dengan bangsa penakluk yang masyhur dengan keluhuran akhlaknya. Bangsa Arab menjadi penguasa kerajaan yang wilayahnya membentang dari wilayah lautan Atlantik hingga perbatasan Cina dan masuk ke pelosok-pelosok di Asia Tenggara, sebuah kekuasaan yang melebihi kekuasaan Romawi di masa kejayannya.
Tidak hanya membangun kerajaan, bangsa Arab juga membangun kebuduayaan yang bertransformasi melalui bahasa mereka yang khas, bahasa Arab. Bahasa Arab kini menjadi alat komunikasi bagi seratus juta orang. Pada abad pertengahan, selama ratusan tahun bahasa Arab merupakan bahasa ilmu pengetahuan, budaya, dan pemikiran di seluruh dunia yang beradab. Pada kurun abad 9 hingga abaf 12, banyak karya lahir dari berbagai disiplin ilmu baik filsafat, kedokteran, sejarah, agama, astronomi, ekonomi, sosiologi, sains, hingga geografi ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Bahkan ketika Eropa mengalami masa kegelapan yang di dalamnya terdapat kesengsaraan, kemiskinan, kebodohan, bangsa Arab menjadi bangsa berpengaruh dan disegani oleh bangsa-bangsa lain dengan kemakmuran rakyatnya hingga kekayaan negerinya.
Dari kenyataan itulah muncullah pertanyaan dari sebuah keniscayaan, apa yang menyebabkan bangsa Arab berubah? Tentu saja jawabanya adalah Rasulullah saw.. Nabi Muhammad saw. adalah pembaharu sekaligus pembawa gerbong peradaban yang agung itu. Semenjak kedatangannya Rasulullah saw. mendobrak tradisi yang memasung masyarakat waktu itu dan mengubahnya menjadi tradisi yang kental dengan ruh ajaran Islam. Berbagai cara untuk mengubah dataran jazirah Arab yang kering dan tadus itu, baik dari sisi geografis maupun moral dengan dakwah langsung atau tidak langsung, sosial-politik, militer, dan pendidikan. Yang terakhir inilah yang menjadi perhatian beliau dan diteruskan oleh generasi setelah beliau. Memang pada masa-masa awal hal yang paling diperhatikan oleh Rasulullah saw. adalah pendidikan. Tidak hanya memperhatikannya Rasulullah saw. juga mendorong umatnya untuk terus belajar.
Kearifan beliau dalam masalah pendidikan tercrmin dalam peristiwa tawanan perang badar. Dalam perang perdana tersebut beliau menawan banyak tawanan perang. Dengan kebijaksanannya beliau memberi pilihan kepada para tawanan tersebut yatu mereka bisa bebas dengan mambayar tebusan atau mengajar baca-tulis kepada masyarakat Madinah. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang strategis untuk mempercepat transformasi ilmu di kalangan umat Islam. Karena mafhum adanya masyarakat pada masa awal yang masuk Islam mayoritas dari kalangan orang-orang miskin, bekas budak, dan golongan lemah lainnya. Mungkin karena faktor ekonomi dan sosial mereka , akses terhadap dunia pendidikan menjadi lemah pula.
Pentingnya akan pendidikan terbukti dengan turunnya wahyu pertama yang disampaikan kepada beliau yang menyuruh beliau membaca, iqra’. Selain menyuruh untuk membaca, wahyu ini juga mengandung suruhan belajar mengenali Allah swt.. memahami fenomena alam serta mengenali diri yang merangkumi prinsip-prinsip aqidah, ilmu, dan amal. Ketiga prinsip ini merupakan falsafah primordial pendidikan Islam. Dalam Tafsîr ibnu Kastîr, disebutkan bahwa selain sebagai wahyu pertama yang menjadi rahmat kepada umat Islam, ayat ini juga menjadi anugerah Allah swt. untuk mengajarkan sesuatu yang tidak diketahui oleh umat manusia, memuliakan dan menempatkannya ke derajad yang tinggi dengan ilmu.
Di masa Rasulullah saw. masjid adalah sentra tranformasi ilmu yang fundamental yang selain aktivitas social, politik dan lainnya. Maka Rasulullah saw. menjadi masjidkan Nabawi sebagai pusat penyampain ilmu pertama. Di masjid ini terjadi tarsnfer ilmu pengetahun antar umat muslimin terutama pengajaran agama Islam. Rasulullah saw. terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan ini. Ketika Rasul menyampaikan ilmu, hadir para sahabat yang siap menerima ilmu dari beliau. Mereka akan belajar banyak hikmah darinya dan mendengarkan ayat-ayat al-Quran yang dibacakan beliau. Ketika Rasulullah saw. tidak bersama mereka, para sahabat senior menyampaikan pelajaran yang telah mereka dengar terlebih dahulu.
Ada kisah masyhur yang mencerminkan karakter pencari ilmu yang sungguh-sungguh dan yang setengah-setengah bahkan yang enggan untuk mencari ilmu. Suatu hari Rasulullah saw. duduk di masjid menyampaikan pengajian kepada sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba ada tiga orang laki-laki datang. Keduanya bergabung dengan majelis Rasulullah saw. seraya mengucapkan salam, yang pertama ketika melihat ada tampat duduk dalam pengajian tersebut ia duduk dan mengikutinya dan yang kedua duduk dengan malu-malu di belakangnya. Adapun yang ketiga pergi keluar. Ketika Rasulullah saw. selesai menyampaikan pengajian, beliau bersabda: Tahukah kalian tentang kabar tiga orang yang bergabung tadi, bahwa yang pertama telah mendekat kepada Allah swt. maka Allah swt. mendekatkannya denganNya. Adapun yang kedua dia telah bersikap malu-malu kepada Allah swt., maka Allah swt.pun besikap malau-malu kepadanya, dan yang terakhir dia telah berpaling dari Allah swt., maka Allah swt. pun berpaling darinya.[1]
Salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan pendidikan Rasulullah saw. adalah kerena beliau menjadikan dirinya sebagai teladan bagi umatnya. Rasulullah saw.adalah al-Quran yang hidup. Dalam diri Rasulullah saw. tercermin semua ajaran yang ada dalam al-Quran yang diaplikasikan dalam bentuk nyata. Beliau adalah pelaksana pertama semua perintah Allah I dan meninggalkan semua laranganNya. Oleh karena itu para sahabat dimudahkan dalam mengamalkan semua apa-apa yang diajarkan oleh beliau.
Dalam sistem pendidikan Rasulullah saw. tidak mengeluarkan pengakuan kelulusan dengan adanya ijazah atau gelar. Sistem pendidikan beliau pula tidak ada indeks prestasi atau nilai akumulatif sebagai faktor naik tidaknya seorang murid. Namun tolok ukur dari nilai tertinggi dalam sistem pendidikan beliau adalah ketakwaan kepada Allah swt. Ukuran takwa terletak pada akhlak dan amal shaleh yang dilakukan oleh masing-masing sahabat. Dengan adanya sistem pendidikan seperti itu, lulusan dari metode pendidikan beliau adalah orang yang langsung mengamalkan ajarannya, beramal dengan ilmu yang diperoleh karena Allah swt.
Media Transformasi Ilmu di Masa Rasulullah saw.
- Dar al-Arqam
Rasulullah saw. menggunakan rumah Arqam bin Abi Arqam di al-Safa sebagai tempat pertemuan dan pengajaran. Jumlah umat Islam yang hadir pada masa-masa awal masih sangat minim, tapi seiring perkembangan waktu mereka bertambah hingga 38 orang yang terdiri dari golongan bangsawan Quraisy, pedagang, dan hamba sahaya. Di Dar al-Arqam ini pula Rasulullah saw. mengajarkan wahyu yang diterimanya kepada umat Islam. Beliau membimbing mereka menghafal, menghayati, dan mengamalkan ayat-ayat suci yang diturunkan kepadanya.[2]
- Masjid
Selain sebagai tempat ibadah dan tempat penyeselaian permasalah umat, masjid juga difungsikan sebagai media penyampai ilmu sekaligus madrasah bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu. Di masjid Rasulullah saw. mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halakah di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari.[3]
- Suffah
Al-Suffah merupakan ruang atau bangunan yang bersambung dengan masjid. Suffah juga bisa dikatakan sebagai sekolah kerena kegiatan pengajaran dan pembelajaran dilakukan secara teratur dan sistematik. Contohnya Masjid Nabawi yang mempunyai suffah yang difungsikan sebagai majelis ilmu. Lembaga ini menjadi semcam tempat tinggal bagi sahabat yang tidak atau belum mempunyai tempat tinggal tetap. Sahabat yang tinggal di suffah disebut Ahl al-Suffah.
- Kuttab
Lembaga ini didirikan oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam yang bertujuan untuk memberi pendidikan kepada anak-anak. Namun lembaga ini tidak mendapat perhatian baik dari masyarakat karena kesadaran mereka terhadap ilmu masih sangat minim. Di lembaga ini guru-guru mengajar dengan sukarela tanpa dibayar.
Media Transformasi Ilmu Pasca Rasulullah saw.
Setelah Rasulullah saw. sistem pendidikan Islam semakin maju. Periode ini meliputi kekhalifaan Bani Umayyah (662-750 M) dan Bani Abbasiyah (751-1258 M). Pada masa ini masjid kuttab dan institusi pendidikan lainnya terus dikembangkan oleh para khalifah yang memerintah.
- Madrasah
Madrasah-madrasah mulai didirikan sebagai pengganti masjid-masjid yang sudah tidak bisa menampung pendidikan dari segi kelengkapan fasilitas pembelajaran di samping semangat mencari ilmu di kalangan umat Islam semakin tinggi. Madrasah Baihaqiyah merupakan madrasah pertama yang didirikan oleh penduduk Naisabur.
- Majelis Ulama dan Istana
Terdapat beberapa rumah ulama yang digunakan sebagai pertemuan dan majelis ilmu seperti rumah Ibnu Sina, Muhammad Ibnu Thahir Bahrom, dan Abu Sulaiman. Di samping itu istana khalifah kerap dijadikan tempat pengembangan ilmu pengetahuan seperti Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan yang mengundang ulama dan cendikiawan untuk membincangkan sejarah peperangan, sejarah raja-raja Parsi, sejarah bangsa Arab, dan sistem pemerintahan negara.
- Perpustakaan
Sudah menjadi saksi sejarah bahwa perpustakaan mempunyai peran sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah adalah perpustakaan legendaris pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Perpustakaan ini berfungsi sebagai ‘gudang’ buku yang memuat buku-buku dan penulisan dari berbagai bahasa seperti bahasa Yunani, Hindu, Parsi, Latin, dan lain sebagainya. Di samping itu para khalifah juga membangun perpustakaan di kompleks istana yang dibuka untuk kalangan khusus saja.
Epilog
Begitulah Rasulullah saw. menjalankan misinya sebagai Rasul, pemimpin negara, panglima perang, dan sebagai guru. Beliau telah mengubah tatanan masyarakat yang terjerembab dalam kebodohan yang akut, krisis moral berkepanjangan, hingga kesadaran yang lemah akan pentingnya pendidikan. Tidak hanya itu, sukses beliau dalam dunia pendidikan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya oleh para sahabat, tabiin, tabi’ at-tabiin, ulama salaf as-shaleh, hingga kiai-kiai kita yang dengan gigih melestarikan ajaran Rasulullah saw. dengan pesantren-pesantren yang didirikannya.
Maka menjadi suatu keniscayaan bagi kita untuk tetap melestarikan apa yang sudah Rasul sampaikan hingga ajarannya samapai pada kita saat ini. Maka menjadi suatu yang paradoks bila generasinya menghambakan pendidikan yang ijazah, gelar, dan nilai menjadi barometernya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan agama perlu dipupuk sedemkian rupa mulai dari keluarga, tetangga sekitar, hingga masyarakat luas. Kesadaran akan pentingnya ilmu merupakan hal yang fundamental, tapi kesadaran akan ilmu apa yang harus dipelajari terlebih dahulu merupakan hal yang primordial untuk mengetahui ilmu-ilmu lainnya.
Lestarinya pesantren sebagai garbong pembawa ajaran Rasulullah saw. merupakan PR kita hari ini. Kaum sekuler dengan gigihnya mengampanyaken ilmu pengetahuan untuk menimba ilmu ‘setinggi-tingginya’ di sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan lembaga keislaman yang hanya digunakan sebagai kedok untuk memperlancar penetrasi ajaran sekuler mereka. Inilah tugas kita yang sesungguhnya. Bila mereka dengan gigih menyebarkan ajaran mereka dengan berbagai kedok yang halus, mengapa kita masih saja tidur dan membiarkan saudara-saudara kita terlena dengan pendidikan yang mereka tawarkan. Mari kita mulia dengan diri sendiri, kemudian keluaga, tetangga, dan masyarakat. Semoga kita diberi kekutan oleh Allah swt. untuk tetap melestarikan ajaran Rasulullah saw.[]
DAFTAR PUSTAKA
- Abî Ismaîl bin Katsîr, Imâm al-Jalîl al-Hâfidz ‘Imâd al-Dîn. Tanpa tahun. Tafsîr Ibnu Katsîr. Dâr al-Fikr: Beirut, Lebanon.
- Syafii Antonio, Muhammad . 2008. Muhammad SAW The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia Multimedia & ProLM Center.
- Hitti, Philip. 2002. History of The Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
[1] HR. Anas bin Malik. Shahîh al-Bukhârî no. 64 bab Man qa’ada haitsu yantahî bihi al-Majlis
[2] Ghadban, Munir. 1998. Al-Tarbiyyah al-Qiyâdiyyah, Kairo: Dâr al-Wafâ, hal. I: 198, sebagaiman yang dikutip oleh Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager, hlm. 185
[3] Muhammad al-Shadiq ‘Argun, 1995, Rasulullah SAW. Beirut: Dar al-Qalam, hal. III:33, Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager, hlm. 185
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H