Di tengah kontroversi pencalonan Joko Widodo sebagai Capres oleh PDIP muncul pro dan kontra baik di kalangan masyarakat maupun di internal PDIP sendiri. Yang pasti dengan dicalonkannya Joko Widodo sebagai capres, trah Soekarno di RI-1 tinggal kenangan. Terbukti Megawati gagal dalam dua kali Pemilu. Apakah trah itu sudah tidak laku lagi, atau memang tidak ada, cuma dibesar-besarkan oleh yang berkepentingan untuk mendulang suara. Saya bersyukur trah itu sudah habis dan selesai dengan munculnya Joko Widodo, karena demokrasi tidak mengenal trah-trahan. Trah hanya ada dalam sistem otoriter, kerajaan, atau paternalistik. Jadi dengan pencalonan Joko Widodo diharapkan PDIP tidak lagi tergantung pada trah yang di era reformasi sudah tak berarti.
Kembali pada topik mengapa dalam beberapa survei PDIP dan Joko Widodo alias JOKOWI unggul dibandingkan calon lainnya. Padahal dalam laporan yang dikeluarkan oleh KPK, PDIP merupakan partai yang jumlah kadernya paling banyak korupsinya dan jumlah yang dikorupsinya juga paling besar, disusul Golkar.
Bahkan secara kualitas korupsinya, dalam arti jumlah harta yang dijarah partai politik, seperti PDIP, juga paling tinggi, disusul Golkar. Namun mengapa dalam survei-survei kedua partai ini diunggulkan sebagai pesaing untuk urutan 1 dan 2? Apakah negara ini memang ditakdirkan korup?
Ternyata menurut laporan Transparency Internationl Indonesia (TII), tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh partai dan kadernya tidak terlalu menjadi beban bagi masyarakat.
Survei Transparency International Indonesia menunjukkan, Dewan Perwakilan Rakyat dan partai-partai politik merupakan lembaga paling korup selama 2004. Dengan skala 1 sampai 5, kedua lembaga itu mempunyai indeks persepsi korupsi sebesar 4,4.
Persepsi ini menunjukkan bahwa parlemen dan partai telah menghabiskan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri, kata Sekretaris Jenderal Transparency Emmy Hafild saat mengumumkan hasil survei itu kepada pers di Jakarta kemarin.
Survei dilakukan selama tiga bulan antara Juli dan September. Dengan wawancara secara langsung, penelitian dilakukan di Jakarta, Medan, dan Surabaya pada 1.234 responden.
Menurut Transparency, ada beragam jenis korupsi di parlemen. Anggota DPR terbiasa menerima amplop dari pemerintah daerah saat kunjungan kerja. Ada juga yang jadi broker proyek dengan pemerintah yang mewakili perusahaan tertentu.
Partai politik dipakai sebagai tempat berlindung para koruptor dengan menyumbangkan sejumlah dananya, demikian Transparency.
Hasil survei menunjukkan, 51,3 persen responden perempuan menganggap korupsi telah berdampak pada kehidupan pribadi dan keluarga, sedangkan laki-laki 47,6 persen. Sementara itu, 59,3 persen golongan kaya dan 45,1 persen masyarakat berpendapatan rendah menganggap korupsi berdampak pada kehidupan pribadi dan keluarga.
Kendati begitu, para responden menilai korupsi bukan masalah terbesar yang dihadapi Indonesia. Mereka menganggap pengangguran (99 persen) sebagai persoalan terbesar saat ini, disusul korupsi (97 persen), kemiskinan (97,2 persen), dan ketidakamanan (97 persen). Responden juga optimistis pemerintah bisa mengatasi korupsi yang sudah merajalela itu.