Mohon tunggu...
Ahmad Ardiansyah
Ahmad Ardiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Topik konten favorit saya adalah yang bertema Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Landasan Filosofis Konsep Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

26 Mei 2024   22:30 Diperbarui: 26 Mei 2024   23:17 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sebagai negara hukum secara tegas telah banyak mengatur ketentuan dalam mengadili sebuah kejahatan atau tindak pidana. Jika kita melihat definisi kejahatan menurut hukum pidana, adalah setiap tindakan yang dilakukan melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsur-unsur delik (tindak pidana) sehingga perbuatan tersebut dapat dihukum. Setiap perbuatan kejahatan atau tindak pidana pasti kita temukan adanya istilah pelaku dan korban. 

Pelaku ini dapat siapa saja yang melakukannya, baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan, dan perorangan maupun kelompok yang merugikan kepentingan orang lain. Sedangkan korban adalah orang yang secara individual maupun kelompok yang menderita kerugian, berupa cedera fisik maupun mental dikarenakan tindakan maupun kelalaian orang lain.

Dewasa ini seringkali kita temui kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku anak di bawah umur. Menurut data yang diberikan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bahwa dari periode tahun 2020-2023 terjadi peningkatan tren kasus anak yang berkonflik dengan hukum. 

Per tanggal 26 Agustus 2023, setidaknya tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Dalam penegakan hukum di Indonesia, sistem peradilan pidana konvensional kita yang berbasis retributif (pembalasan atau pemberian efek jera) agaknya tidaklah cocok jika diterapkan kepada pelaku tindak pidana oleh anak di bawah umur karena dinilai lebih banyak efek negatif daripada efek positif, baik terhadap diri anak (sebagai pelaku) maupun keluarga dan masyarakat.

Oleh karena itu, negara kita dalam mengadili pelaku tindak pidana oleh anak mengikuti prosedur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara tegas menyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan restoratif dibandingkan pendekatan retributif. 

Dari sini muncullah konsep diversi dalam peradilan pidana anak sesuai Pasal 5 UU No.11/2012 tentang SPPA. Secara istilah, diversi adalah langkah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 

Prinsip utama diversi adalah tindakan persuasif (pendekatan non-penal) dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Mengutip laporan tahunan dari kepaniteraan Mahkamah Agung, pada tahun 2023 jumlah kasus pidana anak yang melalui proses diversi terdapat 657 perkara, menunjukkan peningkatan penggunaan sistem diversi dalam SPPA sebesar 30,12% dari tahun sebelumnya.

Secara filosofis, diversi ini mengandung prinsip rehabilitasi dan non-intervensi.

1. Rehabilitasi, yang didasarkan pada konsep "parents patriae", yaitu di mana negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anaknya. Atas dasar filosofi ini, penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan melalui upaya-upaya demi kepentingan terbaik bagi si anak. Hal ini berarti setiap anak dianggap memiliki kapasitas untuk belajar dan terutama belajar mengubah tingkah lakunya sehingga anak-anak dipandang lebih sebagai korban keadaan dan lingkungan daripada sebagai pelaku. Juga, menurut teori sosiologis, faktor penyebab adanya kejahatan adalah lingkungan yang buruk. Dalam kondisi ini, pelaku kejahatan diibaratkan sedang terkena kuman penyakit yang ada di sekitarnya. 

Sedangkan menurut beberapa teori kriminologi, salah satu sebab seseorang dapat berbuat tindak kejahatan adalah teori biologis yang menganggap bahwa bakat merupakan penyebab utama dari timbulnya kejahatan. Bakat ini diturunkan oleh nenek moyang sehingga kejahatan pun dianggap perilaku yang diwariskan. 

Oleh karena itu, sepertinya tidaklah pas jika kita memandang anak sebagai pelaku penuh dalam tindak kejahatan yang dilakukannya. Kemudian, filosofi rehabilitasi ini juga dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak agar dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

2. Non-Intervensi, prinsip ini mengedepankan upaya menghindarkan pemberian stigma atau label "anak nakal" kepada anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk di dalamnya adalah upaya intervensi yang tidak memberikan label negatif atau stereotipe kepada anak yang berkonflik dengan hukum dengan intervensi yang mengarah kepada pemberian treatment (pemulihan) berbasis masyarakat di mana anak ditempatkan pada sebuah lingkungan masyarakat. Konsekuensinya, penempatan anak pada sebuah lembaga pemasyarakatan harus merupakan alternatif paling akhir. 

Program yang diberikan oleh filosofi non-intervensi adalah seperti konsep restoratif justice dan diversi. Filosofi yang terkandung dalam diversi tersebut juga mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. 

Dan juga memberikan kesempatan kepada anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban, memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses, memberikan kesempatan bagi anak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarga, dan memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Reference : Mahrus Ali, Viktimologi ; Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun