Menelusuri kisah roman manusia memanglah seru untuk digali dan dinikmati dikala sendiri. Namun pernahkah terbesit dalam benak kita untuk menghadirkan dua buah kitab legend yang dapat bahkan pernah merubah suatu peradaban. Dalam hal ini, menarik kiranya untuk membuka kembali hal-hal tabu dengan merekayasa sebuah hasil karya kitab-kitab (kitab kuning dan kitab putih) dengan kajian kritis sehingga darinya tersingkap aura dan inspirasi perubahan untuk lebih giat mewujudkan sebuah perbedaan dan keterbaruan dalam memahami kompleksitas hidup di era disrupsi ini.
Namun, menakar rasa suka ihwal romansa dibutuhkan kemampuan hati yang teguh dan bijaksana. Dalam hal ini, memberikan dan menerima merupakan hal lumrah yang bisa disaksikan dalam transaksi menukar rasa antara "aku dan dia". Sama halnya ketika kita berinteraksi dengan ragam kitab baik kuning maupun putih, kita akan menjumpai sebuah rasa, kemauan dan tekad untuk selalu belajar dan memahami maksud di balik lembaran kuning-putihnya karya kitab tersebut di atas.
Sebelumnya terdapat ulasan menarik perihal dua versi kitab di atas, pernyataan kitab kuning sebagai kitab yang menuntun pada keluhuran moralitas dan kitab putih sebagai kitab yang mencerahkan intelektualitas seorang manusia sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia. Melihat pernyataan tersebut, bila disandingkan, maka keharmonisan akan lahir dari seorang individu yang mempelajari keduanya. Memang kajian kitab kuning lebih sering dikaji oleh para kalangan santri ketimbang kitab putih.
Pembahasan kitab kuning dan putih agaknya kita pahami terlebih dahulu asal-muasal penyebutan antara keduanya. Berikut pembahasannya:
- Kitab Kuning
Dikenal dengan istilah al-shafr kitab kuning meraih puncak kepopulerannya karena menjadi materi pelajaran yang harus dipelajari dan menjadi identitas yang inheren dalam lingkupan kepesantrenan.[1] Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, al-shafr meliputi ilmu-ilmu keislaman khususnya dalam ilmu fikih yang ditulis berbahasa Arab, Jawa dan Melayu tanpa mencantumkan harakat (syakl), tanpa tanda baca/baris dan tanpa pemberhentian, sehingga dikenal dengan sebutan "kitab gundul".Â
Karena menjadi primadona pesantren di Indonesia, seorang Martin van Bruinessen turut menyatakan bahwa kehadiran pesantren memiliki andil besar dalam proses transmisi keilmuan Islam tradisional sebagaimana bunyi ajaran-ajaran yang ada pada kitab kuning tersebut.[2] Selain memiliki keunikan dalam hal warna kertas, kitab kuning juga memiliki keunikan lainnya: bertuliskan arab, ditulis tanpa baris dan tanda baca, mencakup ilmu-ilmu keislaman, sistematika penulisan klasik (kuno), dicetak pada lembaran berwarna kuning dan menjadi kurikulum keagamaan mayoritas pesantren di Indonesia.[3] Kemudian dalam pembagiannya, kitab kuning sendiri ada yang fokus membahas tentang pokok ilmu keislaman misalnya, fikih, tafsir, hadis dan lainnya, lalu kitab kuning yang fokus menyajikan tata-cara, metodologi atau kaidah-kaidah seperti ushl fiqh, ulmul qur`n, musthalahul hads dan lain sebagainya.
Adapun dalam mengkajinya, sorogan dan bandongan menjadi metode pengajaran paling jitu yang banyak diadopsi di berbagai pondok pesantren. Sorogan sendiri merupakan metode belajar seorang individu (santri) kepada guru (kiai/ustaz) dengan saling berhadapan sehingga terjadi keintiman interaksi ilmu antara keduanya. Sedangkan bandongan ialah metode belajar kelompok yang dibingkai dalam sistem seklek agama (kelas) dengan variasi jumlah murid di masing-masing kelasnya dengan kiai/ustaz sebagai titik pusat pembelajarannya, sistem demikian juga dikenal dengan istilah halaqah.[4] Biasanya tradisi ini masih terjaga dan terwariskan dengan baik oleh kalangan tradisionalis Nahdlatul Ulama.
- Kitab Putih
Dalam penulisannya, kitab kuning berada dalam rentangan penulisan ulama klasik sebelum abad ke 20, sedangkan penulisan "kitab putih" dilakukan setelah abad ke 20, maka dapat diasumsikan bahwa kitab putih ialah kitab yang hadir belakangan atas kontribusi ulama mutaakhirn 'kontemporer' dengan mengangkat ragam isu, permasalahan, kebutuhan kajian yang terjadi di era modern.
Selain melakukan penerapan sistematika penulisan yang sudah modern, kitab putih dalam membangun pemahaman ajaran-ajaran Islam dilakukan dengan model integrasi-interkoneksi yang tidak jumud dan menolak keterkotakan pembahasan yang "berpusing-pusing" pada pembahasan suatu mazhab tertentu.[5]
Sehingga dalam kajiannya, kitab putih selalu menjadi yang terdepan dalam membahas konteks-realitas kekinian secara runtut berdasarkan data dan konsep, diimbangi dengan penyelesaian masalah dengan transdisiplin keilmuan bermuatan integrasi universal atau berpolakan integrasi holonik.[6] Biasanya pembahasan kitab putih dispesifikkan dengan karya keilmuan kontemporer, seperti pemikiran keagamaan, tajdd 'pembaharuan', politik, ekonomi, sosial-kebudayaan dan masih banyak lainnya.
Lalu dalam pengkajiannya, tidak ada cara khusus yang diformulasikan ulama/tokoh kontemporer terhadap keilmuannya. Penyatuan metode belajar antara individu dan kelompok bisa menjadi suatu hal yang lumrah. Mengapa demikian, layaknya mengkaji studi keislaman, tingkatan kritis dalam suatu kajian harus bersifat sirkular yang saling menghubungkan dan berkomunikasi. Dengan jalan inilah, discovery 'penemuan' dalam suatu keilmuan dapat berkembang dan tidak terjustifikasi. Muhammadiyah sebagai kalangan modernis sangat lekat kaitannya dengan kajian intelektual yang memadukan "al-jam'u" antara membaca, menulis dan menganalisis.
Kitab Abu-Abu
Istilah "kitab abu-abu" tidak merujuk kepada karya atau konsep tertentu yang umum diakui dalam konteks pengetahuan umum. Mungkin terjadi perkembangan atau perubahan dalam penggunaan istilah baru pada dewasa ini. Merujuk bentuk kolokasi sederhana kitab kuning dan kitab putih, maka kitab abu-abu dapat diartikan sebagai buku atau kumpulan tulisan yang berada di antara hitam dan putih, atau di antara yang benar dan yang salah tergantung penggunaan pendekatan dan metode.
Bila dikaitkan dengan realitas, istilah "abu-abu" sering digunakan untuk merujuk kepada situasi atau keadaan yang kompleks, tidak hitam-putih, atau sulit untuk dijelaskan dengan cara yang sederhana atau jelas, layaknya realitas-konteks dewasa ini yang kerap berubah-ubah mengikuti kehendak manusia yang labil dan serakah. Lebih sederhana lagi, kitab abu-abu ialah suatu kondisi (fakta sosial) yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bisa berupa fenomena, keadaan etnografi dan masih banyak lagi. Dikatakan sebagai kitab karena menghimpun dan mengkompilasi realitas kemasyarakatan secara umum untuk dijadikan objek kajian dua kitab tersebut di atas.
Manfaat Integrasi Kitab Kuning dan Kitab Putih
Sederhananya, "romantika" layaknya situasi hubungan mesra yang dapat berliku-liku, keberadaan dan eksistensi kedua kitab (kitab kuning dan kitab putih) pun merasakan hal serupa. Keberadaan zaman dengan variasi tantangan dan problematika bak menjadi 'orang ketiga' yang mengganggu keharmonisan dua kitab. Maka, dengan "gairah" mengintegrasikan kitab kuning (moralitas) dan kitab putih (intelektualitas) seorang penuntut ilmu dapat menjadi sosok superior yang mampu mendialogkan hubungan moral dan intelektual sehingga dalam mengentaskan suatu problem, menjunjung sikap santun, beretika dan bijaksana tanpa mengkafirkan dan menghukumi nyatanya terbukti membantu kelanggengan hubungan harmonis antara keduanya, bersinergi dan solid membentuk karakter penuntut ilmu yang tangguh, visioner dan berani menyatakan kebenaran.
Berikut poin-poin manfaatnya:
- Integrasi kitab kuning dan kitab putih mencerminkan usaha untuk mencapai harmoni antara nilai-nilai agama dan kemajuan ilmiah.
- Menekankan pada pemahaman holistik terhadap dunia, di mana nilai-nilai keagamaan dan ilmu pengetahuan dapat saling melengkapi.
- Mendorong pengembangan pengetahuan yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan etika agama.
Simpulan
Sejatinya, seorang penuntut ilmu yang sudah atau sedang mendalami kajian keislaman sudah menjadi fadhu 'ain atas dirinya mensinergikan dan mengintegrasikan kitab kuning dan kitab putih. Â Dengan mengintegrasikan kitab kuning dan kitab putih, masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya dan seimbang tentang dunia, menggabungkan warisan tradisional dengan kemajuan ilmiah untuk mencapai perkembangan yang berkelanjutan dan harmonis. Â
Daftar Pustaka
[1] Diyan Yusri, "Pesantren dan Kitab Kuning," Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (2020), hlm. 648., https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/ikhtibar/article/view/1117.
[2] Diyan Yusri, "Pesantren dan Kitab Kuning," Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (2020), hlm. 648-649.
[3] Diyan Yusri, "Pesantren Dan Kitab Kuning," Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (2020), hlm. 650.
[4] Mustofa Mustofa, "Kitab Kuning Sebagai Literatur Keislaman Dalam Konteks Perpustakaan Pesantren," Tibanndaru: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi 2, no. 2 (2019), hlm. 5-6., https://journal.uwks.ac.id/index.php/Tibandaru/article/view/549.
[5] Puput Lestari, "Tradisi Penulisan Dan Pengajaran Kitab Pesantren: Proses Membangun Otoritas Dalam Kitab Kuning," Jurnal Kajian Islam Interdisipliner 7, no. 2 (2022): 81--101, https://ejournal.uin-suka.ac.id/pasca/jkii/article/view/1331.
[6] Waryani Fajar Riyanto, Saefudin, dan Harsya Denny Suryo, "Transdisciplinary Policy in Handling Covid-19 in Indonesia: A Comparative Study on the Thought of Kuntowijoyo, M. Amin Abdullah and Yudian Wahyudi," Afkar (2022), hlm.205., https://ejournal.um.edu.my/index.php/afkar/article/view/40409.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H