Lalu dalam pengkajiannya, tidak ada cara khusus yang diformulasikan ulama/tokoh kontemporer terhadap keilmuannya. Penyatuan metode belajar antara individu dan kelompok bisa menjadi suatu hal yang lumrah. Mengapa demikian, layaknya mengkaji studi keislaman, tingkatan kritis dalam suatu kajian harus bersifat sirkular yang saling menghubungkan dan berkomunikasi. Dengan jalan inilah, discovery 'penemuan' dalam suatu keilmuan dapat berkembang dan tidak terjustifikasi. Muhammadiyah sebagai kalangan modernis sangat lekat kaitannya dengan kajian intelektual yang memadukan "al-jam'u" antara membaca, menulis dan menganalisis.
Kitab Abu-Abu
Istilah "kitab abu-abu" tidak merujuk kepada karya atau konsep tertentu yang umum diakui dalam konteks pengetahuan umum. Mungkin terjadi perkembangan atau perubahan dalam penggunaan istilah baru pada dewasa ini. Merujuk bentuk kolokasi sederhana kitab kuning dan kitab putih, maka kitab abu-abu dapat diartikan sebagai buku atau kumpulan tulisan yang berada di antara hitam dan putih, atau di antara yang benar dan yang salah tergantung penggunaan pendekatan dan metode.
Bila dikaitkan dengan realitas, istilah "abu-abu" sering digunakan untuk merujuk kepada situasi atau keadaan yang kompleks, tidak hitam-putih, atau sulit untuk dijelaskan dengan cara yang sederhana atau jelas, layaknya realitas-konteks dewasa ini yang kerap berubah-ubah mengikuti kehendak manusia yang labil dan serakah. Lebih sederhana lagi, kitab abu-abu ialah suatu kondisi (fakta sosial) yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bisa berupa fenomena, keadaan etnografi dan masih banyak lagi. Dikatakan sebagai kitab karena menghimpun dan mengkompilasi realitas kemasyarakatan secara umum untuk dijadikan objek kajian dua kitab tersebut di atas.
Manfaat Integrasi Kitab Kuning dan Kitab Putih
Sederhananya, "romantika" layaknya situasi hubungan mesra yang dapat berliku-liku, keberadaan dan eksistensi kedua kitab (kitab kuning dan kitab putih) pun merasakan hal serupa. Keberadaan zaman dengan variasi tantangan dan problematika bak menjadi 'orang ketiga' yang mengganggu keharmonisan dua kitab. Maka, dengan "gairah" mengintegrasikan kitab kuning (moralitas) dan kitab putih (intelektualitas) seorang penuntut ilmu dapat menjadi sosok superior yang mampu mendialogkan hubungan moral dan intelektual sehingga dalam mengentaskan suatu problem, menjunjung sikap santun, beretika dan bijaksana tanpa mengkafirkan dan menghukumi nyatanya terbukti membantu kelanggengan hubungan harmonis antara keduanya, bersinergi dan solid membentuk karakter penuntut ilmu yang tangguh, visioner dan berani menyatakan kebenaran.
Berikut poin-poin manfaatnya:
- Integrasi kitab kuning dan kitab putih mencerminkan usaha untuk mencapai harmoni antara nilai-nilai agama dan kemajuan ilmiah.
- Menekankan pada pemahaman holistik terhadap dunia, di mana nilai-nilai keagamaan dan ilmu pengetahuan dapat saling melengkapi.
- Mendorong pengembangan pengetahuan yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan etika agama.
Simpulan
Sejatinya, seorang penuntut ilmu yang sudah atau sedang mendalami kajian keislaman sudah menjadi fadhu 'ain atas dirinya mensinergikan dan mengintegrasikan kitab kuning dan kitab putih. Â Dengan mengintegrasikan kitab kuning dan kitab putih, masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya dan seimbang tentang dunia, menggabungkan warisan tradisional dengan kemajuan ilmiah untuk mencapai perkembangan yang berkelanjutan dan harmonis. Â
Daftar Pustaka
[1] Diyan Yusri, "Pesantren dan Kitab Kuning," Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (2020), hlm. 648., https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/ikhtibar/article/view/1117.
[2] Diyan Yusri, "Pesantren dan Kitab Kuning," Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan 6, no. 2 (2020), hlm. 648-649.