Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya kita terikat dengan satu istilah yang disebut agama. Apa itu agama? Secara umum, agama dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa selaku penguasa alam semesta ini. Agama merupakan pedoman hidup yang berisikan aturan tentang berbagai hal; diantaranya keimanan dan ketauhidan, cara beribadah, hubungan dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan, dan masih banyak yang lainnya. Semua itu merupakan jalan agar kita tidak tersesat serta mempunyai arah dalam kehidupan ini.
Terdapat macam-macam agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, namun yang diakui di Indonesia hanya 6 agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Masing-masing agama juga memiliki kitab sucinya sendiri. Seperti Islam dengan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an, Kristen Katolik dan Protestan dengan kitab sucinya yaitu Alkitab, Hindu dengan kitab sucinya yaitu Weda, Budha dengan kitab sucinya yaitu Tripitaka, serta Konghucu dengan kitab sucinya yaitu Si Shu dan Wu Jing.
Semua yang diajarkan dalam kitab suci pada masing-masing agama tentu tidak ada yang mengajarkan tentang keburukan ataupun kekerasan terhadap umat beragama lainnya, akan tetapi secara umum mengajarkan tentang kebaikan dan kedamaian.
Akan tetapi, pemikiran setiap orang dalam memahami dan memaknai konsep agama tentu bisa berbeda. Bagi orang yang bisa memahami dan memaknai konsep agama dengan baik, pasti ia akan bersikap toleransi dan menghargai setiap perbedaan yang ada, serta tidak akan melakukan aksi kekerasan terhadap umat agama yang lainnya.
Namun berbeda dengan orang yang salah memaknai dan memahami konsep agama, kemungkinan besar ia akan bersikap radikalisme dan bahkan menyerang umat beragama lainnya, contoh yang pernah terjadi di Indonesia yaitu aksi penyerangan fisik, penyiksaan, serta pembunuhan terhadap tokoh agama. Kemudian aksi perusakan rumah ibadah pun kerap terjadi di Indonesia. Semua itu berakar pada salahnya memaknai dan memahami konsep agama yang dianut.
Diantara kasus penyerangan terhadap tokoh agama itu seperti yang terjadi pada seorang pastor yang bernama Romo Prier. Kejadian ini terjadi pada pukul 07.30 WIB sekitar tahun 2018. Kejadian ini bermula saat jemaat tengah melakukan kegiatan ibadah Misa pagi di Gereja St Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta. Tiba-tiba seorang pria bersenjata tajam masuk ke dalam gereja dan melakukan aksi penyerangan. Pria tersebut menghunuskan pedang lalu berusaha menyabet siapa pun yang berada di dekatnya.
Pria tersebut kemudian melukai kepala Romo Prier yang sedang memimpin kegiatan Misa pagi menggunakan pedangnya. Akibat dari aksi penyerangan tersebut, Pastor Romo Prier harus menjalani perawatan intensif di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Selain Romo Prier, setidaknya ada 3 korban lainnya yaitu Yohannes Trianto, Munir, dan Martinus Budijono. Diduga terjadinya penyerangan itu merupakan amaliyah yang dipahami oleh pelaku dengan menyerang orang kafir dalam versi radikalnya. Dari kasus ini, kita bisa mengambil kesimpulan betapa bahayanya ketika seseorang salah memaknai dan memahami konsep agama yang dianutnya.
Selain kasus di atas, penyerangan terhadap ustadz-ustadz juga sering kita temui. Biasanya pelaku melakukan aksi tersebut ketika korban sedang memimpin sholat berjamaah (menjadi imam) di masjid atau mushola pada daerahnya masing-masing. Kemudian pelaku datang secara tiba-tiba dan langsung melancarkan aksinya dengan menggunakan senjata tajam. Setelah pelaku melancarkan aksinya, sebagian pelaku ada yang berhasil ditangkap. Namun tidak sedikit juga pelaku yang berhasil melarikan diri atau kabur.
Beberapa pelaku yang berhasil ditangkap kemudian diperiksa oleh pihak yang berwenang. Namun sebagian besar hasil pemeriksaan yang dilakukan menunjukkan bahwa pelaku melakukan aksi penyerangan tersebut dikarenakan pelaku mengalami kondisi gangguan kejiwaan (ODGJ). Akan tetapi yang jadi pertanyaannya ialah mengapa harus ustadz-ustadz yang menjadi sasaran atau target penyerangan? Masa iya pelaku yang katanya mengalami kondisi gangguan kejiwaan tersebut bisa dengan cerdas memilih target korbannya? Tentu menurut saya ada kejanggalan disini.
Seharusnya jika pelaku tersebut mengalami kondisi gangguan kejiwaan, pelaku bisa saja menyerang siapa pun tanpa memandang posisi atau jabatan orang tersebut. Padahal kalau dilihat dari posisinya, seorang imam tentu berada di depan makmum yang jumlahnya tidak sedikit. Otomatis posisi sang imam tertutupi oleh makmum. Akan tetapi mengapa harus sang imam yang menjadi target atau sasaran penyerangan? Dari sekian banyak makmum yang menutupi imam, tidak ada satu pun makmum yang mengalami penyerangan tersebut.
Selain kasus penyerangan terhadap tokoh agama, konflik antar umat beragama seperti perusakan tempat ibadah pun kerap terjadi di Indonesia. Padahal dalam agama manapun, tidak ada yang mengajarkan bahkan memerintahkan untuk merusak tempat ibadah. Sehingga hal ini tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun.
Adapun contoh kasus penyerangan berupa perusakan tempat ibadah yang pernah terjadi di Indonesia yaitu perusakan masjid Baiturrahim yang terletak di daerah Tuban, Jawa Timur. Pelaku yang melakukan aktivitas ini bernama Zaenudin. Berdasarkan informasi yang beredar, si pelaku sempat mengikuti shalat isya berjamaah di masjid tersebut sebelum ia melancarkan aksinya. Namun setelah si pelaku selesai melaksanakan sholat isya berjamaah, ia tidak langsung pergi melainkan berdiam diri di masjid tersebut hingga pukul 01.00 WIB.
Karena merasa ada sesuatu yang aneh, seorang warga bernama Muhammad mendatangi si pelaku dengan menanyakan maksud si pelaku berdiam diri di masjid tersebut dalam jangka waktu yang agak lama. Alih-alih mendapatkan jawaban, justru yang Muhammad dapatkan ialah perilaku buruk dari si pelaku. Kemudian Muhammad pergi keluar masjid dan segera memberitahu warga lainnya. Pada sekitar pukul 01.30 WIB, pelaku melakukan perusakan terhadap kaca Masjid Baiturrahim.
Warga yang mendengar suara pecahan kaca tersebut segera mendatangi masjid lalu meneriaki pelaku agar berhenti melancarkan aksinya. Namun si pelaku justru menjawab bahwa ia siap untuk mati. Sampai pada akhirnya pukul 03.00 WIB, pihak kepolisian datang dan membawa si pelaku. Setelah menjalani interogasi dan pemeriksaan, lagi-lagi pelaku diduga mengalami kondisi gangguan kejiwaan.
Dari kasus penyerangan terhadap tokoh agama hingga perusakan tempat ibadah, kejadian-kejadian ini memiliki pola yang sama, dimana si pelaku “katanya” mengalami kondisi gangguan kejiwaan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dibenarkan secara keseluruhan. Mengingat dari sekian banyak orang dan tempat-tempat di Indonesia, mengapa harus tokoh agama dan tempat ibadah yang menjadi sasaran? Ada kemungkinan para pelaku bukan mengalami kondisi gangguan kejiwaan, melainkan ada paham radikalisme yang dipercayainya. Ada juga kemungkinan lain bahwa terdapat dalang di balik kejadian-kejadian tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah harus menanggapi permasalahan ini dengan serius serta tidak menganggapnya suatu hal yang sepele. Kemudian penting bagi kita selaku masyarakat Indonesia untuk bersikap bijaksana dan selektif terhadap setiap informasi yang diterima, khususnya dalam hal ideologi. Selain itu, diperlukan adanya edukasi di setiap Lembaga Pendidikan tentang bahaya dan ancaman dari paham radikalisme. Dan yang terakhir yaitu pentingnya peran orang tua dalam membentengi serta melindungi anak-anaknya dari pengaruh paham radikalisme, salah satunya dengan cara berhati-hati dalam memilih tokoh atau guru yang akan mengajar anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H