Adapun contoh kasus penyerangan berupa perusakan tempat ibadah yang pernah terjadi di Indonesia yaitu perusakan masjid Baiturrahim yang terletak di daerah Tuban, Jawa Timur. Pelaku yang melakukan aktivitas ini bernama Zaenudin. Berdasarkan informasi yang beredar, si pelaku sempat mengikuti shalat isya berjamaah di masjid tersebut sebelum ia melancarkan aksinya. Namun setelah si pelaku selesai melaksanakan sholat isya berjamaah, ia tidak langsung pergi melainkan berdiam diri di masjid tersebut hingga pukul 01.00 WIB.
Karena merasa ada sesuatu yang aneh, seorang warga bernama Muhammad mendatangi si pelaku dengan menanyakan maksud si pelaku berdiam diri di masjid tersebut dalam jangka waktu yang agak lama. Alih-alih mendapatkan jawaban, justru yang Muhammad dapatkan ialah perilaku buruk dari si pelaku. Kemudian Muhammad pergi keluar masjid dan segera memberitahu warga lainnya. Pada sekitar pukul 01.30 WIB, pelaku melakukan perusakan terhadap kaca Masjid Baiturrahim.
Warga yang mendengar suara pecahan kaca tersebut segera mendatangi masjid lalu meneriaki pelaku agar berhenti melancarkan aksinya. Namun si pelaku justru menjawab bahwa ia siap untuk mati. Sampai pada akhirnya pukul 03.00 WIB, pihak kepolisian datang dan membawa si pelaku. Setelah menjalani interogasi dan pemeriksaan, lagi-lagi pelaku diduga mengalami kondisi gangguan kejiwaan.
Dari kasus penyerangan terhadap tokoh agama hingga perusakan tempat ibadah, kejadian-kejadian ini memiliki pola yang sama, dimana si pelaku “katanya” mengalami kondisi gangguan kejiwaan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dibenarkan secara keseluruhan. Mengingat dari sekian banyak orang dan tempat-tempat di Indonesia, mengapa harus tokoh agama dan tempat ibadah yang menjadi sasaran? Ada kemungkinan para pelaku bukan mengalami kondisi gangguan kejiwaan, melainkan ada paham radikalisme yang dipercayainya. Ada juga kemungkinan lain bahwa terdapat dalang di balik kejadian-kejadian tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah harus menanggapi permasalahan ini dengan serius serta tidak menganggapnya suatu hal yang sepele. Kemudian penting bagi kita selaku masyarakat Indonesia untuk bersikap bijaksana dan selektif terhadap setiap informasi yang diterima, khususnya dalam hal ideologi. Selain itu, diperlukan adanya edukasi di setiap Lembaga Pendidikan tentang bahaya dan ancaman dari paham radikalisme. Dan yang terakhir yaitu pentingnya peran orang tua dalam membentengi serta melindungi anak-anaknya dari pengaruh paham radikalisme, salah satunya dengan cara berhati-hati dalam memilih tokoh atau guru yang akan mengajar anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H