Mohon tunggu...
Ahmad Akfiyan
Ahmad Akfiyan Mohon Tunggu... Fresh graduated from governmental science

Someone who love poetry and tranquility

Selanjutnya

Tutup

Politik

Persekutuan Penentu Nasib: Potensi Bangkitnya Otoritarianisme

5 Februari 2024   15:27 Diperbarui: 5 Februari 2024   15:31 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepanjang tahun 1997-1998 sebanyak 23 aktivis pejuang demokrasi diculik oleh sebuah kelompok dalam Grub IV Sandi Yudha yang dijuluki Tim Mawar dalam tubuh Komando Pasukan Khusus pimpinan Prabowo Subianto. Dalam persidangan ia tak terbukti bersalah dengan terlibat atau memberikan perintah secara langsung. Namun sebuah Arsip Keamanan Nasional, yakni dokumen rahasia Amerika Serikat tertanggal 17 Mei 1998 yang rilis pada tahun 2018, berisi catatan staf keduataan Besar AS menyebutkan; "Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto".

Kemudian pada tanggal 28 Mei 1998, sehari setelah pelantikan Presiden BJ Habibie, Prabowo dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Pencopotan itu terjadi setelah Presiden BJ Habibie menerima laporan adanya pergerakan pasukan kostrad menuju Jakarta tanpa sepengetahuan Jendral Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Abri pada 22 Mei 1998. Selanjutnya baca 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' yang diceritakan oleh Letjen (Purnawirawan) Sintong Hamonang Panjaitan 2009.

Tentu saja pencopotan Prabowo Subianto oleh panglima tertinggi TNI menimbulkan kemarahan serta ketegangan, ditambah Prabowo sendiri merupakan menantu dari mantan presiden sebelumnya.

Narasi sejarah diatas merupakan catatan hitam dari rekam jejak sosok Prabowo selama berkarir di militer, yang sampai saat ini para aktivis Kamisan masih terus menggaungkan keadilan atas hilangnya sejumlah nyawa pada kurun waktu yang telah disebut diatas. Saya pribadi memang sempat mengagumi sosok Prabowo Subianto yang tegas dan lugas selama beliau mencalonkan diri sebagai Presiden pada tahun 2014 dan 2019. Akan tetapi level emosional beliau yang terkadang hilang kendali saat kampanye ataupun mendapat kritik membuat saya berpikir ulang jika beliau menduduki jabatan tertinggi sebagai presiden. Apalagi dengan rekam jejak yang terbilang cukup membuat khawatir untuk terulang.

Sebuah survei kepribadian oleh Laboratorium psikolog politik UI, Ikatan Psikologi Sosial Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran pada tahun 2014 tentang calon presiden dan wakil presiden menunjukan bahwa Prabowo memiliki skor tertinggi yakni 8,84; Jusuf Kalla 7,31; Hatta Rajasa 7,17; dan Joko Widodo 6,36, yang berarti Prabowo memiliki tingkat ambisiusitas yang tertinggi dibanding yang lain dan cenderung akan menjalankan gaya kepemimpinan otoriter jika terpilih. Riset tersebut diadakan pada 18-27 Juni melalui penilaian jarak jauh dengan melihat tingkah laku calon presiden sejak kecil, saat merintis karier hingga saat itu.

Rekam jejak hitam dan kepribadian yang temperamen serta emosional membuat saya pribadi merasa was-was jika beliau harus menjadi presiden. Meskipun belakangan citra beliau berusaha didempul dengan istilah gemoy, namun itu tidak cukup untuk menutupi catatan sejarah yang terlanjur terjadi. Terlebih potensi gaya kepemimpinan otoriter yang dominan jika mendapatkan mandat presiden berdasarkan dari hasil survei tadi, menambah kekhawatiran akan bangkitnya sistem otoritarianisme yang mengekang demokrasi.

 

 

Belajar dari negeri seberang

Venezuela sempat membanggakan diri sebagai negara demokrasi tertua di Amerika Selatan, yang berjalan sejak 1958. Politik Venezuela didominasi oleh dua partai, Aksi Demokratik yang berpaham tengah-kiri dan Partai Sosial Kristen tengah-kanan Caldera atau biasa disebut COPEI. Keduanya telah bergantian berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Namun selama 1980-an terjadi krisis yang melipatgandakan angka kemiskinan, tak heran jika hal ini menyebabkan kekecewaan rakyat Venezuela. Kerusuhan besarpun terjadi pada Februari 1989 yang menimbulkan citra bahwa partai-partai besar tengah bermasalah.

Tiga tahun kemudian, pada 1992, sekelompok perwira militer junior melakukan kudeta terhadap presiden Carlos Andres Perez. Para pemberontak yang dipimpin Hugo Chaves itu gagal. Chaves yang dipenjarakan memilih untuk berubah haluan, ia akan mengejar kekuasaan melalui pemilihan umum.

Chaves dan kawan-kawan yang dulunya berusaha membunuh demokrasi negara mereka sendiri yang sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun malah mendapat dukungan dari Caldera, seorang mantan presiden yang berhasil memenangkan dukungan publik dan menduduki kursi presiden kembali pada 1993.

Caldera juga membantu Chaves memasuki istana kepresidenan dengan memukul partai-partai mapan Venezuela. Secara mengejutkan Caldera akhirnya meninggalkan COPEI, partai yang ia dirikan dan maju sebagai calon presiden independen. Kemenangannya pada pemilu 1993 makin membuka jalan bagi Chaves maju sebagai presiden 5 tahun kemudian. Akan tetapi Chaves masih memiliki masalah dengan rekam jejak dan kasus atas tuduhan makar yang pada 1994, Caldera mencabut semua tuntutan atas Chaves, sebuah upaya untuk membukakan pintu lebih lebar bagi Chaves untuk berkontestasi.

Dalam sekejap mantan pemimpin kudeta itu menjadi calon presiden dan memenangkan pemilu pada 6 Desember 1998. Pengalihan tanggung jawab kekuasaan politis oleh pemimpin yang sedang berkuasa menjadi pertanda suatu negara menuju otoriterianisme. Ketika dalam masa pemiihan presiden, Chavez menjabarkan lawannya sebagai "babi busuk" dan "oligark kotor". Setelah menjabat presiden ia membungkam para pengkritiknya dan menyebutnya sebagai musuh atau pengkhianat.

Memang kematian demokrasi di Venezuela terjadi sangat pelan hingga rakyat tak menyadari bahwa institusi-institusi penegak demokrasi sedang dibajak. Semua terlihat biasa saja karena pemerintah yang berkuasa menjalankannya begitu halus, seakan-akan semua melalui jalur hukum yang legal, disetujui parlemen, disahkan mahkamah konstitusi dan seterusnya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah aturan-aturan yang mengekang kebebasan disahkan satu persatu beserta aturan yang memudahkan jalan para oligark hingga tak ada lagi yang bisa menentangnya.

 

Melihat kedalam negeri sekali lagi

Jika kita bandingkan apa yang sudah terjadi pada demokrasi di Venezuela dengan gejala di pemilu 2024, tentu tidak kita dapati hal yang persis sama. Sebaliknya, tidak kita dapati pula hal yang 100% berbeda. Semua memiliki aspek kesinambungan sehingga kita bisa berkata bahwa sejarah telah banyak memberikan pelajaran.

Seorang pemimpin yang memiliki rekam jejak hitam dengan sekejap menjadi calon presiden dan memenangkan pemilu. Menancapkan kekuasaannya hingga 14 tahun dan perlahan membajak alat demokrasi. Tentu hal ini sangat disayangkan jika demokrasi di Indonesia kembali dibajak setelah mati-matian para pejuang 98 merebutnya. Setelah kurang lebih 32 tahun hidup dibawah rezim otoritarianisme Soeharto yang memenjarakan kebebasan publik, kembali akan dibangkitkan melalui kotak suara pemilu.

Lebih parahnya lagi pembajakan demokrasi telah terang-terangan dimulai semenjak putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, yang dinilai kontroversial. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini sangat bernuansa politis mengingat Gibran Rakabuming Raka, putra presiden, yang sempat diisukan berpasangan dengan Prabowo Subianto sempat tersandung syarat batas usia pencalonan. Dan memang keduanya saat ini telah resmi mendaftar sebagai capres dan cawapres dalam kontestasi pemilu 2024.

Apalagi pada 24 Januari 2024 presiden Joko Widodo sempat memberikan statement kontroversial mengenari pejabat negara sekelas presiden dan menteri boleh melakukan kampanye. "Presiden tuh boleh lho kampanye, Presiden boleh memihak, boleh. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, masa berpolitik nggak boleh, boleh. Menteri juga boleh" Sumber; news.detik.com. Meski presiden tidak secara terang-terangan menyatakan keberpihakannya kepada siapa, namun publik sudah dapat menduga bahwa presiden akan mendukung putranya untuk menduduki kursi Wakil Presiden serta membukakan jalan selebar-lebarnya bagi Calon Presiden jagoannya seperti yang pernah dilakukan Caldera terhadap Hugo Chavez.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun