Chaves dan kawan-kawan yang dulunya berusaha membunuh demokrasi negara mereka sendiri yang sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun malah mendapat dukungan dari Caldera, seorang mantan presiden yang berhasil memenangkan dukungan publik dan menduduki kursi presiden kembali pada 1993.
Caldera juga membantu Chaves memasuki istana kepresidenan dengan memukul partai-partai mapan Venezuela. Secara mengejutkan Caldera akhirnya meninggalkan COPEI, partai yang ia dirikan dan maju sebagai calon presiden independen. Kemenangannya pada pemilu 1993 makin membuka jalan bagi Chaves maju sebagai presiden 5 tahun kemudian. Akan tetapi Chaves masih memiliki masalah dengan rekam jejak dan kasus atas tuduhan makar yang pada 1994, Caldera mencabut semua tuntutan atas Chaves, sebuah upaya untuk membukakan pintu lebih lebar bagi Chaves untuk berkontestasi.
Dalam sekejap mantan pemimpin kudeta itu menjadi calon presiden dan memenangkan pemilu pada 6 Desember 1998. Pengalihan tanggung jawab kekuasaan politis oleh pemimpin yang sedang berkuasa menjadi pertanda suatu negara menuju otoriterianisme. Ketika dalam masa pemiihan presiden, Chavez menjabarkan lawannya sebagai "babi busuk" dan "oligark kotor". Setelah menjabat presiden ia membungkam para pengkritiknya dan menyebutnya sebagai musuh atau pengkhianat.
Memang kematian demokrasi di Venezuela terjadi sangat pelan hingga rakyat tak menyadari bahwa institusi-institusi penegak demokrasi sedang dibajak. Semua terlihat biasa saja karena pemerintah yang berkuasa menjalankannya begitu halus, seakan-akan semua melalui jalur hukum yang legal, disetujui parlemen, disahkan mahkamah konstitusi dan seterusnya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah aturan-aturan yang mengekang kebebasan disahkan satu persatu beserta aturan yang memudahkan jalan para oligark hingga tak ada lagi yang bisa menentangnya.
Â
Melihat kedalam negeri sekali lagi
Jika kita bandingkan apa yang sudah terjadi pada demokrasi di Venezuela dengan gejala di pemilu 2024, tentu tidak kita dapati hal yang persis sama. Sebaliknya, tidak kita dapati pula hal yang 100% berbeda. Semua memiliki aspek kesinambungan sehingga kita bisa berkata bahwa sejarah telah banyak memberikan pelajaran.
Seorang pemimpin yang memiliki rekam jejak hitam dengan sekejap menjadi calon presiden dan memenangkan pemilu. Menancapkan kekuasaannya hingga 14 tahun dan perlahan membajak alat demokrasi. Tentu hal ini sangat disayangkan jika demokrasi di Indonesia kembali dibajak setelah mati-matian para pejuang 98 merebutnya. Setelah kurang lebih 32 tahun hidup dibawah rezim otoritarianisme Soeharto yang memenjarakan kebebasan publik, kembali akan dibangkitkan melalui kotak suara pemilu.
Lebih parahnya lagi pembajakan demokrasi telah terang-terangan dimulai semenjak putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, yang dinilai kontroversial. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini sangat bernuansa politis mengingat Gibran Rakabuming Raka, putra presiden, yang sempat diisukan berpasangan dengan Prabowo Subianto sempat tersandung syarat batas usia pencalonan. Dan memang keduanya saat ini telah resmi mendaftar sebagai capres dan cawapres dalam kontestasi pemilu 2024.
Apalagi pada 24 Januari 2024 presiden Joko Widodo sempat memberikan statement kontroversial mengenari pejabat negara sekelas presiden dan menteri boleh melakukan kampanye. "Presiden tuh boleh lho kampanye, Presiden boleh memihak, boleh. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, masa berpolitik nggak boleh, boleh. Menteri juga boleh" Sumber; news.detik.com. Meski presiden tidak secara terang-terangan menyatakan keberpihakannya kepada siapa, namun publik sudah dapat menduga bahwa presiden akan mendukung putranya untuk menduduki kursi Wakil Presiden serta membukakan jalan selebar-lebarnya bagi Calon Presiden jagoannya seperti yang pernah dilakukan Caldera terhadap Hugo Chavez.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H