Manusia pada prinsipnya yang asasi merupakan makhluk individu dengan segala insting, watak, dan fitrahnya yang merdeka. Ketika manusia lahir dan bersentuhan dengan lingkungan sekitar, disitu timbulah sifat dan tanggungjawabnya secara kolektif sebagai makhluk sosial.Â
Sesuai dengan definisi sosial yang berasal dari bahasa latin yaitu socius yang memiliki arti masyarakat, menunjukan bahwa manusia membentuk hubungan kebersamaan dengan manusia lainnya guna mencapai tujuan survivelitas atau keinginan bertahan hidup, mengingat manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya mencakup dua sifat, pertama, kebutuhan yang dapat terpenuhi secara individu, kedua, kebutuhan yang terpenuhi secara bersama-sama.
Menurut Rapilington dalam penjelasanannya mengenai masyarakat pada studi sosiologi pemerintahan mengatakan, setiap kelompok manusia yang telah hidup cukup lama sehingga dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas jelas.Â
Populasi manusia yang semakin bertambah seiring perkembangan zaman, menyebabkan faktor pengaturan menjadi hal yang wajib dilakukan sehingga membagi tatanan masyarakat kedalam dua klasifikasi.Â
Pertama, masyarakat yang mengatur, kedua, masyarakat yang diatur. Dari  latar belakang inilah kemudian muncul persoalan mengenai hak, kewajiban, serta wewenang untuk mengatur dan diatur, mengenai hak mana saja yang mesti dipenuhi, kewajiban apakah yang perlu dijalankan, serta atas dasar wewenang apa sekelompok masyarakat boleh memberikan perintah maupun larangan, yang kemudian disebut sebagai bentuk kekuasaan.
Memandang kekuasaan dewasa ini secara empiris yang telah menjadi perebutan masyarakat kelas elite, membuktikan bahwa kekuasaan atas pengaturan bukan lagi semata-mata mewujudkan tujuan guna keteraturan dan keberlangsungan  hidup masyarakat yang "diatur", menjadi lebih sejahtera dan stabil.Â
Namun telah tercemari oleh kepentingan-kepentingan elite penguasa atas wewenang dalam mengatur dan menjalankan hukum untuk memenuhi keinginan individualnya.Â
Persoalan ini didukung dengan pendapat Max Weber yang menyatakan bahwa "kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemauan ini". Dari sini terdapat benturan antara kepentingan penguasa yang cenderung tidak menghiraukan kepentingan rakyat sesuai asas ikatan hidup orang banyak.
Salah satu studi kasus yang kiranya perlu dikaji secara mendalam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah, persoalan Rancangan Undang-Undang (yang selanjutnya disebut RUU) yang hendak diberlakukan kepada masyarakat sebagai bentuk aturan normatif yang disusun oleh negara dan bersifat mengikat.Â
Menyikapi hal ini, perlu adanya memandang RUU secara general, yaitu secara keseluruhan aturan yang akan diterapkan dalam bentuk partikular, sehingga pokok permasalah inti yang menyebabkan kontradiksi antara kepentingan penguasa dan kepentingan rakyat dapat terlihat jelas.Â
Permasalahan seperti ini tidak dapat ditemukan ketika mengkaji RUU secara point per point sebagaimana adannya, sebab hal tersebut berubah sifat menjadi spesifik atau teknis belaka.
Menindak lanjuti atas permasalahan tersebut, sesuatu yang bersifat fundamental dan mempengaruhi proses berjalannya sistem pemerintahan dan hukum yang dijalankan oleh penguasa adalah konsep Negara. Konsep Negara Indonesia sendiri menganut konsep Demokrasi, yang mana kekuasaan harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai.Â
Selain itu Demokrasi meniscayakan terlaksanannya tiga prinsip dasar yaitu, persamaan, kebebasan, dan pertisipasi. Sehingga peran dan aspirasi masyarakat tentunya menjadi hal yang patut dipertimbangkan dalam menerapkan kebijakan yang menyangkut keberlangsungan hidup mereka.Â
Maka kursi kekuasaanlah yang seharusnya menampung kepentingan rakyat guna mengarahkan  negara dalam kerangka keadilan, kebebasan dan solidaritas bangsa dengan tindakan yang bersifat subsider, yaitu sebuah tindakan yang menunjang dan memaksimalkan kemampuan serta kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Akan tetapi, bukan berarti kepentingan rakyat terhadap penguasa menjadi kehendak mutlak yang mesti terlaksana. Ada berbagai batasan bagi kedaulatan rakyat untuk menciptakan kestabilan berlangsungnya demokrasi. Maka keterbatasan itu berlaku dua arah.Â
Pertama ialah segala macam bentuk keputusan tidak sepenuhnya diambil dan ditentukan secara langsung oleh rakyat. Yang perlu ditekankan adalah fungsi rakyat sebagai kontrol atas penguasa yang menjalankan pemerintahan terhadap masyarakat yang diatur.Â
Walaupun dalam kerangka semacam ini partisipasi masyarakat dalam mengambil peran terhadap keputusan tetap bersifat terbatas, namun partisipasi tersebut tetaplah nyata.Â
Kedua, mempertimbangkan kehendak rakyat yang bersifat mayoritas. Tidak menafikan kemungkinan demokrasi dapat berubah menjadi totaliter ketika mayoritas kehendak masyarakat memutlakan kepentingannya terhadap bentuk minoritas lainnya. Maka untuk mencegah terjadinya hal semacam ini perlu memandang secara etis bentuk keputusan.Â
Seperti halnya yang disampaikan Franz magnis-suseno bahwa "segenap kehendak satu pihak menemukan batasannya pada pihak lainnya". Tidak ada bentuk kebebasan serta hak yang bersifat tanpa batas. Sebagai makhluk sosial, manusia wajib menghormati keutuhan yang terungkap dalam hak-hak yang dimiliki setiap individu.
Untuk mewujudkan bentuk tatanan masyarakat yang ideal, tentunya diperlukan sumber Hukum yang sesuai dengan kepentingan dan cita-cita masyarakat. Sumber itu ialah pancasila, yang menurut Prof.Dr.Notonegoro telah ditetapkan sebagai filsafat dan tujuan negara Indonesia. Namun dalam pemberlakuannya di masyarakat, hukum tidak bisa begitu saja ditetapkan dalam bentuk abstrak.Â
Hanya jika hukum dikerucutkan menjadi bentuk peraturan yang adil dan dijalankan dengan pasti, hukum baru dapat menjalankan fungsinya. Sehingga identifikasi hukum yang bersifat abstrak perlu penafsiran ke suatu bentuk peraturan dan perundang-undangan sesuai koridor ciri hukum yang adil dan pasti.Â
Dengan demikian adanya tata tertib pelaksanaan hukum sebenarnya merupakan kepentingan objektif yang menyangkut kepentingan semua pihak dalam masyarakat. Maka dimana ada masyarakat disitulah terdapat hukum yang berlaku.
Setelah diketahui secara pasti prinsip Demokrasi dan batasan kedaulatan rakyat, serta ciri hukum dan pengatualisasiannya yang mesti bersifat konkrit dalam masyarakat. Terdapatlah kesimpulan antara bentuk kepentingan penguasa dan kepentingan rakyat yang mempengaruhi kebijakan RUU di Indonesia.Â
Jurang kepentingan inilah yang kemudian meruncing sebab ketimpangan prinsip yang menjadi syarat terlaksanannya Hukum dan Demokrasi tidak dijalankan dengan semestinya.Â
Ketimpangan yang terjadi tidak lain karena tergerusnya prinsip-prinsip ideal oleh kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang memegang tampuk kursi kekuasaan. Jika ditarik dengan kebijakan RUU yang diterapkan pemerintah Indonesia, sehingga memancing gerakan penolakan besar-besaran oleh kalangan mahasiswa. Maka boleh disimpulkan bahwa terjadi ketidak sesuaian RUU dengan asas Hukum yang merupakan kepentingan objektif.
Kepentingan yang seharusnya mendasarkan diri atas kepentingan semua pihak dalam masyarakat, telah ditarik ulur menjadi kebijakan yang menguntungkan tindakan segelintir kelompok masyarakat saja. Fakta lapangan saat ini ialah menyoal RUU di Indonesia yang merupakan hasil dari proses pengerucutan dari sumber hukum, tidak sesuai dengan asas legitimasi sosiologis yang mempertanyakan dasar suatu hukum dapat diterima di masyarakat, sehingga terjadi penolakan pengakuan masyarakat terhadap hukum.Â
Pertanyaannya adalah, apakah boleh sembarang tatanan normatif asal saja dibuat dan dipaksakan pelakasanaanya oleh penguasa yang sah yaitu negara dalam masyarakat bisa disebut hukum?, ataukah sistem peraturan itu boleh dikatakan sah apabila diakui keabsahannya oleh masyarakat itu sendiri?.
Tentu dua pertanyaan yang berbeda itu memuat landasan kepentingan yang begitu besar, apalagi melihat produk RUU yang dibuat dewan legislatif 2014/2019 diakhir jabatan mendapat macam-macam penilaian negatif dari masyarakat serta rentan gugatan. Pada masalah pertama, mencerminkan bahwa RUU hanya dibuat untuk memenuhi kepentingan elite penguasa yang sah, sebab mengingat Program Legislatif Nasional (Prolegnas) yang dimulai sejak 2018 harus segera disahkan pada Oktober 2019.Â
Pembahasan RUU dinilai sunyi sehingga menuai hasil yang kontroversi dari kalangan pemerhati hukum. Seperti dikutip dari Peneliti Indonesia Legal Resource Center (ILRC) menyoroti salah satu RUU yaitu RUU-KUHP, Siti Aminah, menilai pembahasan RUU-KUHP terkesan terburu-buru, sehingga menyarankan untuk mengesahkan RUU-KUHP itu dari buku satu dulu, sebab buku dua terlalu berat. Ibarat semua aspek kehidupan kita diatur dalam buku dua (2/7/2019).Â
Terlihat jelas ada kepentingan program kerja yang harus segera dipenuhi dan menyebabkan tidak dihiraukannya akibat dari penerapannya nanti di masyarakat.
Permasalahan kedua, meniscayakan pengakuan dari masyarakat terhadap produk RUU. Pengakuan bukan berarti sekedar mengakui adanya RUU yang hendak diberlakukan, namun menjalani pokok-pokok isi didalamnya atas dasar kesadaran dan sukarela. Sebab RUU yang diterima kalangan masyarakat akan menjadi bentuk kepastian hukum yang ideal. RUU itu diterima dengan alasan vital untuk melindungi hak-hak Individu, karena bukan tidak mungkin keinginan individu tanpa hukum menjadi tinggi dan menindas individu lain. Maka hukum yang dibuat boleh dikatakan bermanfaat untuk mengatur ikatan hidup bersama.Â
Dengan kata lain RUU lebih baik diadakan dari pada tidak ada sama sekali. Sanksi atas pelanggaran hanya menjadi penunjang terlaksannya hukum sekaligus memperkokoh tatanan hukum normatif dan memaksakan ketaatan segilintir masyarakat yang belum begitu peduli soal kesadaran hukum.
Maka Negara Indonesia yang menerapkan konsep Demokrasi, haruslah memperhatikan terlebih dahulu prinsip-prinsip sistem demokrasi itu guna menjalankan pemerintahannya. Termasuk hukum itu sendiri yang masuk dalam ruang lingkup aturan pemerintahan, harus sesuai dan tidak bertentangan sebagai bagian dari sistem demokrasi.Â
Menurut Satjipto Rahardjo, 4 karakteristik hukum di Indonesia ialah, bersifat terbuka , memberikan Informasi terlebih dahulu, tujuannya jelas, mengatasi goncangan. Empat karakteristik tersebut bila berkaca pada demokrasi yang bermakna "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" terdapat kesesuaian dengan memprioritaskan rakyat sebagai elemen utama yang memutuskan aturan lewat aspirasinya sekaligus menjadi ketetapan bagi seluruh elemen masyarakat.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan negara hukum Indonesia supaya tidak terus berkutat pada persoalan hukum partikular, sebagai misal ialah RUU yang saat ini menjadi sebuah produk hukum kontroversial dan rentan gugatan. Wajib kiranya untuk memahami lagi apa yang saya terangkan diatas yaitu dasar hukum secara universal, yang merangkul segala aspek penerapannya di Indonesia.Â
Hal tersebut hanya dapat di dirumuskan sebagai dasar hukum universal dalam koridor ciri dan kemanfaatan hukum. Sehingga bentuk konkrit penerapan RUU yang secara langsung dapat dirasakan efeknya oleh masyarakat menjadi cermin suksesnya konsep Demokrasi guna mewujudkan Negara Indonesia sebagai Negara Hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H