Setelah diketahui secara pasti prinsip Demokrasi dan batasan kedaulatan rakyat, serta ciri hukum dan pengatualisasiannya yang mesti bersifat konkrit dalam masyarakat. Terdapatlah kesimpulan antara bentuk kepentingan penguasa dan kepentingan rakyat yang mempengaruhi kebijakan RUU di Indonesia.Â
Jurang kepentingan inilah yang kemudian meruncing sebab ketimpangan prinsip yang menjadi syarat terlaksanannya Hukum dan Demokrasi tidak dijalankan dengan semestinya.Â
Ketimpangan yang terjadi tidak lain karena tergerusnya prinsip-prinsip ideal oleh kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang memegang tampuk kursi kekuasaan. Jika ditarik dengan kebijakan RUU yang diterapkan pemerintah Indonesia, sehingga memancing gerakan penolakan besar-besaran oleh kalangan mahasiswa. Maka boleh disimpulkan bahwa terjadi ketidak sesuaian RUU dengan asas Hukum yang merupakan kepentingan objektif.
Kepentingan yang seharusnya mendasarkan diri atas kepentingan semua pihak dalam masyarakat, telah ditarik ulur menjadi kebijakan yang menguntungkan tindakan segelintir kelompok masyarakat saja. Fakta lapangan saat ini ialah menyoal RUU di Indonesia yang merupakan hasil dari proses pengerucutan dari sumber hukum, tidak sesuai dengan asas legitimasi sosiologis yang mempertanyakan dasar suatu hukum dapat diterima di masyarakat, sehingga terjadi penolakan pengakuan masyarakat terhadap hukum.Â
Pertanyaannya adalah, apakah boleh sembarang tatanan normatif asal saja dibuat dan dipaksakan pelakasanaanya oleh penguasa yang sah yaitu negara dalam masyarakat bisa disebut hukum?, ataukah sistem peraturan itu boleh dikatakan sah apabila diakui keabsahannya oleh masyarakat itu sendiri?.
Tentu dua pertanyaan yang berbeda itu memuat landasan kepentingan yang begitu besar, apalagi melihat produk RUU yang dibuat dewan legislatif 2014/2019 diakhir jabatan mendapat macam-macam penilaian negatif dari masyarakat serta rentan gugatan. Pada masalah pertama, mencerminkan bahwa RUU hanya dibuat untuk memenuhi kepentingan elite penguasa yang sah, sebab mengingat Program Legislatif Nasional (Prolegnas) yang dimulai sejak 2018 harus segera disahkan pada Oktober 2019.Â
Pembahasan RUU dinilai sunyi sehingga menuai hasil yang kontroversi dari kalangan pemerhati hukum. Seperti dikutip dari Peneliti Indonesia Legal Resource Center (ILRC) menyoroti salah satu RUU yaitu RUU-KUHP, Siti Aminah, menilai pembahasan RUU-KUHP terkesan terburu-buru, sehingga menyarankan untuk mengesahkan RUU-KUHP itu dari buku satu dulu, sebab buku dua terlalu berat. Ibarat semua aspek kehidupan kita diatur dalam buku dua (2/7/2019).Â
Terlihat jelas ada kepentingan program kerja yang harus segera dipenuhi dan menyebabkan tidak dihiraukannya akibat dari penerapannya nanti di masyarakat.
Permasalahan kedua, meniscayakan pengakuan dari masyarakat terhadap produk RUU. Pengakuan bukan berarti sekedar mengakui adanya RUU yang hendak diberlakukan, namun menjalani pokok-pokok isi didalamnya atas dasar kesadaran dan sukarela. Sebab RUU yang diterima kalangan masyarakat akan menjadi bentuk kepastian hukum yang ideal. RUU itu diterima dengan alasan vital untuk melindungi hak-hak Individu, karena bukan tidak mungkin keinginan individu tanpa hukum menjadi tinggi dan menindas individu lain. Maka hukum yang dibuat boleh dikatakan bermanfaat untuk mengatur ikatan hidup bersama.Â
Dengan kata lain RUU lebih baik diadakan dari pada tidak ada sama sekali. Sanksi atas pelanggaran hanya menjadi penunjang terlaksannya hukum sekaligus memperkokoh tatanan hukum normatif dan memaksakan ketaatan segilintir masyarakat yang belum begitu peduli soal kesadaran hukum.
Maka Negara Indonesia yang menerapkan konsep Demokrasi, haruslah memperhatikan terlebih dahulu prinsip-prinsip sistem demokrasi itu guna menjalankan pemerintahannya. Termasuk hukum itu sendiri yang masuk dalam ruang lingkup aturan pemerintahan, harus sesuai dan tidak bertentangan sebagai bagian dari sistem demokrasi.Â