Mohon tunggu...
Ahmad Akfiyan
Ahmad Akfiyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh graduated from governmental science

Someone who love poetry and tranquility

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Pasca Ideologi

21 Juli 2022   15:57 Diperbarui: 21 Juli 2022   16:01 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ilustrasi dari Disapride

Ideologi berlarian dari manusia ke manusia lainnya, masuk dalam balutan individu sampai mewabah pada kelompok serta tatanan masyarakat. Lompatanya jauh ke berbagai zaman dan generasi, kemudian ikut serta menyaksikan sejarah yang mengantarkan umat manusia kedalam wacana perubahan yang diikuti oleh romansa persatuan dan perpecahan, persekongkolan dan perselisihan, pertumpahan darah, keringat dan air mata, hingga ikut serta dalam konflik yang tiada pertanda kapan berakhir. Begitulah perjalanan ideologi mewarnai perkembangan budaya dan peradaban, hingga diskursus tentang ideologi yang menjamur akhirnya menguap keudara bersamaan dengan munculnya era disrupsi.

Dalam hal ini, kita akhirnya mempertanyakan. Seberapa relevankah ideologi terhadap individu manusia di era yang serba praktis hari ini?. Seluruh kemajuan dan perkembangan seakan-akan telah terlepas dari nilai-nilai ideologis dan beralih dengan memusatkannya pada sains semata. Memang benar jika kita menarik akar dari sains yang objektif dalam melihat realitas merupakan bagian dari ideologi yang rasional. 

Akan tetapi, setelah objektifitas tersebut didapatkan manusia dan berkembang, maka nilai ideologis tersebut seakan memudar, tidak dibutuhkan lagi bahkan justru dianggap sebagai penghambat bagi perkembangan. Namun apakah benar bahwa yang tengah terjadi sekarang adalah hal yang demikian?.

Manusia membutuhkan suatu hal yang disebut sebagai pandangan dunia dalam memutuskan realitas, yang tidak lain ialah sumber terciptanya nilai-nilai ideologis. Hal ini disebabkan karena pertama, pandangan dunia merangkum berbagai hal fundamental yang menjadi pijakan dasar bagi manusia untuk menentukan otientasi. 

Dalam urusan yang sederhana seperti makan dan minum, manusia membutuhkan dasar atas kegiatannya bahwa ia sedang merasakan lapar dan haus. Perasaan lapar dan haus merupakan kondisi realitas yang memaksa manusia untuk segera mengambil keputusan untuk bertindak menghadapi kondisi tersebut. 

Akan tetapi perbedaan letak geografis, kondisi sosial dan ekonomi menciptakan perbedaan atas pilihan manusia dalam menyantap makanan dan minuman. Hal ini tentu berlaku terhadap urusan yang lebih kompleks. Seperti bagaimana pandangan dunia setiap manusia dalam memandang kondisi objektif materil jagat raya?. 

Sudah dapat dipastikan bahwa sebagian manusia yang menyandarkan pandangan dunianya pada hal mistik akan mengasumsikan realitas adalah misteri. Begitupula dengan pandangan dunia yang rasional akan memunculkan asumsi objektifitas terhadap realitas yang rasional dan dapat diperiksa kebenarannya.

Kedua, pandangan dunia berkontribusi atas perbedaan sikap dan tindakan yang diambil oleh manusia. Perbedaan referensi atas pijakan dasar yang bersifat fundamental akan semakin mempertajam perbedaan orientasi manusia. Sedangkan orientasi mendasari sikap dan tindakan yang diambil manusia dalam menghadapi realitas. 

Maka secara parsial, setiap manusia telah mengambil kemajemukannya yang mutlak, yang secara sederhana menyangkut aspek geografis, sosial dan ekonomi. Memang orientasi, sikap dan tindakan menjadi kesatuan bagi manusia dalam hidup meskipun masing-masing dari hal tersebut memiliki perannya. Seperti yang disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno bahwa manusia membutuhkan orientasi dan dari orientasi tersebut manusia mengambil tindakan.

Ketiga, atas orientasi, sikap dan tindakan manusia menciptakan berbagai dinamika kebudayaan hingga pada tatanan yang lebih kompleks akan menghasilkan peradaban. Peradaban yang berbeda dari sebelumnya tentu akan merubah pandangan dunia manusia.

Pada peradaban yang telah menemukan kemajuan sains dan teknologi, nilai-nilai ideologis seakan memudar dan berganti dengan kerja praktis. Sehingga nilai yang bersifat universal itu tidak lain telah berubah menjadi nilai praktis yang tidak dikatakan berguna jika memang tidak dapat menunjukan kegunaannya.

Namun argumentasi ini merupakan asumsi atas fenomena yang sedang berlangsung. Pada abad ke 21 perubahan nilai-nilai ideologis menjadi bentuk kerja praktis memunculkan pertanyaan yang dilematis. 

Pertama, apakah nilai-nilai ideologis tersebut -dewasa ini ialah demokrasi liberal produk kapitalis- telah terjewantahkan dalam bentuk pragmatisme masyarakat yang tidak lain adalah manifestasi nilai-nilainya. Atau kedua, apakah nilai-nilai ideologis telah memudar akibat dari pragmatisme masyarakat ?.

 Dua pertanyaan kontradiktif ini telah menggambarkan perspektif yang muncul akibat fenomena peradaban yang tengah terjadi secara global. Akan tetapi muara dua pertanyaan tersebut berakhir pada era disrupsi yang mengantarkan masyarakat pada digitalisasi, dimana kemudahan informasi, komunikasi, teknologi dan proses yang singkat menciptakan apatisitas untuk menelaah beragam nilai-nilai universal. 

Maka yang menjadi persoalan ialah, apakah benar nilai-nilai ideologis itu telah termanifestasi dalam bentuk kerja praktis atau justru semakin memudar dan sudah kehilangan relevansinya dengan kondisi zaman.

Post Ideologi

Istilah ideologi pertama kali dikemukakan oleh Destutt de Tracy, seorang warga negara Perancis pada tahun 1796. Menurut Tracy, ideologi ialah 'science of ideas' suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional. Dalam perkembangannya, istilah ideologi semakin populer dengan berbagai narasi gagasan yang disampaikan sebagai solusi atas situasi dan kondisi yang tengah menjadi problem peradaban.

Berbagai macam ideologi yang muncul kemudian menjadi panutan berbagai negara seperti Kapitalisme, Komunisme, Fasisme, Nasionalisme, Sosialisme dan lain sebagainya. Dengan dalih kebenaran ideologis serta latar belakang untuk terus mempertahankan eksistensi ideologi setiap negara, perseteruan antar ideologi meletus dengan dimulainya perang dunia pertama dan perang dunia kedua yang membawa banyak kehancuran bagi umat manusia.

Dunia akhirnya dihadapkan dengan dua ideologi raksasa sebagai pemenang perang, yang membelah negara-negara dunia menjadi dua kubu selama perang dingin berkecamuk, yakni Kapitalisme sebagai blok barat dan Komunisme sebagai blok timur. 

Perseteruan dua ideologi besar dunia terus berlanjut dengan berbagai macam propaganda, agitasi maupun kompetisi sains dan teknologi sebagai ajang unjuk kekuatan. Namun pada akhir abad ke 20, Uni Soviet yang diklaim sebagai kejayaan dan kesuksesan komunisme dalam membangun sistem negara akhirnya harus tumbang sehingga blok barat yang mewakili kapitalisme tampil sebagai pemenang perseteruan ideologi dunia.

Era baru kemenangan kapitalisme memunculkan banyak sekali persepsi terutama dari kalangan cendekiawan. The End of Ideologi karya Daniel Bell ataupun The End of History dari Francis Fukuyama seakan mengungkapkan bahwa dunia telah mencapai klimaks. Kapitalisme yang tetap eksis digadang-gadang telah menjadi solusi atas problem peradaban dunia sehingga gambaran atas dunia kedepan adalah kemajuan dibawah kapitalisme global. 

Mengenai benar atau tidaknya pendapat mereka, maupun pertanyaan apakah teori mereka masih relevan atau sudah terpatahkan. Penulis tidak hendak membahas mengenai hal tersebut, tetapi pada implikasi sistem kapitalisme, bahwa negara-negara dunia beserta masyarakat saat ini tengah mengalami disrupsi yang dibawa oleh kemajuan sains dan teknologi hingga pragmatisme masyarakat mencuat.

Mengecilnya rasio pengaruh pertentangan ideologi dunia serta munculnya kapitalisme sebagai pemenang dominasi global berdampak pada pergeseran budaya masyarakat yang lebih pragmatis, yang dikenal dengan masyarakat paska ideologi (Post Ideological). Pada kondisi ini masyarakat lebih apatis dengan narasi-narasi besar sehingga menyandarkan cita-citanya pada bentuk kehidupan sederhana yang lebih individualistik dan konsumerisme. 

Fenomena semacam ini cenderung menjangkit generasi muda yang lebih memilih nongkrong di mall, membicarakan mengenai gosip selebritis atau asik memainkan gadget sebagai sekadar penikmat kecanggihan era modernisasi. Selain itu beberapa dari bagian masyarakat yang lain lebih memilih untuk memikirkan bagaimana dapat hidup dengan mapan, mendapatkan pekerjaan yang mudah dan memperoleh pasangan hidup yang diidamkan.

Era paska ideologi membentuk masyarakat yang terombang-ambing tanpa adanya pegangan hidup yang memberikan pedoman atas cita-cita kehidupan kolektif yang lebih baik. 

Diterimanya demokrasi liberal sebagai produk sistem kapitalisme menciptakan pemikiran masyarakat untuk menyerah pada realitas sebab telah memberikan ruang kebebasan bagi setiap individu. 

Permasalahannya adalah bahwa masyarakat tersusun atas individu lainnya. Penyerahan terhadap status quo justru menimbulkan cita-cita individulistik, intoleransi, pengabaian hak individu lainnya sampai penghisapan manusia terhadap manusia akibat dari memudarnya tujuan kesejahteraan kolektivisme masyarakat.

Kesimpulan

Pada konteks masyarakat, ideologi tidak pernah benar-benar kehilangan relevansinya. Ia terus "menjadi" demi terciptannya kolektivisme kesejahteraan masyarakat. Pragmatisme masyarakat adalah produk dari sistem ideologi dominan yang menghegemoni meskipun tidak secara langsung menghimpun kekuatan penganutnya. 

Artinya masyarakat secara tidak sadar menjalankan tujuan ideologi tersebut mengikuti sistem yang telah menjadi rule sehingga mengarah pada pola peradaban tertentu. Pada tingkat kesadaran masyarakat yang lebih tinggi, ia merupakan tujuan yang memuat prinsip-prinsip beserta pedoman operasional guna menciptakan pandangan dunia selaras dengan cita-cita idealnya.

Maka untuk mewujudkan kesadaran kolektif masyarakat demi tercapainya kesejahteraan bersama, ideologi tidak dapat begitu saja dijadikan doktrin entah melalui alternatif dominasi maupun hegemoni. Melainkan melalui pembinaan berkala dari segi pendidikan maupun propaganda terstruktur dan sistematis sehingga tidak meninggalkan narasi tujuan bersama dari adanya masyarakat ditengah perkembangan peradapan pada sains dan teknologi. 

Sebaliknya, pemaksaan kesadaran masyarakat untuk menerima narasi-narasi besar hanya akan berakhir pada stagnasi perkembangan peradaban. Dengan demikian, pada level masyarakat yang memiliki kesadaran lebih tinggi akan berimplikasi pada produk masyarakat dibawahnya sesuai dengan tujuan pokok suatu ideologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun