Perempuan itu langsung menarik tangannya. Memberikan kamera yang menyatu dengan sebuah ponsel. Kamera jaman sekarang sudah canggih. Ia bisa dibawa kemana saja, kapan saja selama ada baterai. Bahkan bisa dipakai menelepon. Luar biasa.Â
Ketika difoto, perempuan itu memoosisikan badannya miring, mengangkat sedikit wajahnya, dan senyum tipis. Ah, kenapa dia tersenyum. Padahal itu tidak keliatan di foto. Bagaimana mau terlihat kalau matahari tertutup badannya yang cukup tinggi dengan berat kutaksir 48kg. Cahanya emas hanya merekah dari sekeliling tubuh itu. Bukankah itu siluet? Lalu untuk apa dia tersenyum?
"sudah kubilang aku tak bisa memotret"
"ini bagus, kok"
Sementara perempuan itu melihat hasil foto, lelaki itu berdiri. Menaruh tangannya di pagar gedung. Dari atap lantai delapan gedung ini ia biasa menikmati sepi dan hanya di sudut ini yang mengarah ke matahari. Sudut lain sebenarnya bisa saja kalau tidak tertutup gedung-gedung sekitarnya.Â
Perempuan itu mendekati laki-laki tadi. Mereka memandangi jalanan dan matahari yang perlahan pulang. Hari ini kebetulan cuacanya cerah. Awan di sekitarnya tidak menutupi. Jadi cahanya yang kuning kemerahan itu mampu menyebar ke seluruh sampai tiba di mata mereka. Perempuan itu cantik. Akan banyak laki-laki tertarik.Â
Tapi lelakinya biasa saja. Heran kenapa perempuan itu tertarik menemani si lelaki yang biasa saja. Apa di dunia ini sudah kekurangan laki-laki ganteng sampai-sampai perempuan secantik itu mau dengan lelaki yang biasa saja. Dunia ini memang sudah aneh dan semakin aneh. Ada yang bilang kalau lelaki biasa bisa mendapatkan hati perempuan cantik kalau dia humoris. Buktinya banyak comedian yang punya istri cantik. Tapi aku ragu dengan lelaki itu. Dari tadi dia diam saja hanya memandangi sekitarnya. Perempuan itu juga tidak tertawa, hanya sesekali senyum tipis.
Aku masih menikmati segelas Americano. Mereka memang hanya berjarak kurang dari  sepuluh meter dari sisi kananku. Kembali kunyalakan kretek. Sial. Sudah tinggal empat batang. Padahal sebungkus rokok ini baru kubeli pagi tadi. Biasanya satu hari setengah bungkus. Harga rokok semakin mahal sekarang. Cukainya naik, otomatis harga juga ikut naik, tapi nasib petani tembakau tetap ada di kaki kesejahteraan. Ah, kesejahteraan. Kata yang sering kali diucapkan anggota dpr ketika memulai kampanyenya.Â
Tapi entah kesejahteraan yang bagaimana. Di kampungku, ada anggota dpr yang sudah jadi wakil daerah selama tiga periode. Tapi kehidupan kami biasa-biasa saja. Ketika musim pemilihan tiba, ia akan sibuk kesana-kemari, mengunjungi sana-sini, termasuk desaku. Ia akan mendengarkan seluruh keluhan warga di balai desa, di lapangan, bahkan di pos ronda. Begitu ia terpilih sebagai anggota dpr, jarang sekali aku mendengar dia kunjungan. Di Koran daerah juga jarang sekali namanya diberitakan berkunjung. Padahal suara kami sudah serak memanggil. Kami panggil di balai desa, di kecamatan, di kabupaten. Baru kemudian setelah di Ibu Kota dia keluar dan mendengar. Tapi dia hanya mendengar dengan kupingnya, tidak ada anggota lain yang dilibatkan. Ia hanya akan menjawab dengan "nanti akan kami sampaikan ke pemerintah".
"kamu sering ke tempat seperti ini?"
"yaa"