Di istana megah Dwaraka, Kresna berdiri di balkon, memandang luas lautan yang memantulkan cahaya matahari pagi. Angin bertiup lembut, tetapi wajahnya penuh dengan renungan. Utusan dari Pandawa baru saja pergi, membawa pesan penting: perang besar melawan Kurawa di Kurukshetra tak terelakkan. Â
"Aku bisa mencegah ini, tetapi itu hanya akan menunda takdir," pikirnya. Sebagai penjelmaan Wisnu, tugasnya adalah menegakkan dharma, apa pun konsekuensinya. Â
Kresna berjalan ke aula utama, di mana saudara-saudaranya menunggu. Balram, kakaknya, mendekat dengan wajah serius. Â
"Kresna, kenapa kau tidak menolak? Perang hanya membawa kehancuran, bukan kedamaian," kata Balram. Â
Kresna tersenyum kecil. "Terkadang, untuk menegakkan keadilan, kita harus melalui kehancuran. Dharma bukan tentang menghindari konflik, tetapi tentang menyeimbangkan dunia."Â Â
Balram hanya menghela napas. Ia tahu, ketika Kresna sudah memutuskan, tak ada yang bisa mengubah pikirannya. Â
Pertemuan dengan Arjuna Â
Beberapa hari kemudian, Kresna tiba di perkemahan Pandawa. Arjuna, kesatria gagah yang menjadi andalan Pandawa, menyambutnya. Tetapi di balik matanya yang tajam, ada keraguan yang mendalam. Â
"Kresna, perang ini... apa benar ini jalan yang harus kami tempuh?" tanya Arjuna ketika mereka duduk di bawah pohon beringin. Â
"Kenapa kau ragu, Arjuna?" Kresna balik bertanya. Â
Arjuna menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin aku mengangkat senjata melawan kakekku, Bhisma, atau guruku, Drona? Mereka adalah keluargaku. Aku lebih baik mati daripada membunuh mereka."Â Â
Kresna menatapnya lama, lalu berkata, "Arjuna, kau bukan hanya seorang kesatria. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dharma harus ditegakkan, bahkan jika itu berarti melawan orang-orang yang kau cintai."Â Â
"Tapi bagaimana aku bisa hidup dengan dosa sebesar itu?"Â Â
Kresna tersenyum. "Dosa bukan berasal dari tindakan, tetapi dari niat. Jika kau bertindak untuk kebenaran, tanpa keterikatan pada hasil, itu bukan dosa. Kau hanya alat dari kehendak semesta."Â Â
Arjuna masih ragu. Melihat itu, Kresna berdiri dan mengangkat tangannya. Dalam sekejap, wujudnya berubah. Ia menunjukkan bentuk Vishvarupa, wujud semestanya. Â
Arjuna melihat Kresna sebagai sosok yang meliputi segalanya: langit, bumi, waktu, bahkan kematian. Dalam satu tarikan napas, ia menyaksikan kehancuran dan penciptaan. Â
"Kresna... siapa kau sebenarnya?" bisik Arjuna. Â
"Aku adalah segalanya, Arjuna. Aku adalah awal dan akhir. Aku ada di setiap jiwa, termasuk di dirimu. Ingatlah, kau hanya pelaku, bukan pemilik tindakanmu."Â Â
Arjuna jatuh bersujud. "Aku mengerti, Kresna. Aku akan melakukan tugasku."Â Â
Di Tengah Perang Â
Ketika perang dimulai, Kresna mengambil peran sebagai kusir kereta Arjuna. Ia tidak mengangkat senjata, tetapi kehadirannya menjadi sumber kekuatan bagi Pandawa. Ia memberikan strategi, seperti meminta Bhima menghancurkan paha Duryodhana dan menciptakan ilusi untuk mengalahkan Drona. Â
Namun, setiap kemenangan membawa pengorbanan. Ribuan prajurit gugur, termasuk Abimanyu, putra Arjuna. Â
Suatu malam, setelah pertempuran besar, Arjuna mendekati Kresna. Wajahnya kusut, matanya merah karena duka. Â
"Kresna, aku merasa hampa. Apa arti semua ini? Kita menang, tetapi aku kehilangan begitu banyak," katanya. Â
Kresna memandangnya dengan lembut. "Arjuna, perang ini bukan tentang kemenangan. Ini tentang menegakkan dharma. Kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Ingatlah, yang sejati tidak pernah mati, dan yang fana tidak pernah abadi. Jangan terikat pada apa yang telah hilang. Jalanmu masih panjang."Â Â
Penutup
Setelah perang usai, Kresna kembali ke Dwaraka. Ia tahu tugasnya di dunia belum selesai. Di sebuah malam yang tenang, ia duduk sendiri, memandang bintang-bintang. Â
"Keadilan telah ditegakkan, tetapi dunia masih membutuhkan pembelajaran. Dharma tidak pernah selesai. Setiap jiwa harus menemukannya dalam dirinya sendiri."Â Â
Dengan senyum kecil, ia menutup matanya, menunggu panggilan tugas berikutnya. Â
Pesan Moral:
1. Tindakan tanpa keterikatan: Hidup adalah tentang menjalankan peran kita tanpa terikat pada hasil. Â
2. Pengorbanan untuk kebenaran: Terkadang, kita harus melewati rasa sakit untuk menegakkan keadilan. Â
3. Kebijaksanaan universal: Setiap manusia adalah bagian dari rencana besar yang melampaui pemahaman mereka. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H