Aku menunda niat turun ke perkampungan. Aku berbalik arah menuju tenda orang tua Ratih. Aku terkejut saat masuk ke tenda. Di dalam tenda aku menjumpai kedua orang tuaku bersama kedua orang tua Ratih. Rupanya mereka telah membicarakan sesuatu.
“Wah, ini ada apa kok kumpul semua di sini?” tanyaku pura-pura tidak tahu kepada mereka.
“Begini, Nak Rafi. Tadi kami sudah ngomong-ngomong dengan orang tuamu,” kata ayah Ratih.
“Iya, Rafi. Tentang rencana pernikahanmu dengan Ratih. Kami sudah sepakat bahwa akad nikahmu dilaksanakan besok lusa,” sambung ayahku.
Aku berpura-pura memikirkan berita bahagia ini dengan berdiam sejenak. Padahal dalam hatiku sangat senang dengan keputusan itu.
“Baiklah, Ayah. Saya sangat bahagia mendengar keputusan ini. Kami siap melaksanakan akad nikah besok lusa,” jawabku tegas yang diikuti gemuruh tawa dari kami sekeluarga. Duka lara selama di pengungsian lenyap seketika. Kami menyambut tiga hari tersisa dengan senyum dan suka cita.
Kami turun ke perkampungan untuk membersihkan rumah dan memperbaiki pilar-pilar rumah yang rusak karena terendam banjir hampir sepekan lebih. Kami mempersiapkan tempat untuk keperluan akad nikah yang rencananya akan kami laksanakan dalam suasana kesederhanaan karena baru saja tertimpa musibah luapan air bengawan solo. (*)
Wanar, Desember 2013