Kepanikan melanda kami ketika tanggul penahan air bengawan solo retak. Para warga panik. Mereka sibuk menyelamatkan barang berharga yang dimilikinya. Mereka membawanya ke tempat atau dataran yang lebih tinggi atau ke tempat pengungsian yang telah disediakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Warga tak mempedulikan tubuhnya basah kuyup. Mereka menerjang jeruji jemari hujan yang semakin mengganas dan semakin kokoh menancap di bantaran bengawan solo. Kilatan dan suara petir yang bersabung di angkasa tak menyitukan nyali kami bertarung dengan alam. Yang ada pada benak kami hanyalah jiwa dan raga serta barang yang tersisa bisa selamat demi mempertahankan kehidupan.
“Ayo, cepat! Sini kubantu,” kataku kepada salah seorang warga yang membawa binatang ternaknya.
“Mas, tolong aku!” seru suara gadis dari kerumunan warga.
Aku segera melihat ke arah gadis tersebut. Ratih kulihat terengah-engah memanggul perabot dapur dan pakaiannya. Aku segera berlari mendekatinya lalu mangangkat sambil memandunya menuju ke tempat yang aman.
“Terima kasih, Mas Rafi!”
“Sama-sama Ratih. Kamu tenang di sini dulu. Saya akan membantu warga yang lain.”
“Baik, Mas. Hati-hati!” pesannya kepadaku.
Aku bergegas meninggalkan Ratih yang sudah berada di tempat yang aman. Aku membantu keluarga dan calon mertua serta warga yang akan menuju ke tempat pengungsian.
Selang beberapa jam, hujan tak mereda. Hujan semakin menjadi-jadi. Tanggul benar-benar tak mampu gerusan air bengawan solo. Retakan tanggul semakin lama semakin lebar. Kedasyatan air tak mampu diatasi. Tanggul jebol. Air dari bengawan solo mengamuk. Deras arus air bercampur lumpur memporakporandakan rumah warga di bantaran bengawan solo. Kampung halaman kami menjadi lautan sehingga kami tak dapat mengingat kembali letak rumah kami berada.
***