Bimo kecil selalu merasa bersemangat saat ayahnya ada di rumah. Setiap pagi, mereka bermain dan bercanda sebelum ayahnya pergi bekerja. Namun, kebahagiaan itu memudar ketika ayahnya harus pergi ke luar kota. Hari itu, Bimo merasa sedih. Dia tidak ingin ayahnya pergi, tetapi saat ayahnya berjanji akan meninggalkan hadiah setiap pagi, hatinya kembali berbunga.
Esoknya, saat membuka pintu, Bimo menemukan kotak berwarna cerah. Di dalamnya ada mainan kesayangannya. Senyum mengembang di wajahnya. Keesokan harinya, ada buku cerita yang membuatnya bersemangat membaca. Hadiah-hadiah itu terus muncul setiap pagi, dan Bimo merasakan kehadiran ayahnya meski ia tak ada di rumah. Namun, kerinduan akan sosok ayah yang hangat semakin dalam.
Setiap kali Bimo bertanya kepada ibunya, jawaban yang ia terima selalu sama: "Nanti, ayah akan pulang."
Bimo duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi tumpukan kado yang tersimpan rapi. Selama ini, kado-kado itu memberi kebahagiaan, tapi sekarang rasa penasaran dan kekecewaan menggerogoti hatinya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Ketika ibunya masuk ke kamar, Bimo tidak bisa lagi menahan pertanyaannya. "Ma, aku tahu bukan ayah yang kasih aku kado!" suaranya tegas, penuh rasa kecewa. "Kenapa Ibu berbohong selama ini?"
Ibunya terkejut, wajahnya tampak pucat. "Bimo...," suaranya bergetar. "Aku---"
"Kenapa Ibu tidak bilang yang sebenarnya?" Bimo menyela, marah dan bingung. "Dimana ayah? Kenapa ayah tidak pulang?"
Dengan berlinang air mata, ibunya akhirnya menghela napas. "Bimo, ayah sudah pergi. Dia... dia meninggal dalam kecelakaan saat perjalanan ke luar kota."
Bimo merasa seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Kata-kata itu seperti petir menyambar hatinya. "Tidak, tidak mungkin! Ayah tidak mungkin pergi!" Dia berdiri, tubuhnya bergetar. "Jadi, semua kado itu... hanya dari Ibu?"
Ibunya meraih tangannya, mencoba menenangkannya. "Ibu hanya ingin kamu merasa ayah masih ada. Ibu tahu betapa kamu merindukannya. Hadiah-hadiah itu... adalah cara untuk mengingatkanmu bahwa cintanya tidak pernah hilang."
Bimo menunduk, berusaha mencerna semua yang baru saja dia dengar. Perasaan kehilangan menyelimutinya. Dia ingin merasakan cinta ayahnya, bukan sekadar hadiah.
"Ma, aku tidak mau lagi kado," ucap Bimo pelan. "Aku mau ayah."
Ibunya memeluk Bimo erat, dan dalam pelukan itu, Bimo merasakan kasih sayang yang tulus. Namun, hatinya masih berat. Meskipun hadiah-hadiah itu tidak bisa menggantikan kehadiran ayahnya, ia berjanji untuk menyimpan semua kenangan manis tentang ayah di dalam hatinya.
Ibunya mengangguk, "Iya, Nak. Ibu minta maaf. Ibu janji."
Namun, keesokan harinya, saat Bimo membuka pintu, dia terkejut melihat kotak hadiah terbesar yang pernah ada. Rasa penasaran menyergapnya, namun ia ragu untuk membuka kotak itu. Ibunya, yang juga terheran, ikut membantunya membuka kado.
Di dalamnya, terdapat sepeda berwarna cerah, persis seperti yang pernah ia impikan. Bimo menatap sepeda itu dengan mata berbinar. "Siapa yang mengirim ini?" tanyanya bingung. Ibunya pun menggeleng, "Ibu juga tidak tahu."
Bimo mengusap sepeda itu, merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Dia merasa, mungkin ini adalah hadiah dari ayahnya, sebuah sepeda dari surga. Senyumnya mengembang, dan rasa sedihnya mulai pudar. Sepeda ini adalah simbol cinta dan kenangan ayahnya, yang akan selalu bersamanya.
Setiap kali mengayuh sepeda baru itu, Bimo merasa dekat dengan ayahnya. Dia berbicara seolah ayahnya ada di sampingnya, membimbingnya di setiap putaran roda.
Kehilangan memang menyakitkan, tetapi cinta abadi akan selalu mengisi ruang yang kosong. Bimo belajar untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidup, sambil terus mengayuh sepedanya, merayakan cinta yang takkan pernah pudar.
TAMAT
"Tuhan memberikan anda hadiah 86.400 detik hari ini. Sudahkah anda menggunakan salah satunya untuk mengatakan 'terima kasih'?" William Arthur Ward
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H