Bimo menunduk, berusaha mencerna semua yang baru saja dia dengar. Perasaan kehilangan menyelimutinya. Dia ingin merasakan cinta ayahnya, bukan sekadar hadiah.
"Ma, aku tidak mau lagi kado," ucap Bimo pelan. "Aku mau ayah."
Ibunya memeluk Bimo erat, dan dalam pelukan itu, Bimo merasakan kasih sayang yang tulus. Namun, hatinya masih berat. Meskipun hadiah-hadiah itu tidak bisa menggantikan kehadiran ayahnya, ia berjanji untuk menyimpan semua kenangan manis tentang ayah di dalam hatinya.
Ibunya mengangguk, "Iya, Nak. Ibu minta maaf. Ibu janji."
Namun, keesokan harinya, saat Bimo membuka pintu, dia terkejut melihat kotak hadiah terbesar yang pernah ada. Rasa penasaran menyergapnya, namun ia ragu untuk membuka kotak itu. Ibunya, yang juga terheran, ikut membantunya membuka kado.
Di dalamnya, terdapat sepeda berwarna cerah, persis seperti yang pernah ia impikan. Bimo menatap sepeda itu dengan mata berbinar. "Siapa yang mengirim ini?" tanyanya bingung. Ibunya pun menggeleng, "Ibu juga tidak tahu."
Bimo mengusap sepeda itu, merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Dia merasa, mungkin ini adalah hadiah dari ayahnya, sebuah sepeda dari surga. Senyumnya mengembang, dan rasa sedihnya mulai pudar. Sepeda ini adalah simbol cinta dan kenangan ayahnya, yang akan selalu bersamanya.
Setiap kali mengayuh sepeda baru itu, Bimo merasa dekat dengan ayahnya. Dia berbicara seolah ayahnya ada di sampingnya, membimbingnya di setiap putaran roda.
Kehilangan memang menyakitkan, tetapi cinta abadi akan selalu mengisi ruang yang kosong. Bimo belajar untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidup, sambil terus mengayuh sepedanya, merayakan cinta yang takkan pernah pudar.
TAMAT
"Tuhan memberikan anda hadiah 86.400 detik hari ini. Sudahkah anda menggunakan salah satunya untuk mengatakan 'terima kasih'?" William Arthur Ward