Sejak kecil, Sandi selalu mendengar pesan ayahnya, Sopyan, yang berulang kali menggema di telinganya: "Gantungkan cita-citamu setinggi langit." Setiap kali mendongeng tentang pesawat, Sopyan selalu menggambarkan langit biru dan awan putih yang seakan memanggil. Mimpinya untuk menjadi pilot pun tumbuh subur, bagai benih yang ditanam di tanah yang subur.
Setelah bertahun-tahun belajar dan berusaha, Sandi akhirnya diterima di program studi penerbangan. Namun, perjalanan itu tidak semudah yang dia bayangkan. Di tengah pelajaran yang intens dan praktik yang melelahkan, rasa putus asa mulai merayapi dirinya.
Suatu malam, setelah kelas yang melelahkan, Sandi pulang dengan kepala pusing. Ia terjatuh di kursi, menekuk tubuhnya dan menggenggam lengan. "Aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini, Ayah," keluhnya pada Sopyan yang duduk di sebelahnya, membaca koran. "Semua orang lebih baik dariku. Apa yang terjadi jika aku gagal?"
Sopyan menurunkan korannya, menatap Sandi dengan lembut. "Nak, setiap orang memiliki perjalanan mereka sendiri. Jangan bandingkan dirimu dengan yang lain. Yang terpenting adalah usaha dan ketekunanmu."
Sandi menatap kosong ke arah jendela, mencoba membayangkan langit malam yang cerah. "Tapi ini sangat sulit. Terkadang aku merasa ini seperti sebuah misi yang mustahil."
"Setiap pilot besar pernah merasakan keraguan. Yang membedakan adalah mereka tidak menyerah," nasihat Sopyan.
"Aku merasa tertekan, Ayah. Pelajaran ini sangat banyak, dan aku merasa aku tidak siap," Sandi mengaku, suaranya bergetar.
"Setiap kali kamu merasa terjatuh, ingatlah mengapa kamu ingin terbang. Kapan pun kamu merasa lelah, bayangkan kita terbang tinggi, melintasi awan. Itu adalah impian yang layak diperjuangkan," Sopyan menambahkan, senyum hangatnya seolah melingkupi Sandi.
Setelah percakapan itu, Sandi merasa sedikit lebih tenang. Dia mulai berusaha keras lagi, menggali setiap pelajaran, berlatih dengan tekun. Meskipun tantangan masih menghampiri, dia merasa bahwa ada sosok ayahnya yang mendukungnya di sampingnya.
Hari itu, dengan seragam pilot yang rapi, Sandi bersiap untuk penerbangan pertamanya. Harapannya tinggi, seperti langit yang selalu menjadi inspirasi. Namun, saat hendak terbang, kabar buruk datang; ibunya, Nur, jatuh sakit. Ayahnya tidak bisa menemani, dan Sandi merasakan kekosongan yang menyentuh.
"Tak apa, Ayah. Suatu hari nanti, aku akan membawa Ayah terbang," ucapnya dalam hati, berjanji. Dengan semangat yang tertahan, Sandi melangkah ke kokpit, mengendalikan pesawatnya untuk pertama kali. Di antara desingan mesin dan detak jantungnya, dia merasakan keajaiban terbang.
Namun, saat Sandi mulai mengudara, ada kehadiran yang tak terduga. Sopyan muncul di ruang kokpit, menyunggingkan senyuman yang selalu membuat Sandi merasa tenang. "Surprise, Nak!" serunya, dan seolah langit mendengarkan harapannya, ia merasa seolah mimpinya telah menjadi nyata.
Keduanya terbang bersama, melintasi awan-awan yang menari. Dalam percakapan hangat, mereka berbagi tawa dan cerita, seolah waktu berhenti. Sandi berjanji akan membawanya terbang lagi, jauh di atas dunia yang penuh kesedihan.
Namun, saat pesawat mendarat, rasa bahagia itu mendadak pudar. Sandi mencari ayahnya, tetapi tak seorang pun melihatnya. Dia bergegas keluar dari kokpit, rasa gelisah mulai menyelimuti hati.
Ketika sampai di rumah, pandangannya tertuju pada bendera kuning yang terpasang di depan. Rasa dingin merambat di tulang belakangnya. "Ibu!" teriaknya, berlari menuju ruang tamu. Nur, dengan wajah pucat, terlihat lemah menyambutnya.
"Sayang, Ayahmu...," suara Nur tertahan, air mata membasahi pipinya. "Dia meninggal. Kecelakaan saat membeli obat buat ibu di apotek."
Dunia Sandi runtuh. Bagaimana bisa, setelah kebahagiaan terbang bersamanya, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiba-tiba, kenangan itu datang menyeruak, membanjiri pikirannya. Senyum, tawa, dan pelukan ayahnya di kokpit, seakan menjanjikan keabadian.
"Aku baru saja terbang bersamanya," bisiknya, bingung antara kenyataan dan imajinasi. "Ayah ada di pesawatku, Bu."
"Sayang," Nur memeluknya erat, "itu tidak mungkin. Ayahmu kecelakaan saat kamu mengudara."
Di malam yang sunyi, ketika bintang-bintang berkelap-kelip, Sandi berjanji. Dia akan terus membawa nama ayahnya dalam setiap penerbangan yang akan datang.
TAMAT
"Seekor burung yang ingin terbang tinggi tidak akan pernah takut dengan langit." - Kjiva
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H