"Tak apa, Ayah. Suatu hari nanti, aku akan membawa Ayah terbang," ucapnya dalam hati, berjanji. Dengan semangat yang tertahan, Sandi melangkah ke kokpit, mengendalikan pesawatnya untuk pertama kali. Di antara desingan mesin dan detak jantungnya, dia merasakan keajaiban terbang.
Namun, saat Sandi mulai mengudara, ada kehadiran yang tak terduga. Sopyan muncul di ruang kokpit, menyunggingkan senyuman yang selalu membuat Sandi merasa tenang. "Surprise, Nak!" serunya, dan seolah langit mendengarkan harapannya, ia merasa seolah mimpinya telah menjadi nyata.
Keduanya terbang bersama, melintasi awan-awan yang menari. Dalam percakapan hangat, mereka berbagi tawa dan cerita, seolah waktu berhenti. Sandi berjanji akan membawanya terbang lagi, jauh di atas dunia yang penuh kesedihan.
Namun, saat pesawat mendarat, rasa bahagia itu mendadak pudar. Sandi mencari ayahnya, tetapi tak seorang pun melihatnya. Dia bergegas keluar dari kokpit, rasa gelisah mulai menyelimuti hati.
Ketika sampai di rumah, pandangannya tertuju pada bendera kuning yang terpasang di depan. Rasa dingin merambat di tulang belakangnya. "Ibu!" teriaknya, berlari menuju ruang tamu. Nur, dengan wajah pucat, terlihat lemah menyambutnya.
"Sayang, Ayahmu...," suara Nur tertahan, air mata membasahi pipinya. "Dia meninggal. Kecelakaan saat membeli obat buat ibu di apotek."
Dunia Sandi runtuh. Bagaimana bisa, setelah kebahagiaan terbang bersamanya, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiba-tiba, kenangan itu datang menyeruak, membanjiri pikirannya. Senyum, tawa, dan pelukan ayahnya di kokpit, seakan menjanjikan keabadian.
"Aku baru saja terbang bersamanya," bisiknya, bingung antara kenyataan dan imajinasi. "Ayah ada di pesawatku, Bu."
"Sayang," Nur memeluknya erat, "itu tidak mungkin. Ayahmu kecelakaan saat kamu mengudara."
Di malam yang sunyi, ketika bintang-bintang berkelap-kelip, Sandi berjanji. Dia akan terus membawa nama ayahnya dalam setiap penerbangan yang akan datang.
TAMAT